BAB : 9

2329 Words
Ini bukan menyakitkan, malah terkesan nyaman. Kedua matanya yang tadinya terpejam, mengira kalau dirinya akan mati, sekarang terbuka perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah tampan itu. Kenapa seolah membuat otaknya tak beres. Apa ia sudah mati? Jangan-jangan yang ada dihadapannya kini adalah malaikat. "Ya ampun ... ternyata benar, aku sudah mati," gumamnya dengan tampang sedih. "Dasar gadis bodoh. Kamu masih ada di dunia nyata, jadi jangan berpikiran aneh-aneh seperti itu. Atau memang berniat mati sekalian?" Kaget dong ... masa malaikat ngomongnya ngegas gitu. Dengan cepat ia menyentuh wajah rupawan itu. "Kak Mirza," gumamnya tersenyum miris. "Syukurlah ... berarti otakmu masih beres." Lova seketika langsung turun dari posisinya yang masih anteng berada di pangkuan Mirza. "Aku masih waras, aku masih sehat, Bapak. Yakali aku tiba-tiba jadi setress gara-gara terjun dari ketinggian," berengutnya dengan wajah kesal. Di saat perdebatan sengit itu terjadi, tiba-tiba terdengar suara beberapa orang yang mengarah ke tempat dimana mereka berada. Auto kaget dong. Mirza dengan cepat menarik Lova menuju balik sebuah pot bunga berukuran agak besar. Lagian, disini suasananya agak gelap, sepertinya akan aman. Ada Gilbert, Diana dan juga seorang satpam. Seolah sedang mencari-cari sesuatu di sana. "Perasaan tadi Mama dengar sesuatu dari arah sini, Pa, tapi kok nggak ada apa-apa, ya?" tanya Diana malah bingung sendiri, masih mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. "Sudah ku bilang, kan, kalau kamu pasti salah dengar," komentar Gilbert menanggapi. "Serius loh ini. asalnya juga dari arah sini tadi," ujanya meyakinkan suaminya. "Oiya, di depan kok udah ada mobil Mirza?" "Maaf Tuan, Nyonya ... barusan Den Mirza udah datang," ungkap Pak satpam. "Nah ... mungkin tadi yang Mama dengar suara deru mesin mobinya Mirza, jadi malah mikir kemana-mana," jelas Gilbert. Yang jelas agar istrinya ini tak terus berpikiran buruk lagi. "Omaigat papa!!!!!!" Yakinlah, teriakan ibu-ibu paruh baya ini bisa membuat warga satu kompleks perumahan nyaris terbangun dari tidur nyenyak mereka. Bahkan Lova dan juga Mirza yang posisinya sedang bersembunyipun, sampai menutup kuping. "Gila! Pantas aja anaknya suka ngomel kayak gini, emaknya aja kayak gitu," bisik Lova menahan tawa, seolah memang sengaja meledek Mirza. Kalau saat ini keduanya tak dalam persembunyian, pastilah dirinya akan menjadi titik fokus Mirza dalam melakukan hal menyebalkan. "Awas kamu," ancam Mirza membalas. "Pa, ini tali buat apaan?" tanya Diana bingung dengan tali yang digunakan Lova untuk naik, masih tergantung mecapai pagar pembatas balkon kamarnya. Mirza dan Lova saling pandang, tentunya sambil memasang wajah kaget. Akankah mereka akan ketahuan? "Talinya, Kak," gumam Lova bergidik ngeri. "Ck ... kenapa tadi nggak kamu tarik?" "Gimana mau nariknya, Bapak ... itu, kan, diiket di atas," terang Lova. Haruskah seorang Mirza mulai menunjukkan sifat bodohnya yang memang disembunyikannya selama ini? Bersyukurlah kalau memang benar. Mirza menepuk jidatnya dengan sengaja. Kebodohan Lova sepertinya luntur dan menetes ke otaknya hingga membuat dirinya tiba-tiba jadi bodoh. "Jangan jangan ... ada maling, Pa," pikir Diana bergidik ngeri. "Lova!!!!" pekiknya tiba-tiba malah kepikiran dengan gadis itu. Jadilah, ketiganya bergegas kembali ke dalam rumah. Apalagi kalau bukan menuju ke kamar Lova dan memastikan kalau apa yang sedang mereka pikirkan tak terjadi. Mirza langsung membuka sebuah jendela yang ada di sana, yang terhubung langsung dengan ruang keluarga. "Cepetan masuk," suruh Mirza yang dengan cepat dilakukan oleh Lova. Setelah itu, iapun mengikuti. Keduanya dengan cepat berlari, kemudian menaiki anak tangga menuju lantai atas. Setidaknya mereka harus mendahului Gilbert dan Diana untuk sampai di kamar. "Cepetan masuk, Lova," suruh Mirza agar Lova segera masuk ke dalam kamar dan berpura-pura tidur. "Ini gimana, Kak?" tanya Lova sambil menunjuk lebam di dahinya yang masih terlihat begitu jelas. Mirza berpikir, mungkin inilah pemikiran yang paling susah ia pikirkan. Harus pake apa ia tutupi luka itu? Matanya berkeliaran mencari sesuatu untuk digunakan sebagai penutup. Hingga fokusnya tertuju pada sebuah benda yang ada di meja hias. Dengan cepat ia ambil benda itu dan mengeluarkan dari bungkusnya. "Anggaplah kalau kamu tidur mengenakan masker wajah ini," ujar Mirza membantu memasang marker yang tiba-tiba malah sulit menempel. Benar-benar tak sepaham ini benda dengan keadaannya. Setelah benda itu terpasang, kemudian Lova menutupi tubuhnya dengan selimut, dan pura-pura tidur. Mirza bergegas untuk segera keluar dari kamar itu, tapi baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, dan apa yang terjadi, seseorang malah lebih dulu membukanya dari arah luar. Sontak, dan mau tak mau ia hanya bersembunyi dibalik pintu, yang akan tertutupi jika pintu terbuka lebar. Parahnya lagi, saat pintu terbuka, jari tangannya malah tak sengaja kejepit di belakang pintu. Pengin teriak, tapi mencoba menahan dengan hanya menggigit bibir bawahnya agar tak mengeluarkan suara. Diana memberi kode pada suaminya agar tetap diam dan tak berisik, karena melihat posisi Lova yang saat itu dalam keadaan tidur. "Pa ... Lova udah tidur," ujar Diana sambil berbisik, melihat gadis yang sudah memejamkan mata dengan masker yang masih menempel di wajahnya. "Iya, Ma ... berarti di sini nggak terjadi apa-apa," balas Gilbert. Ia berjalan menuju balkon kamar dan mencopot tali yang masih terikat di pinggiran pagar pembatas. Setelah itu, ia kembali masuk dan mengunci pintu serta menutup tirai jendela. "SSttt ... jangan sampai Lova tahu kita ada di sini. Ayok keluar," ajaknya pada Diana menarik tangan suaminya untuk segera keluar dari sana. Pintu kembali ditutup dengan perlahan dari arah luar. Menampakkan Mirza yang masih bersandar di dinding belakang pintu sambil meniup-niup tiga jarinya yang jadi korban. Mendengar pintu ditutup, Lova yang pura-pura tidurpun, juga kembali membuka matanya. Perlahan ia edarkan pandangan kearah pintu, setelah memastikan Gilbert dan Diana sudah pergi, barulah ia beranjak dari tempat tidur sambil mencopot masker di wajahnya. "Kakak kenapa?" tanya Lova menghampiri Mirza yang masih meringis. "Kamu lihat, tanganku jadi korban. Ini semua gara-gara kamu, Lova!" marahnya. Saking kuatnya itu pintu menjepit jarinya, sampai-sampai ujung jarinya langsung membiru. "Kenapa aku yang disalahin, sih?" tanya dia bingung. Mirza tak menjawab dan tak berniat untuk berkomentar lagi ... malah memilih segera pergi dari sana. Ia hanya sedang fokus pada ketiga jarinya yang sedang nyut-nyutan. Rasa sakitnya itu berasa sampe ke otaknya. Mending luka sekalian, daripada cuman biru begini, tapi rasanya sungguh luar biasa. Untung saja jarinya tak patah. Tentu saja Lova bingung dengan sikap Mirza. Kenapa tampang tu cowok semenyedihkan itu? Di saat yang bersamaan, ponselnya berdering. Segera ia ambil di dalam tas, benda kotak pipih itu. Ternyata, Andine lah yang menghubunginya. "Ya, Ndine," jawabnya sambil tiduran. "Eh, lo dimana? Nggak kenapa-kenapa, kan?" "Gue udah di rumah dan nggak apa-apa," jawabnya. "Guys ... kayaknya ada yang sengaja ngerjain gue di pesta tadi," pikirnya. "Iya ... dan gue pastiin itu kalau pelakunya adalah si Vianka. Secara, yang selalu panas sama lo, kan, cuman tu anak." "Odit, lo masih sama Andine?" tanya Lova saat mendengar justru Odit lah yang ikut nimbrung dalam obrolannya dengan Andine. "Hehehe ... gue nginep di tempatnya Andine," jawab Odit. "Ih ... enak dong. Lah gue, malah terdampar di sini, di rumahnya si cowok galak itu," ungkap Lova memikirkan betapa mirisnya nasibnya kini. "Lova Sayang ... harusnya bersyukur, bisa terdampar di sarangnya Bapak Mirza. Bayangin, kalau lo malah terdampar di kandang macan," jelas Odit bergidik ngeri. "Kenapa juga harus ngebayangin, asal lo pada tahu, di sini, gue udah berasa kayak di kandang macan. Lebih parah lagi kalau macannya lagi musim puberitas, aduh ..." "Hah?" "Ah ... maksud gue ... nggak usah dipikirin. Gue mau istirahat dulu. Bye," ujar Lova menutup pembicaraan dengan Odit dan juga Andine. Ia beranjak dari tempat tidur, berniat untuk mengganti baju. Tapi, tangannya terhenti saat mendapati sweater milik Mirza yang masih menempel di badannya. "Baik ... sayangnya dia juga galak kayak macan," gumam Lova menanggalkan benda itu dan meletakkan di kursi. Kemudian ia menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian. ---o00o--- Minggu pagi adalah hari bebas bagi Lova. Ya, karena otomatis sekolah libur. Jadi, bangun pagi pun akan diliburkan. Apalagi kejadian semalam sedikit membuat fisiknya sedikit tak sehat. Kepalanya pusing, ditambah lagi dengan luka di dahi dan sudut bibirnya yang masih sakit, meskipun bekasnya sudah mulai memudar. Next ia akan buat perhitungan dengan orang yang sudah membuatnya nyaris celaka. Ya ... bagaimana jadinya jika semalam Mirza tak datang menolongnya? Bisa-bisa ia akan berakhir dengan tragis. Kalau langsung dibunuh, mungkin itu tak akan meninggalkan bekas. Tapi lain cerita kalau ia malah dianiaya atau malah ... ah, sudahlah, membayangkannya saja begitu terasa menakutkan. Nanti ia akan ucapkan terimakasih dengan setulus hati pada guru macan itu, karena sudah menolongnya. Ya, meskipun terpaksa, sih. ---o000o--- Mirza menghampiri Gilbert dan Diana yang sedang menikmati sarapan di meja makan. Ia tak langsung duduk, tapi malah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seolah mencari sesuatu. "Kenapa, Za?" tanya Diana melihat reaksi putranya. "Dia mana?" "Lova?" "Siapa lagi," balasnya. "Mirza ... sekarang Minggu. Ngapain juga harus bangun pagi-pagi, toh nggak sekolah," jelas Diana. "Mamaku sayang, bangun pagi itu bukan hanya karena sekolah. Waktu liburpun, harusnya dia bangun seperti biasa. Wanita kok malas banget," gerutunya hendak berlalu pergi. "Eh eh ... kamu mau kemana?" "Bangunin dia lah, Ma." Jawab Mirza menghentikan langkahnya. "Biarin aja, Za. Kamu kok segitunya banget, sih," oceh Diana. Lama-lama ia geregetan juga dengan sikap putranya pada Lova yang seolah dididik sedisiplin mungkin layaknya prajurit perang. "Tapi, Ma ..." "Mirza, pliss deh, dengerin Mama kali ini," timpal Diana yang akhirnya berhasil membuat si putra makhkota itu kembali duduk ke kursinya. Ya ... meskipun wajahnya terlihat begitu kecut dan asem kayak jeruk limau. Mirza akhirnya ikut menikmati sarapannya. "Loh, ini tangan kamu kenapa, Za?" tanya Diana mendapati jari sang anak yang terlihat membiru. "Eh, enggak kenapa-kenapa, kok, Ma," elaknya sedikit meringis karena sang Mama justru malah dengan sengaja memegang jarinya yang masih membiru. Ya ... seperti yang ia katakan semalam, daripada luka kejepit kayak gini, mungkin ia akan memilih luka berdarah saja. Ini sama seperti peribahasa, sakit tapi tak berdarah. Efeknya justru malah lebih menyakitkan. "Tapi itu kenapa, Mirza?" Ini anak semata wayang, loh, tentu saja kekhawatirannya malah menjadi sedikit akut. "Enggak apa-apa, Ma," jawabnya tetap mengelak. Yakali ia katakan kalau tangannya kejepit di pintu saat bersembunyi di kamar Lova. "Jangan bilang kalau kamu habis berantem," sambung Gilbert. "Enggaklah, Pa ... sejak kapan aku menyukai hal seprti itu. karena mengalahkan seseorang itu lebih baik menggunakan otak daripada otot. Ya ... setidaknya kalau terdesak, mungkin bisalah menggunakan otot." "Jadi benar, kamu berantem?" "Enggak, Ma ... ini kemarin nggak sengaja kejepit di pintu mobil," jelasnya. Kebohongan macam apa itu? Kayak yang baru beberapa hari naik mobil saja, pake kejepit segala. Diana dan Gilbert malah saling bertukar pandang. "Nggak bohong?" tanya Gilbert. "Enggaklah, Pa," jawabnya. Jadilah, suasanan kembali hening saat menyantap sarapan. Sebenarnya Mirza sedang gregetan, karena si putri tidur itu masih belum menampakkan wajahnya hingga dirinya selesai makan. Apa dia memang sedang mencari permasalahan baru dengan dirinya? "Ma, Pa ... aku ke kamar dulu, ya," ujar Mirza selesai makan. "Jangan bilang kalau kamu mau membangunkan Lova?" Ini bukan pertanyaan, tapi lebih tepatnya tebakan. Ia tahu betul bagaimana sikap putranya pada Lova. "Aku mau ke kamarku, bukan ke kamar gadis itu," balasnya dengan langkah berat. Parah banget, kan, mamanya ... seolah-olah sekarang dirinya dianaktirikan. Ia menuju lantai atas, lebih tepatnya bukan ke kamarnya, melainkan ke kamar Lova. Tanpa mengetuk pintu bercat putih itu, ia langsung saja menyelonong masuk. Benar sekali, tak ada tanda-tanda kehidupan sudah berlangsung di ruangan ini. Karena apa? si pemilik kamar masih berada di alam mimpinya. Ia melihat waktu di jam dinding, yang jarum pendeknya sudah bertengger di angka 8. Kemudian ia tersenyum sinis, mengarahkan pandangan pada gadis yang kini masih anteng dibalik selimut tebalnya. Bahkan, seperti tak berniat untuk membuka mata. "Lova ... kamu masih mau tidur?" "Hmm ..." "Ini sudah siang loh." "Hmm ..." Ia bukan orang yang sabar saat perkataannya hanya dibalas dengan dengkuran menyebalkan itu. Tanpa buang-buang waktu, dengan cepat ia menarik selimut yang masih menutupi tubuh Lova hingga benda itu menjauh. Kedua mata Lova sontak terbuka lebar, saat merasakan ada yang menarik selimutnya. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan malah mendapati Mirza di depannya. Berniat bangun, tapi cowok itu malah mendorongnya kembali rebah dan langsung menindihnya. "Bapak mau ngapain!!!!!" Kegilaan macam apalagi yang akan dilakukan cowok ini padanya? Nggak cukupkah dengan mengambil ciumannya? Jangan bilang kalau dia akan melakukannya lagi, atau malah berniat lebih? Omaigat ... jangan sampai itu terjadi. Ia masih ingin virgin sampe menikah, bukannya malah di-virginin dulu baru menikah. "Apa kamu memang berniat mencari masalah denganku?" tanya Mirza yang kini wajahnya tepat berada di hadapan Lova, dan kedua tangannya sedang mencengkeram dua pergelangan tangan itu. "Apa, sih, aku nggak ngerti," balas Lova, yang pada kenyataannya ia memang tak tahu kenapa sikap Mirza jadi begini. Apa dia kesambet? "Lova ... kamu berada di sini, otomatis kamu harus mengikuti aturan di rumah ini. Kamu itu tanggung jawab keluarga ini, dan secara tidak langsung aku salah satu orang yang mengemban tanggung jawab itu. Paham?" "Enggak," jawabnya singkat. Saking panjangnya penjelasan Mirza, otaknya jadi susah mencerna. Apalagi dengan posisi yang bikin panas dingin begini, makin tak bisa diajak kompromi lah otaknya. Mirza berasa ingin menggigit bibir yang mengeluarkan jawaban bodoh itu. "Di rumah ini ada peraturan. Harusnya kamu tahu itu. Libur ataupun enggak, harus bangun pagi." "Oo ... gitu," respon Lova. "Iya, maaf ... aku, kan, enggak tahu. Next enggak akan melanggar lagi deh." Cari aman sajalah untuk saat ini. "Jadi, bisa menyingkir dari badanku sekarang? Enggak mau, kan, ada yang melihat kita seperti ini?" Bagaimana ia nggak takut, itu pintu kamar terbuka lebar loh. Bisa saja Gilbert atau Diana tiba-tiba melihat adegan panas ini. Waduh ... gaswat bin total banget, kan. "Kenapa, kamu takut?" "Ish ... tentu saja aku takut. Bisa-bisa aku dikira gadis nggak bener, yang padahal Bapak sendiri yang nggak benar alias m***m," jelas Lova. "Apa?" "Kakak itu M-E-S-U-M," ulangnya seolah memperjelas kata-kata m***m pada perkataannya. Tapi ia jujur, kan, memang Mirza seperti itu aslinya. Sayang ... semua orang sepertinya enggak tahu. Mirza berdecak, dengan senyuman sinis langsung tersirat di sudut bibirnya. Seperti sebelumnya, perkataan Lova itu seperti sebuah tantangan baginya. Jadi, jangan salahkan ia. Lova merasa akan terjadi sesuatu. Ya, pengalaman pertama membuatnya tahu kapan reaksi Mirza bisa berubah. Senyuman itu, bukan pertanda baik. Berusaha melepaskan kedua tangannya yang berada di cengkeramana Mirza, tapi enggak bisa. jangan bilang adegan itu akan terjadi untuk yang kedua kalinya. "Perkataannmu ku kabulkan," ujar Mirza.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD