BAB : 7

1597 Words
Saat makan malam, semuanya hanya hening tanpa bicara sepetah katapun. Bingung, apa mereka semua tiba-tiba jadi bisu? Kenapa nggak ada satupun obrolan? Suasana jadi mencekam. Perutnya yang tadinya berasa laper banget, tapi baru makan beberapa sendok saja sudah terasa kenyang karena suasana yang hening. Paling ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring hingga mengeluarkan bunyi dentingan. Satu persatu selesai makan, dan ia paling akhir. Ini saja menghabiskan makanan rasanya kayak nyangkut di tenggorokan dan nggak akan lanjut kalau bukan karena dorongan air minum.  Mirza berpindah ke ruang keluarga, kemudian menyibukkan diri dengan laptop dan juga beberapa buku berukuran tebal yang berada di sampingnya. Ditambah lagi dengan onggokan buku ... sepertinya buku sekolah. Mungkin saja buku milik Lova berada diantara semua itu. secara, siang tadi di sekolah ada tugas. Tepat saat jam menunjukkan pukul 19:30, Lova menghampiri Gilbert dan Diana yang sedang mengobrol di teras samping. Tentunya dengan rasa was-was yang menghantui dirinya. "Ehem ..." Ia berdehem, membuat sepasang suami istri itu mengarahkan pandangan padanya.  "Lova ... ada apa, Nak?" tanya Diana beranjak dari posisi duduknya. "Om, Tante ... aku mau minta ijin boleh, nggak?" "Ijin untuk?" tanya Gilbert. "Boleh, nggak ... aku keluar? Itu ... salah satu temanku ngundang ke pestanya. Jadi, aku nggak enak kalau nggak datang," jelasnya dengan sedikit senyuman mengiringi penjelasannya.  Gilbert dan Diana saling bertukar pandang, seolah sedang bertanya satu sama lain.  "Tapi ini, kan, udah malam, Sayang," komentar Diana sambil membelai rambut gadis itu lembut.  "Ya gimana, ya, Tante ... kalau siang hari, kan, sekolah. Lagian, ini nggak akan lama, kok. Ini juga pesta yang aman, bukan yang sampai ..." "Nggak boleh!" Perkataan itu membuat ketiganya mengarah ke asal sumber suara. Seseorang yang kini berdiri di dekat pintu, dengan kedua tangannya yang berada di saku celannya.  "Tapi aku, kan cuman ..." "Larangan selanjutnya ... dilarang keluar malam," timpal Mirza langsung. Lova memandang jengkel kearah Mirza. Kenapa harus ada peraturan macam itu? Ia tak yakin kalau papanya akan memeberikan semua aturan.  Ia berjalan menghampiri cowok itu. "Kenapa jadi banyak aturan gini, sih? Aku keluar cuman karena ada acara, kok. Kalau aku nggak datang, Vianka akan terus mengejekku," jelasnya tetap tak terima. "Nggak ada anak sekolah yang berkeliaran di malam hari, Lova. Meskipun kamu bilang nggak akan melakukan hal aneh-aneh pun, tapi tetap saja sangat buruk dipandang. Kamu nggak bisa mastiin, kalau kamu akan baik-baik aja di luaran sana." Tanpa membalas perkataan Mirza, ia berlalu pergi dari sana. Daripada ia kesal dan malah bersikap buruk di depan Gilbert dan Diana, lebih baik menghindar.  "Mirza ... Mama kan udah bilang sama kamu, jangan terlalu mengekangnya seperti itu. Jangan membuat dia di sini seolah berada dalam penjara. Mama tahu, kamu lakuin ini agar dia aman, tapi tetap saja jangan terburu-buru. Dia biasa bebas, malah kamu kurung, ya dia kesal lah," terang Diana langsung mengomeli putranya.  "Ma ... dia bukan gadis lemah, yang akan diam saja jika keinginannya tak bisa ia capai," balas Mirza. "Mama lihat saja nanti, apa yang akan dia lakukan," tambahnya. "Mirza benar, Ma," respon Gilbert atas pendapat dan keputusan putranya. "Setidaknya kita harus menjaganya saat tanggung jawab itu diberikan pada kita. Suka atau tidak suka, inilah cara kita menjaganya." Kali ini Mirza sedikit lega, karena papanya setuju dengan keputusannya. Kalau tidak, habislah ia mendapat ocehan mamanya yang jika mulai, susah untuk berhenti. "Kalian bersekongkol, ya?" "Mama ... " "Udah, ah ... Mama capek, mau istirahat," timpal Diana berlalu meninggalkan dua laki-laki yang sepertinya saat ini berada di jalan yang sama dan ia belok sendiri. "Ya ampun ... Mama malah ngambek," ujar Gilbert. Setelah berdebat dengan Lova dan kemudian ditambah dengan mamanya, kini ia sudah berada di kamar. Beberapa pekerjaan kantor menantinya, ditambah lagi dengan memeriksa ulangan para siswa. Kadang ingin mengeluh, tapi balik lagi, toh keputusan untuk melakukan dua rutinitas ini ia yang ambil. Jadi, kalau sekarang mengeluh, tentu saja itu artinya ia menyatakan kalah dalam peperangan. Ya, lebih tepatnya peperangan dalam menguras isi kepala. Saat hendak minum, ternyata gelas yang berada di sampingnya sudah kosong tak ada isinya lagi. Ia beranjak dari kursi dan keluar kamar. Berniat turun ke lantai bawah untuk mengambil minum di dapur, tapi tiba-tiba saja langkahnya malah terhenti tepat di depan pintu kamar Lova. Ia melirik waktu di jam yang ada dipergelangan tangannya. Pukul 20:30 ... sepertinya gadis itu juga belum tidur. Langkahnya ia tujukan menuju kamar Lova. Tanpa mengetuk, ia buka pintu yang nyatanya tak dikunci sama sekali. Bisa dikatakan gadis itu sedikit ceroboh, karena tak pernah mengunci kamarnya yang nyatanya itu adalah ruangan pribadi. Tapi suatu keberuntungan baginya karena tak harus mengetuk dulu untuk bisa masuk.  Sampai di dalam, ia edarkan pandangan ke seluruh area kamar. Nyatanya apa? bahkan ia tak menemukan sosok gadis itu.  "Lova," panggilnya. Tetap saja tak ada sahutan sama sekali. "Kamu lagi di kamar mandi kah?" tambahnya bertanya sambil berjalan menuju arah kamar mandi dan tetap dengan hasil yang sama. Bahkan di ruangan ini seolah tak ada tanda-tanda kehidupan.  Kini fokus Mirza mengarah ke balkon yang saat itu pintunya terbuka lebar. Yap, feelingnya benar sekali. Saat sampai dan memeriksa keadaan di sana, ia dapati sebuah tali berukuran panjang terikat di antara pagar pembatas.  "Gadis ini benar-benar sedang menguji kesabaranku," gumam Mirza seolah sedang merencakan hukuman yang tepat untuk gadis itu.  Dengan langkah cepat ia kembali ke kamarnya, mengambil sweater dan kunci mobil. Kemudian turun menuju lantai bawah. Tapi saar sampai di ruang tengah, tiba-tiba mamanya datang. "Kamu mau kemana, Za? Udah malam loh." Karena putranya tak biasa keluyuran malam-malam, makanya ia bertanya. "Mau ke rumah teman bentar, Ma ... ada yang mau dibahas, masalah kerjaan," jawabnya sambil menyambar, kemudian mencium punggung tangan mamanya untuk pamit. "Hati-hati, jangan ngebut," pesannya. "Iya," jawabnya sambil berlalu pergi. Dalam perjalanan, ia terus menghubungi Lova lewat ponsel, tapi tiap panggilannya dengan sengaja malah diriject. Keterlaluan sekali bukan. Apa gadis itu memang sengaja membuatnya merasa cemas? Jujur, ia memang cemas. Apalagi dia bilang pesta ini ada hubungannya dengan Vianka. Yang nyatanya mereka berdua adalah musuh. "Astaga! Lova bisa dijawab nggak, teleponku!"  Bingung, ini dia mencari Lova kemana? Ia nggak tahu dimana gadis itu sekarang. Dirinya juga nggak mempunyai kontak satupun teman sekelasnya.  "Ck ... coba nanya Farel aja, kali, ya," gumamnya sambil mencari kontak seseorang dan segera menghubunginya. "Hallo, Rel, lo dimana?" tanya Mirza. "Di rumah," jawabnya. "Kenapa?" "Lo pasti save kontak semua siswa di sekolah, kan?" "Gue nggak save di ponsel lah, yakali sebanyak itu," balasnya sedikit tertawa. "Di arsip maksudnya." "Ada,kenapa?" "Bantuin gue. Cek kontak kelas 12, sekarang!" "Hah?" "Maksud gue, kirim kontak Andine, Windi dan Odit," jelasnya menyebutkan beberapa nama sahabat Lova. Tentunya mereka bertiga pasti mereka bertiga ikut hadir di pesta itu. "Otewe, tapi gue cek dulu satu-persatu. Ntar langsung gue kirim," jelas Farel. "Cepetan, ya," desak Mirza. "Ya ...." Akhirnya Mirza harus menunggu beberapa menit untuk mendapatkan kontak ketiga gadis itu. Setidaknya ia tak mencari Lova seperti sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Beberapa saat kemudian, kontak ketiga gadis itu ia terima dari Farel. Langsung, dirinya mulai menghubungi satu persatu nomer itu.  Pertama, Odit. Sudah lima kali mencoba, tapi apa? Tak ada jawaban sama sekali. Seolah-olah ponselnya ditinggal di rumah dan pemiliknya entah pada kemana. Begitupun hal yang sama saat ia menghubungi Windi. Kini satu-satunya harapannya hanya Andine. Semoga saja gadis itu menjawab panggilannya. Kalau tidak, entahlah.  Ia memukul setir, saat hal yang sama juga ia alami saat menghubungi Andine. "Ini benar-benar membuatku muak!" Saat bingung, tiba-tiba ponselnya berdering pertanda ada panggilan masuk.  "Hallo ..." "Ini siapa?" "Saya Mirza," jawabnya. "Kamu?" "Ba-Bapak Mirza?" tanya dia seolah tak percaya. "Iya." "Saya Windi, Pak. Maaf, ada apa, ya, Pak?" "Kamu sama Lova?" tanya Mirza. "Lova? Barusan, sih, iya, Pak ... cuman nggak tahu, nih, anak kemana. Tiba-tiba ngilang gitu aja. Atau mungkin udah balik duluan kayaknya," jelasnya. "Share location," suruh Mirza langsung menutup percakapan. Beberapa saat kemudian, Windi mengirim lokasinya saat ini, dimana pesta diadakan. Segera, ia tancap gas menuju arahan Windi. Bahkan ia tak ambil pusing dengan kecepatan mobil yang sudah berada di batas rata-rata. Bukan apa-apa, masalahnya ia terlalu peka saat akan terjadi sesuatu pada orang-orang di sekitarnya.  Hanya butuh beberapa menit baginya untuk sampai di tujuan. Sebelum keluar, ia mengenakan masker untuk menutupi wajahnya, begitupun dengan topi sebagai penutup kepalanya. Kalau tidak begitu, bisa heboh penghuni pesta ini yang pada kenyataannya adalah muridnya semua.  Ia berniat menghubungi Windi, tapi sebelum itu yang dihubungi justru menghampirinya terlebih dahulu.  "Bapak Mirza?" tanya Windi memastikan kalau yang ada dihadapannya kini adalah si guru cogan. "Hmm," angguknya. Tak hanya Windi, saat itu ada Odit dan juga Andine. Tentu saja melihat Mirza di sana, membuat ketiganya seolah tak percaya. Seperti kedatangan seorang pangeran berkuda putih. Walau kenyataannya Mirza datang justru dengan mobil berwarna putih.  "Lova dimana?" "Tadi sama kita, Pak. Cuman ada cowok ngajakin dia ngobrol, trus ..." "Trus?" "Nggak tahu, deh, mereka kemana lagi." "Cowok? Apa dia masih siswa sekolah kita?" "Kayaknya enggak, Pak. Soalnya saya juga baru lihat tampangnya tadi. Btw lebih cocok kayak berandalan," jelas Odit menambahkan. "Ada tato di lengannya," tambah Andine. Kecemasan Mirza semakin akut. Kini, pencariannya kembali buntu. Kemana lagi ia harus menemukan Lova? Gadis itu telah berhasil membuat otaknya berpikir dengan tingkat kecemasan yang paling parah. "Kalian bertiga sahabatnya, bukan!? Kenapa malah membiarkannya bersama dengan cowok yang nggak dikenal?! Harusnya bisa jagain dia! Kalau dia berada dalam bahaya gimana?!" Ketiga gadis itu sampe dibuat diam karena ketakutan dengan luapan emosi Mirza. Tak hanya itu ... mereka juga sediit bingung dengan sikap guru yang satu ini. Hellow ... kenapa juga seorang Bapak Mirza secemas itu dengan keadaan Lova? Mencurigakan. Tapi, di saat pikirannya kacau dan bingung, pandangannya justru mengarah pada suatu objek. Lumayan jauh, kira-kira berjarak 50 meter dari posisinya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD