Andin mengangkat wajahnya dan menatap Dipta masih tidak mengerti. "Apa maksud Anda, Pak Dipta?"
"Bi, bisa bawa Sava sebentar? Saya mau bicara dengan dia," ujar Dipta menoleh pada Andin dengan datar.
Dipta memalingkan wajahnya. "Sudahlah, tidak perlu berpikiran yang macam-macam. Aku hanya ingin memberikan apa yang diinginkan oleh putriku. Dan kebetulan kamu pun sedang membutuhkan uang banyak, bukan?"
Andin kembali menoleh dan menatap Dipta. "Darimana Anda tahu saya membutuhkan uang banyak?"
Dipta sedikit berdecak dan menatap Andin tak suka. "Apa saya harus menjabarkan dan memberitahukan detailnya dari mana saya tahu padamu?"
Andin memalingkan wajahnya dan kembali menunduk. "Maaf, tidak Pak Dipta. Maafkan saya terlalu lancang."
"Kamu hanya perlu menikah denganku, menjadi mamah dari putriku, maka semuanya akan beres. Kamu masih bisa hidup seperti biasanya dan kakakmu pun akan sembuh. Ingat! Hanya menjadi mamahnya Sava, tidak lebih."
Deg!
Jantung Andin berdetak kencang mendengar ucapan sedikit pedas dan memaksa dari Dipta. Karena setahu Andin, pernikahan itu hal sakral yang akan menyatukan dua insan untuk berjanji di hadapan Allah untuk menanggung tanggung jawab mereka masing-masing. Namun, sepertinya kali ini arti pernikahan itu bukan seperti yang biasanya Andin dengar.
Andin kembali menatap Dipta dengan perasaan yang campur aduk. "Bukankah Sava sudah ada Bibi yang jaga? Mengapa juga Pak Dipta harus menikahi saya dengan cara seperti ini? Lagipula, apa Anda tidak takut jika ternyata saya adalah orang jahat? Karena Anda belum tahu siapa saya bukan?"
Dipta sedikit mengepalkan tangannya, mengapa Andin seperti menolaknya. "Dengar! Saya bisa saja menikahi siapa pun bahkan satu dua gadis dalam sehari sekali pun. Tapi, putriku menginginkan dirimu. Satu lagi, tak ada satu pun yang saya takuti termasuk jika kamu memang orang jahat." Dipta menatap Andin begitu tajam.
"Saya akan datang 10 menit lagi dari sekarang, dan saya hanya memberikan penawaran ini sekali saja, jadi, jika kamu tidak memanfaatkannya sebaik mungkin. Maka tidak ada penawaran kedua." Selesai membuat Andin dilema, Dipta beranjak meninggalkan dokumen di depan Andin.
Jantung Andin kembali berdetak kencang mendengar kata-kata Dipta. Andin sadar jika memang Dipta menikahi dirinya bukan karena Dipta menyukai Andin. Melainkan hanya keinginan Sava.
Andin memejamkan matanya lalu mengambil dokumen itu dan membacanya pelan-pelan. "Ya Allah ... apa ini jalan keluarnya? Tapi ...."
Andin dilema. Sebab, Andin tidak ingin mempermainkan pernikahan. Karena pernikahan itu urusannya dengan Allah. Namun, Andin juga bingung karena dirinya tidak punya pilihan lagi.
"Din." Elsa dan ibunya menghampiri Andin yang masih menatap isi perjanjiannya dengan Dipta.
"Ini apa?" Elsa mengambil dan membaca perjanjian itu dengan teliti, di akhiri menarik napasnya. "Kamu hanya perlu jadi mamanya Sava dan semua pengobatan Mbak Freya akan ditanggung. Apa begitu, Din?"
Andin menoleh pada Elsa dan ibunya."Apa menurut kalian tentang papanya Sava?"
Elsa menatap Andin dengan iba. "Aku tahu kamu khawatir karena kamu tahu siapa Papahnya-nya Sava, kan? Tapi Din, dalam perjanjian itu tidak ada hal yang mengharuskan kamu berinteraksi dengannya. Semacam baby sitter aja mungkin."
"Tapi kenapa harus dengan menikah ya, Sa? Kan bisa dengan menyuruhku jadi baby sitter Sava aja. Aku belum lama di kota ini. Aku takut, Sa."
"Kalau itu aku tidak tahu, Din. Tapi, bukankah kehormatan mu akan lebih terjaga jika kalian memang menikah, Din?" Elsa menoleh pada ibunya yang juga menatap Andin dengan sesal. "Maaf kami tidak bisa membantumu kali ini." Elsa memeluk Andin dengan rasa menyesal karena tidak bisa membantu Andin.
"Iya, Din. Maafkan kami, kamu yang kuat ya. Ibu yakin kamu perempuan yang kuat dan ibu yakin apa yang kamu lakukan akan Allah berikan balasan yang setimpal." Ibu Elsa mengusap punggung Andin dengan lembut.
Elsa sendiri tidak yakin jika Andin akan baik-baik saja setelah tinggal di rumah Dipta nanti. Elsa sedikit banyak sudah tahu siapa Dipta karena mendengar cerita dari teman-temannya. Dipta Saksena, seorang bad boy yang sering gonta ganti pasangan dan dikelilingi oleh banyak wanita. Bagaimana nanti jika ternyata Andin pun menjadi sasarannya? Karena tidak ada jaminan sama sekali untuk menepis semua hal buruk yang akan terjadi nanti ketika Dipta pun menginginkan Andin.
"Nona Andin, kondisi Bu Freya semakin memburuk," seru seorang suster berlari menghampiri Andin. "Kita harus segera melakukan operasi sesegera mungkin. Jika tidak--"
Elsa melepaskan pelukannya dari Andin. Andin pun terlihat memejamkan matanya pasrah. Mungkin menikah dengan Dipta adalah jalan terbaiknya.
"Baik, Sus. Tolong persiapkan persiapan operasinya, Sus. Saya akan segera urus administrasinya."
Elsa dan ibunya menatap iba pada Andin. "Din, kamu pasti kuat, Nak."
"Aku yakin semua ujian akan ada hikmah dan jalan keluarnya Sa, Bu. Mungkin ini adalah jalan terbaiknya, bukan?" Ucapan Andin terhenti dan menatap ke arah Sava yang kini sudah berdiri di depannya bersama Dipta "Tolong urus semua administrasinya. Saya bersedia menandatangani surat ini."
Tak ada yang diucapkan oleh Dipta selain hanya memberikan pena pada Andin. Andin pun tak ingin menunggu waktu lama untuk membubuhkan tanda tangannya di kertas perjanjian itu. Karena baginya sekarang adalah keselamatan Freya yang lebih utama.
Lagipula menurutnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam perjanjian itu karena Dipta hanya mewajibkan Andin tinggal di rumah Dipta dan mengurus semua tentang Sava. Walau Andin masih takut tinggal di rumah pria asing yang belum dikenalnya, mengingat siapa Dipta.
***
Sava terlihat begitu ceria melihat sang papah yang kini sudah menggunakan jas pengantin dan akan bersanding dengan Andin. Bibir Sava tak henti-hentinya melukiskan senyuman melihat Andin memakai baju pengantin senada dengan sang papa. Tak ada yang dirasakan oleh Sava saat ini selain senang karena sebentar lagi punya mamah baru.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah?"
Air mata Andin mengalir begitu saja ketika ucapan ijab kabul itu sudah terucap dari bibir Dipta. Andin teringat mendiang ayahnya yang sudah tiada yang sudah tidak bisa menyaksikan dan menjadi wali nikahnya walau di pernikahan yang hanya di atas kertas itu. Andin pun menoleh pada Dipta dan mengecup punggung tangan Dipta dengan badan yang bergetar karena ini pertama kalinya Andin bersentuhan dengan lawan jenisnya dengan sengaja.
Dipta pun mengecup kening Andin dengan biasa saja. Karena mungkin bagi Dipta jika hanya mengecup kening, itu tidak ada apa-apanya. Lagi pula ini pun bukan pernikahan pertama bagi Dipta sehingga Dipta terlihat lebih santai saat berinteraksi dengan Andin.
"Mamah," panggil Sava dengan teriakan bahagia. "Aku punya mamah!"
Dipta tersenyum lebar melihat putrinya begitu bahagia karena apa yang dimintanya selama ini sudah tercapai. Dipta pun lega karena itu artinya Sava tidak akan pernah merengek lagi meminta mamah padanya. Entah apa yang ada di pikiran Dipta saat ini, karena menurut Dipta pula pernikahan itu adalah hal sakral yang mempunyai tanggung jawab pada Tuhannya.
Ya, Dipta tahu itu walau dirinya memang seorang bad boy yang bahkan penampilannya begitu kentara dengan seorang pria bad boy ulung. Setelah menikah secara sederhana itu, Dipta membawa Andin langsung ke rumahnya. Karena untuk urusan Freya, Dipta bahkan sudah menjaminnya karena Dipta ingin cepat tenang dan menyelesaikan urusan Sava dengan Andin.
"Sava, sekarang biarkan Mamah Andin istirahat dulu. Sava pun harus istirahat karena besok harus sekolah," ajak Sarah.
Andin merengkuhkan badannya lalu mengapit wajah Sava. "Iya, istirahat dulu ya, besok mamah antar ke sekolah."
"Baik, Mah. Aku enggak sabar pengen cepet besok," ujar Sava begitu bahagia. "Ya sudah, aku mau tidur dulu. Biar besok aku bisa bangun pagi, Mamah juga istirahat ya, selamat malam Mamah Andin." Sava mengecup kening Andin dan beranjak ke kamarnya setelah sebelumnya mengucapkan selamat malam pada Andin.
Setelah kepergian Sava dan Sarah, Dipta pun mengantar Andin ke kamarnya. "Ini kamar kamu."
Andin menatap kamar itu dengan takjub karena begitu besar dan mewah, lalu menoleh pada Dipta. "Apa kita tidur sekamar?"
Dipta menatap Andin dengan tatapan yang sulit diartikan. "Apa kamu pikir saya tertarik padamu? Apa kamu memang ingin tidur dengan saya?" ujar Dipta ketus, membuat Andin membelalakkan matanya dan salah tingkah juga malu.