TCsD# 04. Jadilah istriku dan Ibu dari anakku

1688 Words
Hari kembali berganti, seperti biasa sebelum berangkat ke TK Andin pasti mengamati rumah freya. Sudah dua hari Freya tidak terlihat tengah berada di rumahnya. Rumah Freya pun selalu sepi tidak seperti ada orangnya. Biasanya jam segitu Andin akan melihat Freya tengah berada di teras rumahnya mengurus tanamannya atau di kamarnya. Karena rumah Freya berada di samping jalan juga karena Andin sudah tahu letak kamar Freya. Andin bisa melihat dari jauh jika Freya tengah berada di kamarnya. "Mba Freya kok kaya enggak di rumah terus ya?" Andin bertanya pada dirinya sendiri semakin khawatir. "Apa mungkin dia keluar kota sama Mas Ghani ya? Semoga aja deh begitu." Andin pun kembali beranjak pergilah meninggalkan rumah Freya. Kini hati dan pikiran Andin di buat khawatir begitu hebat. Sebab, selain sudah beberapa hari tidak melihat Freya, kini Sava pun tidak datang ke sekolah. Tentu saja Andin kepikiran pada kejadian kemaren bersama papahnya Sava. "Astaghfirullah, Sava. Maafkan Kakak, sayang." Andin begitu terkejut melihat isi pesan dari Sarah yang mengatakan jika Sava lagi malas belajar karena Andin menolak jadi mamahnya. "Ya Allah ... ampuni hamba yang sudah menyakiti hati gadis kecil itu. Mungkin aku harus datang ke rumah Sava nanti." Andin memijit pelipis matanya merasa sedikit pusing karena masalah Freya saja belum terpecahkan, kini Andin harus berpikir tentang cara membuat Sava semangat lagi belajar. Karena terlalu khawatir, Andin akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Sava karena takut luka Sava semakin dalam. Andin juga memberi kabar pada Sarah jika dirinya hendak ke rumah Sava dengan Elsa. Tentu saja Sarah senang karena ternyata Andin begitu perhatian pada Sava sampai mau datang ke rumah Sava untuk meminta maaf. Di tengah perjalanan, Andin melihat Ghani tengah bermesraan dengan wanita lain. "Mas Ghani? Kok sama wanita lain sih? Berhenti di sini, Pak!" Elsa sedikit terkejut. "Din, ada apa?" Andin turun dengan segera, setelah membayar ongkos angkotnya. Andin memicingkan matanya dan terus mengamati pria yang di sangka Ghani. Semakin dekat, semakin jelas juga jika itu memang kakak iparnya, Ghani. "Mas Ghani." Ghani dan wanita yang duduk di sampingnya pun menoleh pada Andin. "Andin? Ngapain kamu ke sini?" tanya Ghani dengan santainya. "He he, kamu pasti mau ngomelin saya karena saya bersama wanita lain dan tidak sama kakak kamu, iya? Denger ya Andin, kakakmu sudah tidak bisa memberiku kepuasan, jadi enggak ada salahnya dong saya nyari lagi wanita yang--" Plak!! Dengan refleks Andin menampar pipi Ghani. "Apa maksudmu, Mas? Suami macam apa kamu ini sebenarnya? Mana Mba Freya?" Ghani beranjak dari duduknya dan menarik tangan Andin "Ini semua juga salah kamu! Kenapa kamu tidak mau aku sentuh hari itu!" Andin kali ini tidak diam saja dan langsung menghempaskan tangan Ghani. "Jangan macam-macam kamu, Mas! Aku bisa saja teriak. Aku tanya sama kamu, di mana Mba Freya ?" Ghani memalingkan wajahnya mengejek. "Heu ... mungkin saat ini dia tengah meraung kesakitan di rumah," ujar Ghani dengan santainya, membuat Andin membekap mulutnya. "Astaghfirullah, Mas! Jadi Mba Freya lagi sakit? Dan kamu malah mesra-mesraan sama wanita lain?" Andin tidak peduli pada orang-orang yang menatapnya karena berteriak. "Kamu bukan manusia, Mas!" Andin langsung beranjak pergi meninggalkan Ghani menuju rumah Freya dengan hati yang hancur. Elsa pun belum berani bertanya lebih detail dan hanya mengusap punggung Andin dengan menenangkan. Ghani pun benar-benar tidak peduli dan malah kembali bermesraan dengan wanita tadi. Andin dengan buru-buru menghampiri pintu rumah Freya. "Assalamualaikum, Mbak Freay. Apa Mbak baik-baik saja? Buka pintunya, Mbak!" "Din, sabar! Jangan sampai Mbak Freya malah marah karena kamu mengganggunya." Andin mengusap wajahnya dengan kasar. "Astaghfirullah, Sa. Aku khawatir." "Aku tahu, Din. Tapi ...." Tak lama pintu itu terbuka dengan pelan. Andin dan Elsa pun menoleh pada seorang wanita yang saat ini terlihat lemah dan pucat itu. Freya menatap Andin dengan perasaan menyesal karena dirinya mengatakan bahwa hubungan persaudaraan mereka sudah berakhir. "Andin," panggil Freya pelan. Andin dan Elsa segera menghampiri Freya yang hampir terjatuh. "Mbak Freya!" " Freya tidak menyahuti pertanyaan Andin karena tubuhnya begitu lemah. "Mbak, sa-kit, Din" Freya ambruk karena kondisinya sudah begitu parah. "Mbak Freya, Bangun, Mba!" "Din, kita bawa Mbak Freya rumah sakit." Andin pun tidak ingin banyak berpikir lagi dan segera membawa Freya ke rumah sakit terdekat. Walau pun saat ini Andin tidak banyak memegang uang, Andin yakin jika uang bisa dicari dan keselamatan Freya adalah paling penting.. Elsa pun masih setia menemani Andin yang tengah terpuruk. Tak lama dokter pun keluar dari ruang tindakan. "Dengan keluarga Bu Freya." Andin dan Elsa pun beranjak dan menghampiri sang dokter. "Saya adiknya, Dokter." Dokter itu terlihat menarik napasnya berat. "Bukankah Bu Freya sudah punya suami? Mohon maaf, karena keadaan Bu Freya cukup serius dan harus segera melakukan tindakan operasi. Jadi saya butuh persetujuan dari suaminya." Andin memejamkan matanya. "Operasi, Dok?" Andin begitu terkejut dan bingung, apa mungkin Ghani mau mengurus dan membiayai pengobatan kakaknya? Karena tahu Freya sakit aja, Ghani tak peduli. "Dok, katakan apa yang harus saya lakukan dan saya persiapkan agar kakak saya bisa cepat di operasi." "Dari mana aku punya uang untuk biaya operasi Mba Freya ya Allah." Andin menyeka air matanya mendengar penuturan sang dokter yang menurutnya begitu berat. *** "Bibi, katanya Kak Andin mau ke sini? Kenapa belum datang juga?" Sava terus menatap ke arah gerbang rumahnya menunggu Andin datang. "Apa Kak Andin bohong lagi?" Sava menunduk dan mengerucutkan bibirnya. Sarah memeluk Sava dengan iba juga bingung karena Andin belum juga datang setelah beberapa jam mereka menunggu. "Sabar ya, Non. Mungkin kena macet atau nyasar ya?" Sava pun masuk ke dalam rumahnya saat mobil Dipta memasuki garasi. Sarah pun bingung harus bicara apa pada Dipta jika bertanya sebab Sava kembali merenung padahal tadi pagi mereka dengan susah payah membujuknya agar Sava mau sekolah. "Selamat malam, Pak." "Bi, tadi saya lihat Sava kayanya." Dipta menoleh ke dalam. "Apa dia marah lagi?" Sarah meremas bajunya. "Anu, Pak." Dipta mengerutkan keningnya. "Katakan, Bi!" Sarah pun tak mungkin bisa berbohong jika sudah urusan Sava. "Tadi siang ...." Sarah pun menceritakan semuanya pada Andin. Dipta mengepalkan tangannya, lalu segera mengambil handphonenya dan terlihat menghubungi seseorang. "Ya, saya tunggu hasilnya sekarang juga." **** "Astaghfirullah, kangker serviks stadium 2, Dok?" Andin menggelengkan kepalanya tak percaya pada penyakit yang diderita oleh sang kakak. "Tapi, astaghfirullah, Mbak, Freya, hiks!" "Saya sarankan untuk segera melakukan operasi agar kangkernya segera teratasi sebelum lanjut ke stadium lanjutannya. Dan ini rincian biayanya." Andin keluar dengan berjalan begitu gontai melihat biaya operasi sang kakak. "Astaghfirullah, ya Allah ... aku harus nyari ke mana uang sebanyak ini?" "Din, bagaimana?" Elsa segera mengambil kertas hasil pemeriksaan kesehatan Freya. "Astaghfirullah, kangker serviks?" Andin hanya mengangguk pelan. "Elsa, tolong kamu jaga Mbak Freya dulu ya. Aku mau mencoba bicarakan ini dengan Mas Ghani." Andin beranjak hendak ke rumah Ghani. "Andin, hati-hati!" Sampai ke rumah Ghani, lagi-lagi Andin dibuat menggelengkan kepalanya karena yang membuka pintu bukan Ghani melainkan seorang wanita yang berbeda dengan yang tadi. "Mas Ghani-nya ada?" Wanita itu menoleh pada Ghani yang juga menghampiri mereka. "Ini dia orangnya, kecapean sih kayanya habis main beronde-ronde, he he." Napas Andin semakin tersenggal-senggal melihat kelakuan kakak iparnya yang benar-benar tidak punya hati karena tak peduli pada sang kakak. "Kamu benar-benar bukan manusia, Mas!" Andin memukul Ghani melepaskan emosinya. "Aku benar-benar tidak habis pikir padamu, Mas. Di mana hati nuranimu? Tapi, aku pun bersyukur karena Allah sudah memperlihatkan siapa kamu sebenarnya" Ghani tak menghiraukan ucapan dan ancaman Andin. Ghani hanya menahan tawanya mengejek dengan menatap kepergian Andin. Andin pun kembali ke rumah sakit dengan rasa sesak karena perlakuan Ghani pada Freya. "Din, aku minta maaf aku tidak bisa membantu kamu untuk hal ini. Kamu juga tahu sendiri bagaimana kehidupan keluargaku, bukan?" Elsa begitu geram mendengar cerita dari Andin tentang Ghani. Andin menarik napasnya lalu merangkul tangan Elsa,. "Iya, Sa. Tidak apa-apa, aku mengerti. Terima kasih sudah menjadi teman yang selalu ada untukku." "Assalamualaikum." Andin dan Elsa menoleh pada arah suara. "Sava, Bibi, astaghfirullah ... maaf, Sava, Bi. Saya ...." "Kak Andin, jangan menangis! Sava enggak marah lagi kok sama Kakak." Sava memeluk Andin dan menyeka air mata Andin dengan lembut. "Kakak pasti sedih ya karena Sava?" Andin menatap Sava dengan deraian air mata yang tidak bisa terbendung. "Sayang, maafkan Kakak sudah menyakiti hati kamu, Nak." Andin memeluk Sava dengan erat merasa seperti mempunyai kekuatan baru. "Bi, maafkan saya karena saya ingkar janji dan tidak jadi datang. Saya ...." Andin tak mampu melanjutkan ucapannya karena tenggorokan seakan tercekat oleh kenyataan pahit itu. "Tidak apa-apa, yang penting sekarang Kak Andin baik-baik saja, bukan?" "Aaaggrr!! Sakit!" Andin menoleh pada arah suara teriakan dari arah ruangan Freya. "Mbak Freya, Sava, bentar ya. Kakak masuk dulu." Freya terus meraung kesakitan. Elsa dan Andin pun bingung karena memang mereka tidak merasakan apa yang Freya rasakan. Sampai akhirnya dokter pun datang memeriksa keadaan Freya. "Bagaimana, Dokter?" Dokter itu terlihat menarik nafasnya begitu dalam. "Bu Freya harus segera dioperasi, Nona. Karena kondisinya semakin memburuk." Andin mengusap wajahnya berkali-kali dan memejamkan matanya bingung. Elsa pun ikut bingung dan kasihan karena dirinya tidak bisa membantu Andin. Andin juga bingung harus pinjam uang kemana, karena Andin baru juga ke kota dan itu pun karena ingin mengikuti Freya. "Baik, Dokter. Saya akan usahakan dulu biayanya." Andin keluar dari ruangan Freya dengan gontai. "Apa yang harus aku lakukan, Sa?" "Kakak, apa Kakak Kak Andin sakit parah?" Andin hanya bisa kembali memeluk Sava karena tidak ingin membuat gadis itu kembali kecewa padanya. "Iya, sayang. Seharusnya kamu tidak ada di sini, di sini banyak virus." Andin masih terdiam dalam isakan tangisnya memeluk Sava. "Ya Allah, aku yakin jika semua ujian dan cobaan yang Engkau berikan pasti ada hikmah dan jalan keluarnya." Sava mendongakkan wajahnya dan menatap kembali wajah sendu Andin yang tengah memejamkan matanya dengan linangan air mata. "Kakak, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu Kakak?" Andin menundukkan wajahnya dan menatap wajah polos itu dengan lekat, seolah memang memberikan semangat baru untuknya. "Jangan marah lagi sama Kakak ya! Kakak pun enggak akan sedih lagi jadinya." "Iya, Kakak. Sava janji enggak akan marah lagi." "Anak pintar." Andin mengecup kening Sava lalu kembali memeluknya menumpahkan rasa bingung yang dideranya. "Pak Dipta." Sava pun menoleh pada sang ayah. "Papa." Dipta masih menatap Andin dengan datar mengetahui kebingungan Andin. "Menikahlah denganku dan jadilah ibu dari Sava. Maka aku akan membiayai semua pengobatan kakakmu," ucap Dipta dengan menatap Andin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD