6. Pukul Delapan di Langit Malam

2470 Words
“Hei, dari mana?” tanya Reygan. Menghampiri Shena yang sedang mengambil tas berukuran besar dari bagasi bus. Beberapa mahasiswa lainnya baru saja turun dari bus. Ada juga yang sudah lengkap dengan tasnya. Siap mengambil motor di parkiran dan pulang ke kos masing-masing. Ini hari Jum’at. Reygan baru saja selesai mengikuti kelas terakhirnya. Mendapati Shena beserta teman-teman satu jurusan yang nampaknya baru saja mengikuti kuliah praktik di luar. “Desa Wisata Pulesari. Ada kuliah lapangan di sana,” jawab Shena. Terlihat kesulitan membawa tas besarnya. Reygan dengan sigap mengambil alih tas itu. “Shena, duluan ya,” ucap salah satu teman Shena. Melambaikan tangannya sembari berjalan ke arah parkiran motor. Shena mengiyakan itu. Tidak lupa mengucapkan supaya berhati-hati di jalan. “Shena, aku sama Rara mau ke preksu. Ikut sekalian nggak? Boncengan masih kosong nih,” ucap teman Shena yang lain. Sedikit berteriak karena jarak keduanya yang lumayan jauh. Shena melambaikan tangannya. “Duluan aja.” “Oke nanti kalau lapar nyusul aja. Kita mau bahas sekalian pembagian tugasnya. Aku kabarin ntar malam ya.” Shena mengiyakan itu. Kembali melanjutkan jalannya dengan Reygan di sampingnya. Keduanya mengambil duduk di tepian kolam ikan, samping koperasi mahasiswa. Kampus belum begitu sepi, tapi juga tidak ramai. Masih ada beberapa yang tersisa untuk mengerjakan tugas kuliah, diskusi kelompok, rapat organisasi, sampai yang baru saja selesai dengan kuliahnya dan akan pulang. “Minum dulu, capek banget kayaknya,” ucap Reygan. Mengulurkan botol minumnya. Shena meraih itu. Tanpa banyak tanya langsung menenggak airnya sampai sisa setengah. “Kebiasaan suka lupa bawa minum. Muka lo sampai pucat begitu.” “Ini pucat karena lapar dan capek.” “Mau makan sekarang?” Shena menggeleng. Sepasang matanya terpejam erat. Kepala sampai punggungnya bersandar pada dinding. Mencoba menghilangkan rasa lelah setelah beraktivitas selama seharian ini. Mengikuti kuliah lapangan yang langsung dipandu oleh kepala desa. Mengenal lebih dekat desa wisata yang diresmikan sejak 9 November 2012 itu. Belajar dari sejarahnya, mengenal setiap sudutnya dengan mengelilingi desa. Membuat makanan khas desa dengan berbahan dasar salak. Karena kebetulan desa Pulesari memiliki kebun salak yang luas. Sampai pada membuat kerajinan dan melakukan outbond. “Mata kuliah apa, Shen? Kayaknya sering banget kuliah di luar.” “Perencanaan Pembangunan. Ya ‘kan emang mata kuliahku kebanyakan praktik di luar, Rey. Nggak bisa kaya kamu yang cuma otak-atik di lab.” “Seru, ‘kan? Daripada gue cuma main-main angka tapi nggak ada duitnya. Ngajarin halu.” Shena tertawa pelan. “Seru pas kuliahnya, tapi pas ngerjain laporan dan presentasinya pusing sendiri.” “Semangat dong.” “Iya semangat kok. Cuma lagi ngerasa capek aja. Banyak banget kuliah luarnya. Seminggu ini tatap muka di kelas cuma Akuntansi sama Perpajakan aja. Sisanya keluar cari data lah, keliling desa lah, sampai wawancara sama pemilik usaha buat tugas SKP. Suka nggak enak kalau pembahasannya udah laporan keuangan. Kaya kita ngeruk-ngeruk info mereka banget,” keluh Shena. “Pantes kelihatan gosong sekarang,” ucap Reygan. Tersenyum menggoda. Membuat Shena yang kesal melayangkan pukulannya. “Besok ada acara?” “Besok?” Reygan mengangguk. Menatap Shena yang nampak sedang berpikir. Mengingat-ingat, siapa tahu ada jadwal kelompok untuk mengerjakan tugas. “Nggak kayaknya. Minggu depan cuma perlu laporan perkembangan tugas lapangan aja. Lagian bisa dikerjain masing-masing, nggak harus ketemu perkelompok. Ada apa?” “Gue mau minta waktu lo, seharian.” Shena semakin keheranan. Tidak biasanya. Ya walaupun keduanya sering kali menghabiskan waktu di Sabtu sore. Hanya sekadar makan malam biasa, selanjutnya berkeliling untuk melihat langit malam hari. “Seharian, mau ngapain?” “Ya 24 jam. Besok juga lo tahu. Packing ya, bawa baju hangat, obat-obatan takutnya lo masuk angin, keperluan pribadi juga. Tapi nggak usah banyak-banyak. Kita cuma pergi sehari kok.” “Ngapain sih, Rey? Jangan bikin penasaran.” Reygan menggeleng. “Siapin aja apa yang gue bilang. Besok jam sepuluh pagi gue jemput.” “Nggak mau kasih spoiler dikit aja?” Reygan kembali menggeleng. Masih enggan memberitahu ke mana tujuan mereka esok hari. “Ada pokoknya. Lo pasti suka. Nanti malam nggak usah ke mana-mana, istirahat. Gue nggak mau lo kecapekan.” Shena mengangguk patuh. Tidak lagi banyak bertanya. Karena nampaknya Reygan benar-benar enggan memberitahu. Walaupun hanya sedikit bocoran. “Yuk cari makan, setelah itu gue antar pulang.” *** Benar saja, esok harinya tepat pukul sepuluh pagi, Reygan sudah hadir di halaman depan kos Shena. Menunggu Shena yang mungkin masih bersiap-siap. Tidak butuh waktu lama, Shena datang membawa tas punggung berukuran sedang. Reygan langsung menghampiri Shena dan membawa tas besar Shena. Sementara itu, Shena masih sibuk memperhatikan si lelaki yang memasukkan tasnya ke bagasi mobil. Ada beberapa perlengkapan juga di sana. Yang membuat Shena semakin kebingungan. “Kamu bawa mobil?” tanya Shena, retorik. Karena jawabannya tentu iya. Sudah jelas, ada mobil yang terparkir di halaman kosnya. Juga Reygan yang bisa membukanya. “Perjalanannya lumayan. Gue cuma takut aja lo ketiduran di jalan. Kalau pakai mobil lo bisa tidur kalau capek.” Shena mengangguk saja. Walaupun masih kebingungan. Bukan hanya bertanya-tanya mengenai ke mana tujuan mereka hari ini. Tapi juga identitas Reygan yang belum ia ketahui. Karena selama ini pun, hanya Shena yang banyak menceritakan mengenai dirinya. Tidak untuk Reygan. Reygan lebih banyak mendengarkan, menimpali ceritanya, sampai memberi masukan atas kebingungan Shena. Shena juga secara alami menceritakan apapun yang ia alami dalam hidup. Sampai pada mimpi-mimpinya. Tanpa sadar jika selama mengenal, Reygan tidak sekalipun membicarakan mengenai dirinya. Selama ini, Shena mengira jika Reygan juga sama sepertinya. Berasal dari keluarga sederhana. Karena selama mengenal, Reygan lebih sering mengajaknya ke tempat-tempat sederhana, juga selalu mengenakan motor keluaran lama. Tapi kali ini, Reygan yang nampak di hadapannya berbeda dengan Reygan sebelumnya. “Aku nggak yakin kamu nggak ngerti maksud lain dari pertanyaanku,” lanjut Shena. Menatap Reygan yang sedang membukakan pintu untuknya. “Oh ini. Hadiah dari Ayah,” jawab Reygan. Shena mengangguk mengerti. “Ternyata kamu anak orang kaya,” gumam Shena yang masih bisa didengar oleh Reygan. Si lelaki hanya tertawa lirih. Mengusak rambut Shena gemas dan mendorongnya agar segera memasuki mobil. “Nggak penting, Shen,” ujarnya setelah keduanya memasuki mobil. “Nggak penting buat kamu. Nggak tahu buat orang tua kamu.” Reygan melirik Shena sejenak. Perempuan di sampingnya masih menjatuhkan tatapannya ke arah depan. Memperhatikan jalanan yang lumayan padat dibanding hari-hari sebelumnya. Mungkin karena ini akhir pekan. Banyak keluarga yang memutuskan keluar dari rumah untuk berlibur. Menghabiskan waktu menyenangkan dengan orang-orang tersayang setelah penat bekerja. “Maksudnya?” “Orang tuamu nggak masalah kamu berteman sama orang kaya aku?” “Maksud dari berteman sama orang kaya aku?” “Ya dari sisi mana pun kita udah beda, Rey. Dilihat dari strata ekonomi pasti jauh beda. Aku cuma orang kampung yang kebetulan dapat keberuntungan bisa kuliah di kampus bagus. Dengan UKT yang nggak banyak karena penghasilan orang tuaku nggak banyak. Kayaknya kamu nggak seharusnya bergaul sama aku. Nggak seharusnya ngikutin seleraku yang cuma bisa makan di pedagang kaki lima. Kamu bahkan punya mobil sendiri di usia yang masih muda. Maaf ya kalau selama ini harus ngikutin mauku, yang mungkin nggak sesuai sama kamu.” Reygan menghela napas. Ini dia yang tidak ia sukai. Reygan tidak pernah bermaksud menyembunyikan identitasnya dari Shena. Hanya saja, apa yang ia jalani selama ini, selama bersama Shena adalah keinginannya. Bukan hanya Shena yang menyukai kesederhanaan, Reygan juga. “Kenapa tiba-tiba serius gini sih? Gue nggak suka kalau lo mulai minder begini, Shen.” “Ya tetap aja, aku ngerasa nggak tahu diri banget selama ini.” “Nggak tahu diri gimana? Lo dan gue sama aja, Shen. Sama-sama anak yang masih minta duit sama orang tua. Nggak usah bahas soal strata ekonomi atau apapun itu. Gue nggak suka.” Shena diam. Tidak melanjutkan pembicaraan lagi. keduanya sedang berada di jalan. Reygan juga menimpali kalimatnya sembari mengendarai mobil. Shena hanya tidak mau ada pertengkaran dan terjadi hal yang tidak-tidak. Mobil sunyi untuk menit-menit selanjutnya. Reygan sempat mengira jika Shena marah dan mendiamkannya. Tapi begitu ia menoleh saat mobilnya berhenti di lampu merah, Shena sudah tertidur pulas dengan kepala terpentok ke pintu samping. Nampak sangat tidak nyaman karena beberapa kali kepala itu terbentur. Reygan menyunggingkan senyuman. Memperbaiki posisi tidur Shena. Reygan juga melepas jaketnya untuk menyelimuti Shena. Memperhatikan wajah tidur itu sampai lampu lalu lintas kembali berubah warna. Melanjutkan perjalanan mereka yang membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk sampai di tempat tujuan. *** “Shena bangun, kita udah sampai,” ucap Reygan seraya menepuk pipi Shena beberapa kali. Tidak lama, Shena membuka matanya. Menerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya siang hari yang tidak begitu panas. Sembari menunggu Shena, Reygan mengambil peralatan di bagasi mobilnya. Tas berukuran besar, seperti yang biasa digunakan para pendaki. Shena hanya mendapat bagian untuk membawa tas sedang miliknya. “Nggak berat, ‘kan?” tanya Reygan. Shena menggeleng karena memang tasnya tidak berisi banyak barang. “Kita istirahat sama makan siang dulu. Nanti kalau udah agar teduh, baru naik.” Keduanya menghabiskan beberapa jam untuk berisitirahat dan makan siang. Baru setelahnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Shena tidak tahu dan tidak berniat bertanya keduanya akan ke mana. Memilih diam dan menikmati pemandangan hijau yang disandingkan selama perjalanan. Setelah berjalan sejauh 800 meter dengan rute yang lumayan, Shena hanya mampu menganga menatap pemandangan di sekitar. Keduanya sudah berada di atas bukit hijau, dengan pemandangan garis pantai yang indah. Suasana alam yang masih asri, nampaknya masih jarang dikunjungi. Reygan menurunkan tas besarnya untuk melepas lelah. Shena mengambil duduk di sebelah si lelaki. Mengulurkan sebotol air minum yang langsung diterima oleh Reygan. “Kita istirahat dulu ya. Baru setelahnya bikin tenda.” Shena mengiyakan itu. “Kamu tahu tempat ini dari mana?” “Fian,” jawab Reygan. “Dia suka ngebolang sendirian buat cari spot yang bagus dan sepi begini. Udah kaya manusia purba yang nggak suka keramaian,” gurau Reygan. Shena hanya tersenyum tipis. “Gitu-gitu temen kamu.” Shena menjeda kalimatnya. Kembali mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Mengagumi pemandangan yang memanjakan matanya. Sejauh mata memandang, Shena belum menemukan manusia lain di sini, selain mereka berdua. “Emang sepi begini ya, Rey?” Reygan mengangguk. “Belum banyak yang tahu lokasi ini. Mungkin kalau ada yang share bakalan rame. Lo beruntung karena bisa datang di saat tempat ini belum dikenal banyak orang.” “Kita nggak apa-apa berdua di sini?” Reygan menatap Shena lama. “Lo nggak keberatan, ‘kan? Gue emang sengaja cari yang sepi.” “Ha?” Shena tentu saja terkejut dengan penuturan ambigu dari Reygan. Tanpa memberi jawaban lebih, si lelaki langsung membongkar isi tasnya dan mulai membuat tenda. Kembali mengabaikan Shena yang belum mengerti dengan kalimat Reygan. Sama seperti yang sudah-sudah. Pembicaraan itu menggantung. Shena tetap tidak menemukan jawaban. Karena nampaknya, Reygan memang suka membuat Shena bertanya-tanya sendirian. Shena kembali dibuat menganga begitu menatap matahari tenggelam di sore itu. Disusul langit yang mulai menggelap dan dihiasi bintang-bintang bertaburan. Setelah makan malam, keduanya hanya duduk tenang di depan tenda sembari menatap pemandangan langit malam di tengah kegelapan. “Sebentar lagi,” ucap Reygan setelah mengecek jam di ponselnya. “Apa?” tanya Shena tidak mengerti. Reygan hanya menampilkan senyumannya dan menunjuk ke arah langit. Untuk kesekian kali Shena dibuat kagum dengan apa yang ia lihat. Langit malam yang sama kini nampak lebih indah dengan adanya rasi Angsa (Cygnus) yang berdampingan dengan Segitiga Musim Panas (Summer Triangle) yaitu sebutan untuk tiga bintang terang yang kalau ditarik garis lurus akan membentuk segitiga besar di langit. Ketiga bintang itu adalah Deneb, Altair, dan Vega. Kemunculan tiga bintang itu menandakan musim panas akan segera tiba di belahan bumi utara yang memiliki empat musim. Di bagian selatan ada rasi Salib Selatan (Crux) yang sering digunakan sebagai petunjuk arah Selatan. Tidak sampai di sana. Tepat di atas kepala rasi Kalajengking dan bintang Antares turut memperindah langit malam. Juga Mars dan Saturnus yang nampak lebih jelas karena tidak adanya bulan. “Rey gimana kamu tahu?” tanya Shena tanpa mengalihkan pandangannya dari langit malam. Reygan tersenyum lebar. Merasakan sesuatu yang teramat menyenangkan saat melihat Shena yang tersenyum dengan matanya yang berbinar indah. Sama indahnya dengan langit malam yang keduanya saksikan saat ini. “Waktu lo cerita soal mimpi lo di masa kecil dulu, gue langsung kepikiran ini. Nggak masalah ‘kan, lo masih bisa mengagumi mereka dari jauh.” “Makasih banyak,” ucap Shena tulus. Sepasang matanya berbinar indah membuat Reygan berkali-kali terpaku dan mengagumi. Tidak ada jawaban lain yang lebih pantas selain anggukan kepala. “Boleh lo kenalin mereka satu-satu?” Shena mengangguk. “Di antara mereka bertiga, Deneb itu bintang yang paling jauh dari bumi. Deneb juga bintang yang paling terang di rasi Cygnus. Deneb diperkirakan punya diameter 200 kali lebih besar dari matahari dan memiliki kecemerlangan 60.000 kali daripada matahari. Kamu bisa bayanginlah gimana jadinya kalau Deneb ada di tata surya kita buat gantiin posisi matahari.” “Yang kedua yang itu,” ucap Shena seraya menunjuk bintang kedua. “Namanya Vega. Bintang paling terang di rasi Lyra. Vega juga merupakan salah satu yang paling terang di langit malam. dan yang terakhir itu namanya Altair, jaraknya cuma 17 tahun cahaya dari bumi. Altair juga salah satu bintang terdekat dari bumi.” Shena masih memasang senyumannya. "Kamu tahu nggak, Rey, apa yang aku kagumi setelah mempelajari mereka?" Reygan tidak menjawab. Hanya menatap Shena agar melanjutkan kalimatnya. "Tuhan baik banget sama manusia. Tuhan taruh mereka yang mungkin membahayakan, jauh dari bumi supaya kita bisa hidup selayaknya. Tapi di waktu-waktu tertentu, Tuhan kasih kita kesempatan untuk melihat mereka. Membuat langit malam kita lebih indah dari biasanya." "Lo berkali-kali bikin gue kagum, Shen. Lo selalu bisa ambil pesan dari apa yang lo lihat." Reygan meraih sebelah tangan Shena yang dingin. Angin malam membuat bagian tubuh yang tidak tertutup terasa lebih dingin. Menggenggamnya sesaat. Setelahnya menyematkan sebuah benda melingkar di jari manis Shena. Shena yang terkejut menatap Reygan penuh tanya. "Rey, ini?" Reygan mengangguk. "Gue tahu mungkin ini terlalu singkat, Shen. Lo bisa menolak kalau menurut lo gue nggak layak. Tapi sebelum itu, kasih gue kesempatan untuk membuktikan semuanya sama lo. Setelah lo benar-benar yakin, gue akan datang, ketemu keluarga untuk kelanjutan hubungan kita." Shena terdiam. Menatap Reygan tepat di matanya. "Rey, tapi aku cuma ...." Reygan menggeleng. "Jangan bahas soal perbedaan ekonomi di antara kita. Karena gue nggak peduli sama sekali dengan hal-hal itu. Gue cuma minta kesempatan untuk buktiin semuanya. Lo kasih, 'kan?" Shena menghela napas. Sulit. Bukan hanya karena keduanya yang belum mengenal lama. Juga karena rasa rendah dirinya yang terkadang hadir tanpa diminta. Tapi melihat tatapan Reygan, Shena tidak bisa menolak. Maka setelahnya, Shena mengangguk sembari memasang senyuman yang sama indahnya. Reygan menghela napas lega. Menarik Shena ke pelukannya. Menepuk bahunya lembut, juga sesekali memberi ciuman sayang di kening si perempuan. Malam ini, di bawah taburan bintang, ada satu hubungan yang jauh lebih serius. Kesan baik di empat menit awal itu terus berlanjut. Dengan harapan, akan terus mencapai titik akhir dalam perjalanan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD