"Astaghfirullah, Mbak. Mana mungkin aku berani berbuat seperti itu?"
"Tapi, nyatanya kamu berani bukan?" samber Ghani dengan keadaan yang masih pada memar. "Kamu kenapa sih tega melakukan itu? Apa salahku, Din?"
Andin meremas jari tangan Elsa karena fitnah kakak iparnya begitu kejam. "Justru aku yang harusnya bertanya, Mas. Apa salahku sehingga Mas Ghani memfitnahku seperti ini?"
Freya naik pitam. "Sudahlah, Din! Aku tidak sudi melihat kamu lagi di sini." Freya melemparkan tas milik Andin. "Mulai saat ini kamu bukan adikku lagi! Pergi sana!" Freya mendorong tubuh Andin sampai terjatuh dengan melemparkan tas baju Andin.
Andin bangun dengan cepat. "Mbak, Mbak boleh tidak percaya padaku. Tapi tolong jangan memutuskan hubungan persaudaraan kita, Mbak."
Andin menunjukkan jarinya pada d**a Andin "Kamu tahu Andin? Kamu itu hanya adik tiri ku, jadi aku pun tidak pernah menganggapmu adik, ngerti!"
Andin membekap mulutnya. "Apa maksud Mbak?"
Freya membuang wajahnya. "Sudahlah Din, aku yakin kamu pun mengerti apa yang aku ucapkan. Ibuku dan ibumu itu berbeda, walau kita memang satu ayah. Jadi, mungkin itu sebabnya aku dan kamu selalu berbeda."
Andin sedikit tertegun. Sungguh, baru kali ini Andin mengetahui tentang kebenarannya. Selama ini yang Andin tahu dirinya dengan Freya adalah satu Ibu juga satu ayah.
"Tapi, Mba. Aku sayang sama Mbak."
Freya berdecak. "Ck, apa dengan menggoda dan menyelingkuhi suamiku yang kamu bilang sayang? Sudahlah Andin, aku muak melihat kamu di sini pergi sana! Aku tidak sudi mempunyai saudara penggoda seperti kamu!"
Ghani menatap pertengkaran antara Andin dan Freya dengan seringai puas. Ghani tahu betul jika Freya begitu mencintai dan memujanya. Untuk itu, Ghani bisa dengan mudah memutarbalikkan fakta dan memfitnah Andin.
"Frey, tapi aku sudah memaafkan dia kok," ujar Ghani dengan kedok busuknya. "Bukankah dia tidak punya saudara lagi di sini selain kamu? Bagaimana nasibnya nanti di sini, Frey?"
Freya mengapit wajah Ghani. "Kamu ini, Mas. Kamu jadi seperti ini gara-gara Andin, kenapa kamu masih membelanya? Terbuat dari apa hati kamu ini, Mas?"
Andin begitu jijik melihat sandiwara kakak iparnya. Dan membuat Andin begitu iba pada sang kakak yang bahkan mempercayai semua sandiwara dari suami brengseknya. Elsa yang sudah merasa geregetan pun menarik tangan Andin dan mengambil tas baju Andin.
"Din, ayo kita pulang! Kamu tidak perlu mengharapkan saudara sepertinya. Ingat Mba Freya, Andin ini adalah saudara Mba Freya satu-satunya. Cepat atau lambat Allah akan membukakan tabir kebenaran yang sesungguhnya. Dan aku pastikan jika Mba Freya akan menyesal!"
Andin mencekal tangan Elsa. "Sa, biarkan aku menyelamatkan Mba Freya, Sa."
Elsa mendenguskan hidungnya. "Apa kamu itu tuli, Andin? Dia sudah tidak mau berurusan denganmu apalagi menganggapmu saudara. Jadi, Apa yang kamu harapkan lagi darinya?"
Freya masih pada egonya. "Apa maksudmu menyelamatkanku, Andin? Jangan mengada-ngada, sono pergi!"
Freya menutup pintu rumahnya dengan begitu kencang. Andin melihat Ghani tengah menyeringai dan memberikan kecupan dari jarak jauh pada Andin di balik kaca rumahnya. Elsa yang menyaksikan dan melihat kelakuan Ghani pun semakin geram pada perlakuan Freya terhadap Andin.
"Aku yakin Mba Freya akan menyesal nanti, Din."
Andin masih menatap pintu rumah sang kakak. "Mba, aku tidak peduli jika kita memang hanya saudara tiri. Aku sayang sama Mbak, hiks!"
Dengan berat hati Andin pun beranjak pergi meninggalkan rumah Freya. Mungkin untuk saat ini Freya tidak membutuhkan Andin. Namun, Andin yakin jika suatu saat hubungan mereka akan Allah baikan kembali seperti sedia kala jika saja Andin yakin akan kemurahan hati dari sang Maha pemilik hati.
***
6. Maukah jadi mamah aku?
Dipta mengusap wajahnya baru sadar ucapannya sudah melukai hati sang putri. "Ya Tuhan ... Sava, maafkan papa sayang."
Dipta dengan cepat mengejar Sava yang sudah menangis di pelukan Sarah. "Sayang."
"Enggak mau, Sava enggak mau sama Papa. Sava mau sama Bibi aja!" sentak Sava menghempaskan tangan Dipta.
"Tuan, biar saya aja yang memenangkan Non Sava."
Dipta menghembuskan napasnya, lalu mengangguk. Dipta selalu merasa menyesal saat dirinya sudah melukai hati sang putri. Akan tetapi, Dipta selalu saja mengulangi hal itu karena tak bisa menahan emosi jika Sava sudah merengek minta Mama. Pasalnya, wanita yang dekat dengan Dipta selalu tidak Sava sukai.
"Bibi, Sava ingin ketemu Kak Andin. Kak Andin baik banget dan selalu dengerin Sava," rengek Luna dalam dekapan Sarah sambil berjalan menuju ke dalam rumah.
"Iya, sayang. Kita besok ketemu lagi sama Kak Andin, kok. Kalau sekarang mungkin Kak Andin-nya tengah beres-beres rumah atau apa gitu."
Dipta mengerutkan keningnya berpikir sejenak. Dipta sedikit penasaran pada guru baru putrinya yang berhasil menarik hati sang putri walau baru bertemu dalam hitungan hari. Padahal, jika sama Metha atau wanita yang dibawanya yang Sava sudah kenal lama, Sava susah sekali menerima. Sampai saat ini pun Metha belum bisa mengambil hati Sava.
"Siapa wanita itu?" Dipta mengeluarkan handphonenya lalu menghubungi seseorang. "Ya, guru baru putriku di TK putriku," ucap dipta pada sambungan teleponnya.
***
Sebelum berangkat ke Tk, Andin sengaja mampir terlebih dahulu ke rumah Freya. Entah mengapa perasaan Andin sedikit tak tenang dan terus memikirkan pada sang kakak. Untuk itu, Andin mengunjungi Freya agar hatinya tenang walau hanya melihat Freya dari jauh.
"Rumah Mba Freya hari ini sepi sih? Semoga Mba Freya baik-baik saja ya." Andin pun kembali beranjak pergi meninggalkan rumah Freya seperti biasanya setelah memastikan jika Freya baik-baik saja walau hari ini Andin tidak melihat Freya karena keadaan rumah Freya sepi.
****
Tiba waktu mengajar, seperti biasanya Andin akan sangat senang saat berinteraksi dengan anak-anak yang menggemaskan walau kadang membuatnya pusing. Mulai dari membaca hingga menghafal, lagi-lagi dua anak didiknya yang selalu mengirimkan banyak pesan itu membuat Andin geleng-geleng kepala karena mereka terus saja berbagi cerita dengan Andin di tengah-tengah belajarnya. Azzam dan Sava pun kadang sedikit menganggu temannya yang lain jika mereka sedikit lama dalam membaca.
Sava dan Azzam begitu tak suka jika ada yang dekat dengan Andin. Sampai akhirnya waktu pulang pun tiba dan seperti biasanya Andin akan menunggu mereka sampai ada yang menjemput. Karena para orang tua mereka sudah tidak ada yang menunggui selain hanya mengantar jemput.
"Kak Andin, jadilah kakak aku ya! Biar aku bisa bawa Kakak pulang ke rumah. Aku males lihat cewek Bang Rendy yang selalu memakai baju terbuka. Aku pengennya punya kakak seperti Kak Andin cantik, Sholehah, baik hati juga," pinta Azzam sedikit sendu.
"Enggk boleh! Kak Andin itu harusnya jadi mamah aku." Sava segera memeluk Andin. "Kak Andin mau ya jadi mamah aku? Papa aku baik juga tampan kok walau kadang-kadang galak sama Pak Uya. Tapi, papa aku pasti suka sama Kak Andin karena Kakak pintar dan baik," ujar Sava, membuat Andin hanya tersenyum tipis mendengar ocehan gadis kecil itu.
Azzam mengerucutkan bibirnya. "Sava, kamu nggak boleh paksa-paksa orang dong!" ujar Azzam dengan masih sedikit cadel. "Biarin aja Kak Andin pilih sendiri. Kak Andin pilih Abang aku atau Papa kamu."
Andin kembali tertawa renyah lalu memeluk kedua anak kecil itu dengan penuh cinta. "Kalian ini ngomong apa sih? Kalian masih kecil, dan belum waktunya kalian memikirkan hal seperti itu. Karena itu adalah urusan orang dewasa. Kalian lebih baik mendoakan mereka agar selalu sehat dan selalu dijauhkan dari segala marabahaya."
Azzam dan Sava pun akhirnya terdiam dan mengikuti apa yang dikatakan oleh Andin, yaitu berdoa. Sava mengangguk lalu begitu khusu' berdoa. Begitu pun dengan Azzam.
Waktu pulang pun tiba. Para orang tua murid silih berganti menjemput anak-anak mereka. Begitu pun dengan orang tua Sava. Andin mengantar Sava ke depan kelas menemui papah Sava.
"Papah." Sava mengecup punggung tangan sang papa lalu menoleh pada Andin. "Kakak, coba Kakak lihat, Papah aku tampan kan? Kak Andin mau ya jadi mamah aku?"
Andin membelalakkan matanya. "Astaghfirullah, Sava. Ko ngomongnya gitu? Heu heu!" Andin merasa tak enak takut jika Dipta menyangka jika Andin lah yang merasuki pikiran Sava. "Maafkan saya, Pak Dipta. Saya belum bisa jadi pengajar yang baik sehingga Sava bisa bicara seperti itu." ucap Andin masih menunduk.
"Papa, jangan marah sama Kak Andin! Sava mau Kak Andin jadi mama aku karena Kak Andin baik juga sayang sama Sava. Sava mau Kak Andin jadi mamahnya Sava. Bukan Tante Metha!"
Dipta tak menyahuti ucapan sang putri juga ucapan Andin, Dipta malah sibuk dengan pikirannya sendiri. "Apa dia wanita yang waktu itu? Perasaan wajahnya tak asing."
"Papah!" Sava menggoyangkan tubuh Dipta.
Dipta menarik napasnya. "Coba tanyakan padanya, apa dia mau jadi istri papa atau tidak? Jika dia mau, itu artinya dia jadi mamahnya Sava."
Andin kembali membelalakkan matanya mendengar ucapan ayah dari Sava. "Apa? Jadi istrinya?" Andin pun akhirnya mengangkat wajahnya ragu dan menatap ayah Sava sekilas. "Dia Papahnya Sava? Apa aku pernah bertemu dengannya?" gumam Aisyah dalam hatinya setelah melihat duda tampan itu, sebab waktu itu Andin tidak terlalu mengamati wajah pria yang menolongnya karena terlalu sok.
Luna kembali pada Andin "Kak Andin mau kan jadi istri papa? Kata papa kalau Kakak mau itu artinya Kakak jadi mamah aku."
Andin menatap Sava dan merangkul tangannya. "Sayang, kamu boleh kok anggap Kakak sebagai Mamah Sava, enggak harus jadi istrinya papahnya Sava." Andin menoleh pada Dipta. "Maaf Pak Dipta. "Saya tahu Anda bercanda. Saya minta maaf karena Sava jadi merengek begini, he he."
"Saya serius," ucap Dipta datar, membuat Andin kembali membelalakkan matanya. "Jika kamu tidak mau, maka saya akan buat kamu mau."
"Apaa??" Andin menelan salivanya dengan sudah payah menatap Dipta.