TCsD# 06.Dia istriku

1054 Words
"Ya Allah ... ini menyeramkan." Andin memejam sejenak, lalu menelisik ke setiap sudut kamar yang katanya itu adalah kamarnya. "Ini kamar luas sekali. Apa dia tidak salah memberikan kamar padaku?" Andin menghampiri kasur empuk yang jujur saja baru pertama kalinya Andin bisa merasakan kasur se empuk itu. Karena kasur di rumahnya hanya lah kasur biasa saja. Kasur di rumah Freya pun hanya spring bed biasa. "Udah aman kali ya? Dia enggak akan datang lagi?" Aisyah membuka jilbabnya. "Astaghfirullah, apa aku tidur pake baju ini? Aku kan belum bawa baju ganti. Ya Allah ...." Tok! Tok! Tok! "Bu Andin, ini saya, Sarah." Andin pun segera beranjak dan membuka pintu kamarnya dengan sedikit menoleh ke kanan dan kiri. "Bibi, apa Bibi sendiri?" Sarah mematung sejenak, menatap wajah Andin karena melepas jilbabnya. "Anda cantik sekali." Andin sedikit menunduk, lalu menarik tangan Sarah. "Masuk, Bi. Takut ada orang lewat, he he." Sarah pun tersenyum lebar dan memberikan beberapa steel baju pada Andin. "Saya tahu Anda pasti kebingungan karena belum bawa ganti. Jadi, saya meminta Pak Dipta membelikannya untuk Anda, Bu Andin. Ini sudah lengkap dengan peralatan Anda mandi juga." Andin sedikit membelalakkan matanya, setelah memeriksa semua alat mandi lengkap dengan shampo dan sabun yang sesuai dengan yang Andin pakai. Lalu beberapa steel baju tidur lengkap dengan dalamannya. Andin bingung bagaimana cara Dipta membeli semua kebutuhan miliknya dengan tepat. "Apa benar Pak Dipta yang membelinya, Bi? Tapi, darimana dia tahu apa saja yang aku pakai? Ini sesuai dengan yang aku pakai, Bi." Sarah tersenyum lebar merasa lucu pada reaksi Andin yang memang berbeda dengan wanita-wanita Dipta sebelumnya. "Bu Andin tidak usah banyak berpikir Pak Dipta tahu darimana. Karena kadang bibi saja tidak tahu Pak Dipta dapet informasi semuanya dari mana, he he." "Astaghfirullah, apa itu artinya dia bisa saja tahu semua tentangku, Bi?" "Mungkin, Bu, he he." "Bibi, kenapa Bibi memanggilku dengan panggilan seperti itu?" omel Andin saat mendengar Sarah terus memanggilnya dengan panggilan Bu. "Panggil aku Andin saja, Bi. Enggak enak banget dengernya, he he." Sarah hanya tersenyum tipis dan merangkul tangan Andin. "Mana boleh seperti itu? Anda sudah menikah dengan tuan saya, jadi itu artinya Anda pun adalah nyonya saya. Dan biasanya saya panggil Bu." Andin mengerucutkan bibirnya. "Enggak mau, Bi. Jangan panggil aku seperti itu. Lagipula pernikahanku dengan Pak Dipta kan karena ...." Sarah menghembuskan napasnya mengerti. "Saya mengerti jika mungkin pernikahan ini hanya karena Non Sava. Tapi Bu Andin, Anda tetaplah isteri dari Dipta Saksena saat ini." Andin duduk di samping kasur empuk itu. "Bi, menurut Bibi, Dipta Saksena itu seperti apa orangnya? Eh iya, Sava sudah tidur?" "Sudah, Bu. Non Sava begitu senang mempunyai mamah. Dia juga begitu nurut saat saya bilang tidur lebih cepat biar besok bisa bangun pagi." Andin tersenyum senang. "Alhamdulillah kalau begitu, Bi." "Yang saya tahu, Pak Dipta adalah pria yang setia pada Bu Aluna. Saya pun berharap jika Pak Dipta bisa mencintai Anda nantinya," tutur Sarah menatap wajah cantik Andin yang tanpa jilbab itu. "Anda begitu cantik, Bu Andin. Tak jauh dari Bu Aluna. Saya yakin jika Anda bisa membuat Pak Dipta jatuh cinta pada Anda." Andin tertawa kecil mendengar ucapan Sarah. "He he, semua wanita cantik' kan, Bi? Bibi ada-ada saja. Mana mungkin dia bisa jatuh cinta padaku? Bukankah seleranya bukan wanita sepertiku, Bi? Sudahlah Bi jangan membuatku menjadi di atas angin. Lagipula kita menikah hanya karena saling membutuhkan saja. Aku ganti baju dulu ya, Bi. Sekalian mandi deh." Sarah pun tak ingin banyak bicara lagi mengenai hubungan Andin dan Dipta ke depannya. Sarah tahu betul siapa Dipta karena Sarah adalah salah satu abdi setia Dipta sejak Dipta dengan mendiang istrinya, Nuansa Aluna, masih dalam masa kuliah dulu. Sarah pula yang menjadi tempat curhat Aluna saat Dipta pertama kali menyatakan cinta pada gadis itu. "Baiklah, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu. Nanti kalau ada apa-apa Bu Andin bisa langsung ketuk pintu kamar saya yang ada di sebelah pojok dari sini." "Baik, Bi. Terima kasih. Apa ini kamar mandinya?" Andin pun masuk ke kamar mandi itu setelah Sarah mengangguk. *** Di kamar lain ... Dipta tengah menatap foto pernikahannya dengan sang istri tercinta, Nuansa Aluna. Wanita cantik yang meninggal beberapa jam setelah kelahiran putri mereka, Sava. "Sava menyukainya, sayang. Apa kamu pun senang karena Sava pun begitu senang?" Dipta menyesap benda bernikotin itu dengan tetap menatap wajah mendiang sang istri. "Aku takut jika aku akan jatuh cinta padanya." Dipta mengingat pesan dari sang istri untuk menikah lagi agar Sava ada yang jaga. Andin menatap dirinya di cermin besar kamar mandi. "Bi Sarah bilang Pak Dipta pria setia? Heuh, mana ada pria setia sering gonta ganti pasangan? Ada-ada aja." Setelah berpikir tentang pria setia, Andin teringat pada Nino. Pria manis yang mampu menggetarkan hatinya dengan senyum manis serta tutur kata lembutnya. Andin pun menghembuskan napas juga memejamkan matanya. "Mas Nino, aku menyukaimu. Tapi ...." Andin tak sanggup mengatakan isi hatinya pada Nino, mengingat perjanjian pernikahannya bersama Dipta. Hari telah berganti dan pagi pun kini dihiasi dengan kebahagiaan dari Sava. Sava begitu terlihat senang dan bahagia saat Andin memakaikan baju juga menyisir rambutnya. Dipta tidak lagi ikut bingung karena drama Sava yang tidak ingin pergi ke sekolah. Sava sangat antusias dan menurut semua yang diucapkan oleh Andin. "Papa, aku sudah siap!" Sava duduk di kursi makannya, lalu menoleh pada Andin. "Mamah cepat duduk di samping Papah!" Andin sedikit terkejut, dan menoleh terlebih dahulu pada Dipta. "Eeuuh--" "Duduklah!" titah Dipta datar. Andin pun menghembuskan napasnya lalu duduk di samping Dipta dengan d**a yang berdebar. Entah apa yang menyebabkan d**a Andin berdebar. Yang jelas Andin merasa berhadapan dengan Dipta itu seperti hendak menghadapi ujian nasional. "Pagiii." Semua orang menoleh pada arah suara. Dipta hanya menolehnya sekilas lalu kembali pada sarapannya. Sava pun tak menyukai kedatangan wanita bernama Metha itu. "Sayang, tumben sekali sudah siap jam segini?" Metha mendekati Sava, lalu pandangannya tertuju pada wanita berjilbab yang kini berada di samping Dipta. "Kamu siapa? Kenapa duduk di sini? Ooh, kamu pasti baby sitter Sava ya? Berani sekali kamu duduk di situ, pindah!" Sava mengerucutkan bibirnya lalu menyilangkan tangannya di d**a. "Tante, jangan bentak-bentak Mama aku! Dia Mama aku, dan seharusnya Tante yang pergi dari sini!" Metha menggelengkan kepalanya menatap Andin, lalu menoleh pada Dipta yang terlihat biasa saja. "Honey ... apa maksudnya? Sava pasti bercanda bukan?" Dipta menarik napasnya. "Dia isteriku," ucap Dipta dengan pasti, membuat mulut Metha terdiam dan menggelengkan kepalanya tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD