Chapter 34

996 Words
Dengan sangat terpaksa Grace menyetujui ajakan Edward untuk makan siang bersama. Disinilah Grace berada. Di sebuah restoran yang letaknya cukup jauh dari kantor Grace. Untungnya kali ini Edward mau mengalah. Grace memintanya-memaksanya- agar tidak memesan ruangan privat, dan Edward menurutinya setelah terjadi perdebatan di sepanjang perjalanan menuju kemari. Dan tentu saja mengendarai mobil Grace. Sekali lagi, Grace berhasil membujuk-mengancam- Edward agar mau mengendarai mobil Grace saja, jika tidak. Grace akan menolak makan siang bersama Edward. Ditemani Edward yang saat ini terlihat sangat menikmati makanannya. Begitu juga Alex dan Devani yang menikmati makanannya di meja yang berbeda. Perlu diketahui, selama ini setiap Edward menemui Grace, Devani memang selalu pergi. Saat dikantor, Devani akan keluar dan mengobrol bersama Alex hingga Edward selesai dengan urusannya. Dan saat makan siang. Maka Devani akan pindah kemeja yang jauh dari pengamatan Grace, sehingga ia bisa makan siang bersama Alex.  Bukan tanpa alasan Devani tidak menceritakannya pada Grace. Hanya saja, Devani merasa belum ada waktu yang tepat untuk menceritakannya. Sekarang Grace hanya bisa berusaha sabar. Ia hanya ingin Edward segera menghabiskan makanannya. Lalu pria itu akan kembali ke kantornya, dan Grace bisa segera mencari Leo.  "jadi bagaimana kabar anjing pemberianku?" tanya Edward.  "Barbie? Ah, aku sibuk beberapa hari ini. Jadi Barbie ku serahkan sepenuhnya pada Gabriella." ujar Grace.  Sedari tadi ia memang berusaha bersikap manis pada Edward. Hanya agar pria itu cepat pergi. Jika tidak seperti itu, waktu Grace akan terbuang percuma hanya untuk berdebat dengan Edward. "Aku akan pergi ke Italia setelah ini. Mungkin aku akan kembali besok malam." ujar Edward setelah ia menghabiskan makanannya. Grace memutar bola matanya. Baginya itu adalah informasi yang sangat tidak penting, dan Grace sama sekali tidak membutuhkannya. "Jadi kau tidak perlu merindukanku. Aku hanya pergi sehari." ucap Edward kemudian. Hey tunggu, Grace baru menyadari Edward akan pergi. Mendadak ia menjadi semangat, itu artinya tidak akan penghalang untuk mencari Leo. "besok malam?" tanya Grace, padahal ia berharap kalau bisa pria di hadapannya ini tidak usah kembali lagi ke New York. "Kau tenang saja. Aku pasti akan membawakanmu oleh-oleh.." sambung Edward. Grace hanya mengangguk malas.  Ponsel Edward berbunyi. Sepertinya hanya sebuah pesan masuk, karena Edward terlihat membaca dan mengetikkan sesuatu di ponselnya.  "Aku sebenarnya sangat ingin mengantarmu, tapi sayangnya aku harus pergi. Tapi, ayo. Kuantar kau kembali ke kantormu." "Tidak. Tidak perlu. Aku bisa kembali bersama Devani. Lagi pula, kau harus berangkat dan tiba disana tepat waktu kan. Jika kau berangkat lebih awal, kau bisa punya waktu istirahat sebentar. Supaya kau tidak sakit karena kelelahan." sergah Grace cepat. Edward mengerutkan keningnya, merasa aneh dengan sikap Grace yang mendadak menjadi peduli. "sejak kapan kau menjadi peduli?" tanya Edward. "memangnya tidak boleh?"  Edward kemudian tersenyum. "Tentu saja boleh. Bahkan aku lebih suka kau yang peduli. Membuatku semakin cinta." ujar Edward. 'dan ucapanmu itu membuatku ingin muntah' batin Grace. "Aku harus pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik." ujar Edward tersenyum manis. Senyum yang mencurigakan. Edward beranjak dari duduknya. Ia kemudian menghampiri Grace. Mengelus puncak rambutnya, lalu mencium puncak rambut Grace.  "aku pasti akan merindukanmu." ujar Edward. Sedangkan Grace hanya terdiam. Ia merasakan, sesuatu yang tak mampu ia deskripsikan.  Bersamaan dengan perginya Edward, Alex juga terlihat beranjak dari duduknya. Kemudian meninggalkan Devani. Devani lalu menghampiri Grace dan duduk dikursi yang sebelumnya diduduki oleh Edward. "mereka akan pergi ke Italia" ujar Devani.  "sudah tahu." ucap Grace.  "pasti Ed-" "Ayo kita pergi ke kafe. Aku harus segera menemukan Leo."  "Astaga, Grace. Kau benar-benar serius dengan keinginanmu untuk membeli kue buatannya itu? Kukira kau hanya bercanda tadi." Grace beranjak dari duduknya.  "kuenya sangat lezat. Aku harus segera mencicipinya. Bahkan kalau bisa, aku akan menjadikan dia koki dirumahku."  'koki sekaligus kepala rumah tangga dirumahku' ralat Grace dalam hati. "kau benar-benar menyukai kue nya?" tanya Devani lagi. "iyaa. Ayo cepat." Grace melangkah terlebih dahulu. "Tapi, jam makan siang sudah habis. Kita harus kembali ke kantor, Grace." "Aku CEO nya. Kau tenang saja, kau tidak akan dipecat jika kau mengantarku pergi. Hanya aku dan Ayahku yang bisa memecatmu." ujar Grace. "Benar juga.." gumam Devani.                                --- "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu. Kau justru memilih pergi ke Italia. Seharusnya kau tetap di New York untuk mengawasi calon istrimu itu. Kau bilang kau tidak akan melepaskannya kali ini. Tapi kau justru sudah melepasnya dengan mengambil keputusan pergi ke Italia. Grace bisa saja benar-benar menemui kekasihnya." tutur Alex. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan Alex. "Apa Leo sudah menunggu kita dari tadi?" tanya Edward.  "Jangan mengalihkan pembicaraan, Ed"  "Aku tidak mengalihkan. Aku benar-benar bertanya Alex." "tidak juga. Dia sama seperti kita. Masih dalam perjalanan. Sekarang jawab ucapanku yang barusan." sahut Alex. "Ucapanmu bukan pertanyaan. Aku tidak perlu menjawabnya." ujar Edward. "Ed!"  "Hahaha . ya baiklah. Santai Saja, Lex." Edward terkekeh. "kau tenang saja. Wanita itu nanti yang akan menyusulku ke Italia." Edward menyeringai. "Apa maksudmu?"  "Kita lihat saja nanti"  "Apa lagi yang kali ini kau lakukan, Ed?" tanya Alex. "Aku hanya ingin bermain-main sebentar dengan calon istriku. Aku sudah menyiapkan sedikit kejutan untuknya." sahut Edward dengan seringaian tampannya. "Calon istriku yang arogan." sambungnya. "Meskipun arogan. Tapi kau tetap saja mengejar-ngejarnya. Dan Kau juga memilih untuk menjadikan dia istrimu." "Tentu saja. Karena dia itu wanita pilihan. Wanita pilihanku." "Dan bagaiamana kabar kekasihmu itu? Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan ?" tanya Edward. "dia sama seperti Grace. Keras kepala." tutur Alex.  "kau kurang keras membujuknya." "dia yang belum siap menikah. Apa boleh buat. Aku hanya tinggal menunggu satu tahun lagi " Edward menaikkan satu alisnya. "Satu tahun? Kau yakin. Aku yang hanya seminggu saja. Sudah sangat tidak sabar. Aku tidak sabar menanti malam pertamaku bersama Grace." ucap Edward. "pasti akan sangat... Ahhh, aku menjadi semakin tak sabar." Alex geleng-geleng kepala.  "Menikah itu bukan hanya melakukan aktivitas diatas ranjang, Ed. Menikah itu perlu komitmen dan tanggung jawab, juga Cinta."  "Aku sudah siap untuk semua itu." ucap Edward. Edward langsung bungkam. Ia bahkan sebenarnya tidak yakin dengan apa yang ia katakan barusan. Cinta? Benarkah dirinya mencintai Grace. Atau selama ini ia hanya berambisi untuk mendapatkan Grace. Sepertinya Edward perlu meyakinkan kembali hatinya mengenai apapun yang berhubungan dengan cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD