BAB : 8

1784 Words
Lova merasa kepalanya sangat pusing. Menyadari saat dirinya ditarik paksa oleh seseorang, tapi seolah tak mampu untuk menolak, apalagi samapi melawan. Tenaganya seolah terkuras habis, hingga untuk berjalan pun membuatnya tak kuat. "Lepasin aku!" pekiknya saat dua orang cowok dengan mudah membawanya untuk masuk ke dalam mobil. Ia menyadari kalau ini adalah situasi yang sangat buruk. Tapi apa daya, dirinya terasa sangat lemah. Dan jangan sampai ia tak sadarkan diri. "Ya ... tenang saja. Kamu akan bebas setelah apa yang kami inginkan, bisa kami dapatkan. Sabar ... kita cari tempat yang lebih aman dan nyaman, Lova," balasnya tersenyum sambil mencengkeram dagu Lova dengan kasar. Berniat mencium, tapi Lova dengan cepat mendorong salah satu dari mereka hingga tersungkur ke jalan. Kemudian berusaha bangkit dan kembali keluar dari mobil. Marah, cowok itu malah dengan cepat menamparnya dengan kuat, hingga langsung pingsan karena kepalanya tak sengaja membentur pinggiran mobil. Ditambah lagi dengan keadaannya yang saat itu memang dalam kondisi yang sangat lemah. "Gadis sialan!" umpat mereka. Dalam keadaan tak sadarkan diri, Lova kembali dibawa masuk ke dalam mobil. Tapi, di saat kedua cowok itu hendak masuk dan segera pergi, seseorang datang menghadang. "Jangan berharap kalian dengan mudah membawanya pergi!" Keduanya mengarahkan pandangan kearah asal suara, tapi dengan cepat sebuah pukulan menghantam perut mereka hingga berakhir tergeletak di jalan. Tak sampai di situ, tentu saja saat satu lawan dua, akan memberi peluang kemenangan ... begitu pikir keduanya. Namun, pada kenyataannya perkiraan kadang tak sesuai hasil yang didapatkan. Karena endingnya justru malah mereka yang terkapar penuh bekas pukulan. Setelah menghajar dua laki-laki berandalan itu, ia kemudian mengeluarkan Lova yang sudah tak sadarkan diri dari mobil dan segera membawanya pergi. ---o00o--- Pusing, itulah yang ia rasakan saat membuka mata. Bahkan sudut bibir dan juga dahinya terasa sangat sakit. Badannya terasa remuk seperti habis dipaksa kerja rodi. Kini, pandangannya mengarah ke sekelilingnya dan berakhir pada seseorang yang duduk di kursi yang ada disampingnya. Ya ... dia dalam keadaan tertidur. "Pak Mirza," gumamnya sambil mencoba untuk bangun dari posisi tidurnya. Kemudian tangannya mulai mendekati wajah Mirza dan menyentuhnya dengan lembut. Jujur, ya ... awalnya ia tak berniat membangunkan macan yang tengah tertidur ini, tapi ternyata sentuhannya malah membuat dia bangun. Yasudah, efeknya justru ia yang malah tiba-tiba kelabakan karena kaget. Semoga saja cowok ini tak menyadari akan sikapnya barusan. Mirza mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, kemudian tiba-tiba langsung berfokus pada Lova yang kini duduk dihadapannya. "Kamu udah bangun? Nggak kenapa-kenapa, kan? Apa ini masih sakit?" tanya Mirza langsung secara maraton, tapi tanpa sengaja ia malah menyentuh luka lebam di dahi Lova. Membuat gadis itu langsung meringis dan sontak memukul lengannya. "Astaga! Sakit tahu," kesalnya. Pengin nangis tahu, nggak. "Maaf ... nggak sengaja," ucapnya beranjak dari posisi duduknya di kursi dan berpindah duduk di pinggiran tempat tidur. Ia mendekatkan wajahnya pada Lova, kemudian meniup-niup dahi gadis itu yang luka agar terasa sedikit mendingan. Lova kesal pada Mirza akan semua sikap dia yang terkesan menyebalkan, tapi kenapa di saat sikap baik dan manisnya muncul seperti ini, malah membuat jantungnya seolah sedang diuji. "Udah, aku nggak kenapa-kenapa," komentar Lova mendorong Mirza untuk menjauh darinya. Jantungnya tak sekuat itu juga bisa menahan godaan. "Kenapa Bap ..." Ya ... tatapan mengerikan itu sedang menatap dirinya tajam. "Maksud aku, kenapa Kakak ada di sini? Dan juga, ini dimana?" Ia tak mengenal tempat ini sama sekali. Mirza beranjak dari duduknya dan berdiri sambil bersidekap d**a. "Harusnya aku yang bertanya padamu ... kenapa kamu bisa ada di tempat itu?" "A-aku ..." "Benar-benar gadis yang susah diatur. Sudah jelas-jelas aku melarangmu pergi, dan malah berani kabur. Sudah pernah ku bilang, kan, kamu itu tanggung jawab keluargaku, jadi jangan membuat kami seolah-olah mengabaikanmu begitu saja Lova." Ya ... dirinya memang anak yang susah diatur. Bahkan papanya pun mungkin akan berkata seperti itu. Tapi semua orang tak tahu, kenapa ia bisa jadi seperti itu. "Berpikirlah lebih dewasa ... karena nggak semua yang kamu lihat itu baik dan sesuai dengan apa yang kamu pikirkan. Lihatlah ... karena ingin menyingkirkan ejekan teman sekelas, malah membuatmu nyaris celaka." Saking kesalnya semua perkataan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Ia geregtan. Bagaimana tadi kalau ia tak datang menolong, habislah. Lova hanya diam, tertunduk lesu ... tapi sejujurnya ia sedang mencoba menahan tangis. Ia merasa diomeli oleh Mirza habis-habisan. Entah apa yang terjadi, melihat gadis itu bersedih malah membuatnya jadi tak tega. Padahal stok omelan dan ocehan sudah ia persiapkan dari tadi. Tapi sekarang malah seolah tak bisa ia keluarkan. "Lain kali jangan ulangi lagi. Jangan membuatku khawatir," ujar Mirza sedikit lembut. Ia yang awalnya hanya menunduk menerima oemlan, langsung menatap Mirza dengan ekspressi kaget. "Maksudnya, khawatir padaku?" "Heii ... siapa kamu yang harus ku khawatirkan. Setidaknya berpikirlah dengan jernih. Kekhawatiran orang tuaku, itu akan berdampak padaku juga. Paham?!" Dahi Lova semakin berkerut mendengar penjelasan Mirza yang semakin membuatnya bingung. "Ah, sudahlah ... otakmu tak akan kuat memikirkan hal seperti itu." Haruskah kali ini justru Mirza lah yang ia anggap aneh? Yap. Aneh ... aneh dan aneh. "Kamu udah baikan, kan? Sekarang kita pulang. Daripada nanti Mama sama Papa malah menyadari kalau kamu nggak ada di rumah," jelas Mirza menyambar kunci mobil yang ada di meja. "Mereka belum tahu kalau aku kabur?" "Kamu pikir aku sebodoh itu, mengatakan kalau kamu kabur? Itu sama saja dengan membuat penyakit jantung mamaku kambuh," balas Mirza. Ia menanggalkan sweater miliknya dan mengenakan pada Lova untuk menutupi tubuh gadis itu karena hanya mengenakan gaun tanpa lengan. Setidaknya matanya tak harus digoda oleh pemandangan yang pasti akan membuat setiap mata kaum adam jadi mabuk. Lagi, sikap Mirza membuatnya specless. Tapi tak berlangsung lama, karena kembali mengingat sikap menyebalkan cowok ini. Keduanya keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju lantai bawah. Betapa kagetnya Lova saat mendapati seseorang yang sedang duduk di kursi. Kagetnya pake banget. Kalau bisa mengilang, ia akan menghilang dari peredaran untuk menyelamatkan diri. Tapi sayangnya ini hanya imajinasinya saja. "Pak Farel, kok Bapak ada di sini?" tanya Lova masih shock. Ia masih sadar sesadar sadarnya dan benturan di kepalanya juga tak membuatnya jadi amnesia dadakan, hingga bisa lupa kalau Farel adalah satu guru di sekolahnya. Farel beranjak dari duduknya, kemudian berjalan menghampiri Lova sambil tersenyum. "Lova ... saya nggak nyangka loh, kalau kamu seliar ini," bisiknya. Mendapatkan sikap dan perkataan seperti itu, tentu saja membuatnya mati kutu. Menghindari adalah jalan terbaik. Langkahnya ia rapatkan, mendekat kearah Mirza, seolah mencari persembunyian yang aman. Ya ... untuk akhir-akhir ini berada di samping cowok ini memang sedikit membuatnya merasa aman. Mirza malah ikut tersenyum menanggapi apa yang dikatakan oleh sobatnya itu. "Bayangin kalau tadi Mirza nggak datang nolongin kamu. Mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi. Atau jangan-jangan sesuatu yang buruk udah terjadi? Di antara kalian berdua, mungkin?" Apa yang sedang dipikirkan gurunya ini? Mirza menyikut lengan Farel. "Guru b***t," umapatnya menanggapi perkataan Farel. Farel hanya tertawa melihat reaksi Mirza yang terlihat berbeda sikap jika pada Lova. Meskipun belum mengatakan apa-apa soal Lova, tapi melihat sikap sobatnya yang terkesan over pada salah satu anak asuhannya itu, justru malah membuatnya langsung berpikiran kalau antara keduanya ada sesuatu. "Lova, dia belum melakukan hal yang ekstrime, kan, padamu?" tanya Farel sambil menunjuk kearah Mirza. "Hmm ... maksud Bapak apa, ya?" tanya Lova bingung, tapi ia kembali mengingat sesuatu. "Eits ... tapi dia pernah ..." Mirza langsung menghentikan perkataan Lova dengan cara menutup mulut gadis itu menggunakan tangannya. Ia yakin sekali perkataan apa yang akan diucapkan Lova selanjutnya. "Dia pernah ngapain?" tanya Farel penasaran. Itu terlihat jelas dari raut wajahnya. "Thank's, ya ... tumpangannya. Sampai jumpa besok," ujar Mirza berlalu pergi dari sana, tentunya dengan Lova yang masih berada dalam rengkuhannya. "Woyyy ..." Panggilan Farel diabaikan Mirza begitu saja. Gila juga gadis ini mau membeberkan apa yang sudah ia lakukan padanya. Sampai di depan mobil barulah ia menyingkirkan tangannya yang membekap mulut Lova. "Kakak apa-apaan, sih? Mau membuatku mati kehabisan napas, hah?!" bentaknya kesal. Tapi apa, bukannya meladeni perkataannya, justru malah mendorongnya segera masuk ke dalam mobil dan menutup pintu dengan cepat. Kadang sikap Mirza membuatnya bingung harus membalas seperti apa. Dia baik, dibalas baik malah seolah menindasnya. Dia bersikap buruk, ketika dibalas justru malas membalasnya dengan hal yang lebih parah. Keduanya segera menuju rumah. Di perjalanpun, Mirza terlihat lebih diam, seolah tak berniat untuk bicara. Ini situasi yang memebuat Lova merasa diabaikan. Bukan ... bukan, lebih tepatnya merasa ... ah, bingung. Sampai di depan pagar, Mirza menghentikan laju mobilnya. Pandangannya kini ia arahkan pada gadis yang masih duduk di sampingnya dengan wajahnya yang masih lebam. "Kenapa berhenti dan kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Lova sedikit bergidik ngeri. Pengalaman m***m itu, membuatnya sedikit takut jika hanya berdua dengan gurunya ini. Iya, takut saja kalau dia kumat lagi. "Lova ... kamu nggak mungkin, kan, masuk ke dalam rumah dengan keadaan kayak gini?" tanya Mirza. Barulah ia mulai berpikir jernih, ternyata Mirza tak sedang memikirkan hal m***m. Benar, ia tak mungkin masuk ke dalam rumah dengan keadaan kayak gini. Gilbert dan Diana juga tak mengetahui kalau ia melarikan diri. Jadi, mana mungkin juga kalau ia akan masuk seperti biasa. "Salahmu ... jadi coba pikirkan caranya," keluh Mirza seolah tak ambil pusing dan menyerahkan semua solusi pada gadis itu. Diam beberapa saat ... "Baiklah ... kalau gitu aku masuk lewat jalur yang sama dengan caraku kabur," ujarnya dengan nada tak bersemangat. Pesimis kalau berhasil ... yakali ia harus manjat. Ayolah gais ... turun lebih mudah daripada manjat. "Baguslah kalau sudah tahu caranya," respon Mirza kembali melajukan mobilnya memasuki pekarangan rumah yang pagarnya sudah dibukakan oleh satpam. Secara cepat Lova turun dari mobil dan mengendap-ngendap menuju arah samping. Lebih tepatnya bertepatan dengan kamarnya yang terletak di bagian atas. Bahkan tali yang ia gunakan untuk kabur tadi, masih berada di sana. Ini gila! Berkali-kali berhasil kabur sebelumnya, tapi nggak pernah yang saat balik harus manjat lagi. Karena Bibik pasti sudah standby di depan pintu menunggunya. Tapi sekarang, ini menakutkan. Sebelum naik, ia memandang keatas yang ternyata lumayan tinggi. Bisakah ia mencapai titik itu? entahlah. "Hwaiting Lova!!!!" ujarnya sedikit melambatkan volume suaranya. Layaknya sebuah ponsel, tenaganya kali ini mungkin hanya tinggal 20%. Pesimis kalau sampai berhasil mencapai atas. Terus naik, meskipun tangannya terasa perih. Yakinlah, sudah ada beberapa bekas memerah di telapak tangannya. Padahal ini baru mencapai pertengahan. "Gue pasti bisa ... gue pasti bisa," gumamnya terus bersemangat. "Ayolah ... ini tinggal setengah jalan lagi," tambahnya dengan napas yang sudah ngos-ngosan. Tapi tiba-tiba satu pegangannya malah lepas, tentu saja satu tangannya lagi tak akan sanggup menahan bobot badannya hingga akhirnya ikut terlepas. Pikiran buruk langsung bersarang di kepalanya. Semoga nggak ada batu yang menunggunya di bawah, hingga mengakibatkan kepalanya bocor, atau bahkan tulang belulangnya remuk. Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal Kak Mirza yang suka bikin kesal, yang udah mencuri ciumannya, yang udah membuatnya berasa dipenjara, dan ... tunggu, kenapa dari atas kok ya lama amat nyampenya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD