5. Shena dan Ceritanya

2055 Words
Benar seperti dugaan Reygan. Hubungan yang terbentuk lantaran mendapat kesan cocok di empat menit pertama terus berlanjut. Keduanya semakin dekat untuk setiap pertambahan waktu. Sering kali menghabiskan waktu bersama, entah untuk mengerjakan tugas PPSMB, makan, atau sekadar berjalan-jalan. Shena yang notabennya si anak kampung suka nyasar, tetap bisa menjalani hidupnya dengan baik. Tetap bisa berkeliling, mencari tahu lebih dalam mengenai daerah tempatnya merantau. Dengan Reygan yang tidak pernah luput dari kehidupan Shena. Walaupun untuk satu minggu ini, keduanya tidak berkeliling terlalu jauh. Hanya sekadar menghabiskan waktu untuk makan malam bersama di penjual-penjual dekat kos Shena. Karena paginya sampai pukul empat sore, keduanya harus mengikuti acara penerimaan mahasiswa baru. Satu pengalaman luar biasa yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Karena yang muncul di kepalanya sebelum ini, ospek adalah hal menakutkan, senioritas, dan hal-hal lainnya. Namun yang terjadi justru teramat menyenangkan. Senin yang menjadi hari pembukaan. Diawali dengan upacara pembukaan PPSMB di lapangan Pancasila. Shena kira hanya sekadar upacara biasa. Penyambutan oleh rektor serta jajarannya. Upacara yang sama melelahkannya, membuat keringat berjatuhan. Tapi ternyata ada banyak kejutan lain. Ada tampilan dari beragam UKM, pemberian motivasi dari ketua organisasi alumni, sampai pada penyambutan dari 30 penerjun yang berasal dari TNI, atlet terjun payung FASI DIY, juga anggota Alumni Resimen Mahasiswa. Tidak pernah mengira jika penyambutan mahasiswa baru akan semeriah ini. Ada banyak wartawan juga yang meliput, yang nantinya akan dilaporkan sebagai berita paling baru, paling segar. Senin dan Selasa dihabiskan untuk mengikuti penerimaan mahasiswa baru tingkat universitas. Di mana dalam satu kelompok yang terdiri dari tiga puluhan mahasiswa, berasal dari berbagai macam fakultas dan departemen. Menghabiskan dua hari untuk belajar, berdiskusi, mendengarkan motivasi, sampai pada bermain game di dalam kelas. Untuk saling mengenal satu sama lain. Berbagi cerita mengenai daerah masing-masing. Untuk dua hari ini, Shena masih berada di kelompok yang sama dengan Reygan. Shena tidak perlu mengkhawatirkan apapun selama Reygan di sekitarnya, termasuk takut nyasar. Karena bagaimanapun, kegiatan selama dua hari ini dilakukan di Fakultas Psikologi yang memiliki lima lantai. Juga ruang kelas yang tidak sedikit. Beruntungnya, Reygan sudah memahami Shena yang tidak tahu arah. Rabu, digunakan untuk penerimaan mahasiswa tingkat departemen. Shena dan Reygan memang berada di departemen yang sama, namun berbeda kelompok. Tak menjadi masalah, selama keduanya masih berada dalam lingkup yang sama. Shena juga nampak menikmati acara. Mulai membuka diri, berkenalan dengan teman-temannya. Karena nantinya mereka akan lebih sering bertemu, berada di gedung yang sama. Acaranya tidak jauh berbeda dengan dua hari sebelumnya. Hanya saja, yang ini lebih mendetail karena pembahasannya dalam lingkup yang lebih kecil. Ada sedikit permainan juga yang tidak kalah dengan hari sebelumnya. Selanjutnya, Kamis. Menjadi hari penerimaan mahasiswa baru tingkat Fakultas. Separuh hari dihabiskan di lapangan untuk game lapangan. Dan separuh hari dihabiskan di dalam Grha Sabha. Untuk mendengarkan berbagai macam sambutan, juga menonton tampilan-tampilan dari kegiatan kemahasiswaan tingkat fakultas. Shena bertemu Reygan hanya saat berangkat dan pulang. Selama acara, keduanya terpisah jauh. Baru dua hari sisanya, kembali mengikuti penerimaan mahasiswa tingkat universitas. Euforia yang membekas ada di hari terakhir, tepatnya saat upacara penutupan. Seluruh mahasiswa baru yang mengisi lapangan Pancasila sembari membawa kertas asturo yang sudah ditempel, untuk membuat formasi. Satu acara yang paling dinantikan. Terbukti dari banyaknya yang hadir, memadati tribun GSP. Untuk menonton formasi yang ditampilkan oleh seluruh mahasiswa baru. Formasi pertama adalah membentuk gugusan pulau-pulau yang melambangkan NKRI, dilanjut bendera Indonesia dengan tulisan ‘Indonesia Raya’, lambang Garuda Pancasila, lambang ASEAN, sampai yang terakhir adalah lambang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Shena tidak bisa menahan harunya saat formasi itu selesai. Enam hari mendapatkan kenangan tidak terduga, juga kerja keras yang terbayar lunas. Hari itu juga merupakan hari penutupan penerimaan mahasiswa baru. Yang artinya, setelah hari ini para mahasiswa bisa langsung melakukan perannya sebagai mahasiswa. “Shen, lo nangis?” tanya Reygan mendekati Shena yang masih sesegukan. “Nggak nyangka kalau asturonya bisa jadi formasi sebagus itu,” jawab Shena. Reygan tersenyum lebar. Kembali dibuat kagum dengan Shena yang aneh, polos, kekanak-kanakan, namun murni bukan dibuat-buat. “Mau peluk nggak?” tanya Reygan seraya menepuk dadanya beberapa kali. “Emang boleh?” Shena menghapus air matanya. Menatap Reygan yang juga sedang menatapnya. Ketika Reygan mengangguk, Shena langsung berhambur ke pelukannya. Melanjutkan rasa harunya yang membuat air mata itu terus menetes. “Selamat ya udah resmi jadi mahasiswa,” ucap Reygan seraya menepuk bahu Shena. Shena tidak banyak merespon. Hanya mengangguk-angguk dengan suara isakan yang masih terdengar jelas. Reygan tidak mengerti, mengapa semua yang nampak dari diri Shena adalah hal luar biasa di matanya. Membuatnya kagum juga gemas. Hatinya berkali-kali dibuat yakin, jika Shena memang sosok yang tepat. Yang ia cari selama ini. *** Layaknya hari-hari lalu, malam ini Reygan dan Shena sedang mengisi sebuah kursi taman, tepat di samping lampu jalan yang menyala. Menatap pemandangan malam hari juga keramaian yang belum usai. Justru kian malam, kian indah untuk ditonton. Tempat yang sama, suasana yang sama. Entah untuk alasan apa, jika mentari di Sabtu sore tenggelam berganti malam, Shena akan selalu mengajak Reygan ke Malioboro. Jika Reygan menanyakan alasannya, Shena hanya menggeleng singkat seraya tersenyum bodoh. Atau sebuah jawaban yang selalu didengar. “Jangan tanya alasannya, karena jawabannya sama. Aku suka.” Kalimat yang sama, nada yang sama, juga ekspresi yang sama. Untuk waktu-waktu awal, mungkin Reygan akan mengajukan protesnya. Juga memberi rekomendasi tempat yang bisa keduanya datangi. Tapi untuk sekarang, Reygan sudah tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Sudah bosan dengan jawaban Shena yang itu itu saja. “Rey?” panggil Shena. Menepuk bahu Reygan beberapa kali. Memaksa si lelaki agar berhenti bermain dengan kameranya. Untuk mengambil beberapa gambar, seperti yang sudah dilakukannya di hari-hari lalu. Mungkin koleksi foto Reygan tentang tempat ini sudah terlampau banyak. “Kenapa?” “Pak Faiz emang begitu ya?” Reygan menoleh. Menatap Shena yang masih sibuk memperhatikan jalanan. Tatapannya menerawang jauh tak terbaca. “Katanya ngajak keluar biar lo nggak inget tugas kuliah. Cari bahasan lain. Gue nggak mau disalahin setelah ini.” Shena mendengus. Membiarkan Reygan yang kembali sibuk mengambil gambar dari kameranya. “Pak Faiz yang nggak jelas kasih materinya apa aku yang buta akuntansi ya,” lanjut Shena. Reygan menghela napas malas. Nampaknya Shena tidak mendengarkan ucapannya tadi. “Punya masalah di mana, gue bisa ajarin.” Shena menoleh. “Oh iya. Kamu ‘kan anak akuntansi ya. Kenapa aku nggak sadar sih?” “Makanya kuliah dinikmati aja jangan terlalu dipikirin,” ucap Reygan. Sekadar mengingatkan. Karena sering kali, Shena akan menunjukkan wajah pusingnya setelah ke luar dari kelas. “Suka nggak fokus kalau udah kangen rumah. Lagi pula aku udah jauh-jauh dari kampung. Harus nahan rindu sama keluarga. Nggak boleh buang-buang waktu di sini, Rey.” “Tapi nggak harus menyiksa diri lo juga, Shen. Belajar karena lo senang akan lebih cepat masuk daripada belajar sambil nahan beban. Nikmatin aja. Memang udah umur lo buat ngerasain yang namanya merantau. Nggak melulu harus dekat sama keluarga. Tapi kalau memang lo kangen rumah ya pulang. Nggak harus ditahan-tahan gitu.” “Efek bungsu kali ya.” Reygan tersenyum. Mengulurkan tangannya untuk menarik Shena dalam rangkulannya. “Ada yang mau diceritain?” “Kamu mau dengerin emang?” Reygan mengangguk. “Kamu punya cita-cita, Rey?” Reygan kembali mengangguk. “Gue rasa semua orang punya cita-cita.” Shena membenarkan hal itu. "Kamu tahu, sewaktu aku kelas 4 SD, aku punya keinginan yang jauh dari pemikiran anak-anak seusiaku. Dulu aku suka banget sama buku-buku yang menceritakan benda langit. Aku suka lihat bintang. Bahkan kalau udah masuk waktunya bulan purnama, aku nungguin dari jam enam sore biar aku bisa lihat kemunculannya dari awal. Aku selalu berangan-angan kalau besar nanti bisa jadi astronot. Sampai setiap kali ada tugas untuk menceritakan tentang cita-cita, aku dengan percaya dirinya bilang kalau aku mau jadi astronot.” Ada senyuman yang tersemat di bibir Reygan. “Jadi ini alasan tiap Sabtu sore minta keluar?” Shena mengangguk. “Walaupun keinginan itu terlalu jauh untuk aku raih, aku nggak pernah bisa menghilangkan kebiasaan ini. Sampai detik ini, aku selalu suka sama pemandangan langit malam.” “Dulu, setiap cerita soal ini, Bapak selalu kasih respon yang bikin aku semangat. Aku harus pintar biar bisa sekolah tinggi dan jadi astronot. Tapi setelah kelas 6, aku yang tumbuh dan makin tahu, Bapak yang mengalami sakit keras sampai meninggal. Aku mulai sadar, kalau keinginan itu terlampau jauh untuk aku raih. Sejak itu, aku nggak tahu keinginanku. Aku nggak punya tujuan yang bisa memotivasi untuk belajar. Apa yang aku jalani sekadar rutinitas. Juga feedback dari biaya yang Ibu keluarkan untuk sekolah.” “Sampai sekarang?” “Ada keinginan lain yang tumbuh, tapi sayangnya aku nggak begitu yakin sama jalan itu.” “Apa?” “Aku mau jadi penulis,” ucap Shena seraya menyunggingkan senyumannya. Menatap Reygan yang sejak tadi memperhatikannya juga mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Shena. “Kamu nggak mau ngatain kalau aku salah jurusan atau mimpi ketinggian?” Reygan tertawa lirih. “Kenapa, Shen? Selalu nyamain gue sama orang lain. Sebelum ini udah banyak yang bilang kalau lo salah jurusan? Atau ada yang bilang kalau lo hidup di atas angan-angan?" Shena mengangguk. “Emang salah jurusan kayaknya. Aku juga di sini cuma buat pelarian. Dan ya, mimpiku emang ketinggian kok. Siapa yang mau baca tulisanku? Zaman sekarang, udah banyak penulis yang karyanya bagus dan terkenal. Aku bukan apa-apa." “Pelarian dari?” “Orang-orang, tetangga, dan semua mulut yang nggak baik buat aku dengar. Aku nggak bisa dengerin omongan yang nyakitin, karena bisa langsung berimbas sama tingkat kepercayaan diri. Aku bisa langsung minder, merasa nggak berguna.” “Sebelumnya aku nggak pernah kepikiran untuk kuliah di sini. Aku udah coba banyak universitas, tapi nggak ada yang keterima. Sampai akhirnya ketemu sama guru Bahasa Indonesiaku semasa SMA. Beliau saranin untuk masuk sini, masih ada ujian tulis tahap dua, tahap paling akhir. Daripada harus berhenti satu tahun, sayang waktunya. Dan akhirnya nyoba dan diterima. Untuk pilih jurusan pun aku nggak yakin.” Helaan napas panjang. Reygan membenarkan posisi duduknya. “Shen, salah ambil jurusan bukan berarti lo salah ambil masa depan. Lo tetap bisa kejar apa yang lo mau, dan kuliah ini, walaupun nggak sesuai sama apa yang dicita-citakan, anggap aja sebagai batu loncatan. Tahapan hidup lo sebelum lo sampai ke keinginan itu.” “Hidup ini Tuhan yang punya. Jalan takdir juga Tuhan yang tentuin. Tuhan nggak kasih jalanan yang mulus, penuh bunga di kanan-kiri, atau pepohonan yang buat jalan kita teduh. Tapi Tuhan kasih kita alat, untuk membuat jalan seperti keinginan kita. Walaupun mungkin nggak akan seindah angan-angan, seenggaknya lo udah usaha. Karena tugas kita cuma sampai mengusahakan, Shen. Untuk urusan hasilnya itu ketetapan Tuhan.” “Jangan lo sibuk mikirin gimana nantinya, gimana hasilnya. Karena itu bukan tugas kita. Selama lo bisa, selama lo mampu ya usahakan. Tapi setelah itu, balikin lagi semuanya sama yang punya hidup. Biar lo nggak stres, nggak merasa terbebani.” Shena dibuat diam, tanpa kata. Hanya mampu menatap juga mendengarkan penjelasan Reygan. Kalimat sederhana yang menampar Shena. Jika selama ini, ia terlalu sibuk dengan pemikiran-pemikiran berkepanjangan. Takut dengan masa yang akan ia jalani. Merasa tidak percaya diri. Dan beragam perasaan lain yang tidak kalah mengganggu. Padahal, manusia memiliki tugasnya sendiri. Hanya sampai pada mengusahakan dan berdoa. Jika diibaratkan dengan pemain sepak bola, tugas kita hanya pada sampai menendang bola dengan teknik juga kemampuan yang kita miliki. Untuk sampai tidaknya bola itu ke dalam gawang, ada pada ketetapan Yang Kuasa. Tidak seharunya menyalahkan, tidak boleh ada penyesalan. Karena semua yang terjadi di dunia ini, sudah ditentukan oleh Sang Pemilik Kehidupan. “Lo mau jadi penulis, ‘kan?” Shena mengangguk. “Menulis mulai sekarang. Nggak peduli lo dari mana, nggak peduli lo masuk prodi apa, nggak peduli lo terkenal atau nggak. Salah jurusan atau apalah istilah lainnya. Atau mimpi lo ketinggian sekali pun. Kalau lo mau berusaha, mau belajar, hasil nggak akan pernah berkhianat, Shen. Tuhan itu adil. Percaya sama gue.” Shena kembali mengangguk. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca. Tapi bibirnya menampilkan senyuman yang sama indahnya, seperti yang nampak di hari-hari lalu. Senyuman yang membuat Reygan terpaku untuk kesekian kali. “Jangan pernah lo merasa gagal sebelum mencoba. Walaupun nantinya lo akan jatuh, jangan pernah takut untuk bangkit lagi dan berusaha lebih keras. Karena kejatuhan itu yang akan mengantarkan lo lebih dekat sama apa yang lo mau.” Reygan menghela napas. Memasang senyuman yang sama indahnya dengan milik Shena. “Gue akan jadi orang nomor satu yang paling menunggu buku pertama lo terbit.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD