Chapter 35

1172 Words
"Jangan lupa Hati-hati dijalan. Kau ha-" "Tumben kau perhatian padaku, Ed." ujar Alex . "Aku tidak perhatian padamu. Maksudku adalah. Kau harus hati-hati dijalan nanti saat bersama calon istriku. Jaga dia baik-baik. Dan jangan menggodanya." titah Edward. "haha, kau te-" "Dan jangan berkhianat!" ucap Edward dengan tatapan dingin yang ditujukan pada Alex. "Baiklah baik. Kau tenang saja. Aku sangat mencintai Devani. Aku tidak akan berkhianat. Apalagi dengan wanita arogan seperti itu." ujar Alex sambil terkekeh . Edward pun semakin menajamkan tatapannya pada Alex. "Baik. Masuklah sekarang. Sepertinya Leo sudah menunggumu didalam." ujar Alex.  "Aku berangkat." ujar Edward kemudian melangkah menuju jet pribadinya. "Ingat, jangan berkhianat!" ujar Edward tiba-tiba membuat Alex sedikit terkejut.  "tenang saja, Ed" ucap Alex. Edward lalu memasuki jet pribadinya, sedangkan Alex kembali masuk mobil. Ia akan menjalankan tugas selanjutnya. --- Edward memasuki jet pribadinya dan tersenyum tipis ketika mengetahui Leo sudah berada disana sambil melihat sebuah majalah dengan serius. Lebih tepatnya, buku resep masakan. "maaf menunggu lama. Aku harus menemui calon istriku tadi." ujar Edward sembari mengambil posisi duduk disebelah Leo. Pria itu hanya tersenyum kemudian menjawab. "Tidak apa-apa. Santai saja, aku juga baru tiba beberapa menit yang lalu" ucapnya. Edward mengangguk. "Ngomong-ngomong. Kenapa kau tertarik ikut ke Italia? Sepertinya kau terlihat tidak rela berpisah dengan keka- tunanganmu?" tanya Leo.  "Ada sedikit pekerjaan. Sepertinya berkunjung ke tempat tinggalmu disana terdengar menarik. Lagi pula, kau akan meninggalkan tempat itu kan. Jadi aku harus ada disana untuk menepuk pundakmu ketika kau hendak menangis."  Leo terkekeh. "Aku tidak selemah itu." ujarnya.  "Kenapa kau tidak sekalian mengajak tunanganmu?" tanya Leo. "Dia sangat sibuk. Lagipula sepertinya dia akan menyusul besok.." jawab Edward. "wah.. Sepertinya menarik. Kau harus mengenalkanku padanya. Aku ingin tahu wanita cantik mana yang beruntung menjadi mrs.Jacob. " ucap Leo. "Tentu, aku pasti akan mengenalkannya padamu." ujar Edward. "Dan kalau boleh tahu, apa kau sudah memiliki kekasih? Melakukan double date di Italia. Sepertinya akan menyenangkan." usul Edward. "Ah.. Kisah cintaku sangat rumit. Sulit untuk kuceritakan. Tapi aku setuju dengan idemu itu. Mungkin lain kali kita bisa melakukannya di New York." ucap Leo tersenyum. "Misterius. Tapi tak apa ." ujar Edward terkekeh. Leo tersenyum, ia kemudian berkata. "Ed, aku benar-benar berterimakasih pada keluargamu."  Edward menoleh, menaikkan satu alisnya. Namun sejurus kemudian ia tersenyum. "justru aku dan keluargaku yang harus berterima kasih. Masakanmu sangat lezat. Dan kau memang pantas untuk menjadi chef direstoranku. Lagipula Mommy sangat menyukaimu. Bisa dipastikan dia akan menghabiskan banyak waktunya di dapur bersamamu." ujar Edward.  Leo tersenyum.  "Benar. Dan kurasa calon istrimu juga harus mencoba resepku, agar kau betah makan dirumah." ujar Leo sambil terkekeh.  "tidak harus memasak makanan selezat masakan chef pun, aku akan betah dirumah bersamanya." ucap Edward menyeringai. "wah. Kau sepertinya sangat mencintainya, Ed"  Edward tersenyum. Namun terbesit pertanyaan dipikirannya.  'apakah wanita arogan itu bisa memasak?'  Karena selama ini, Edward hanya melihat Grace memegang tumpukan berkas dan menggerakkan jari diatas keyboard laptop. Ia ragu apakah wanita yang bekerja seperti pria itu bisa memasak. "tapi sepertinya boleh juga. Jika kau mengajarinya beberapa resepmu." ujar Edward setelah pemikiran singkatnya itu. "Siap. Aku akan melakukannya jika kau mau." ujar Leo.                               ---- Grace menghempaskan diri diatas kasur. Ia merasa kelelahan dan gelisah.  Semuanya terasa sia-sia.  Tidak ada petunjuk apapun yang ia dapat setelah berkunjung di kafe tempat pertama kali Devani bertemu dengan Leo. Tidak ada.  Chef. Hanya itu satu-satunya petunjuk yang Grace miliki. Ia sangat kesal pada Devani yang tidak terlalu detail saat berkenalan. Hanya karena moodnya yang buruk setelah bertengkar dengan Alex. Devani jadi menghilangkan sikapnya yang easy going, dan itulah yang membuat Grace kesal. Kenapa hal itu harus terjadi saat Devani justru bertemu dengan Leo.  Grace menghembuskan napas kasar. Saat ini Leo berada di New York. Grace yakin ia dan Leo sangat dekat. Namun entah harus dengan cara apa Grace menemukan Leo.  Seandainya ia bisa, ia pasti sudah mengerahkan orang suruhan untuk mencari Leo. Seandainya ia bisa, pasti rencananya itu sudah ia lakukan sejak bertahun-tahun lalu. Tidak seperti ini, menanti kedatangan orang yang tak pasti selama sepuluh tahun, seperti orang bodoh.  Namun apa kuasa Grace. Ayahnya begitu tegas, hingga tidak mungkin Grace menyewa orang hanya untuk mencari satu orang yang tidak jelas keberadaannya dimana di muka bumi ini. Dan sekarang. Grace memutar keras otaknya. Seandainya saja Devani menanyakan alamat Leo saat itu. Seandainya ada petunjuk atau informasi yang bisa membuatmu menemukan Leo. Namun semuanya hanya sebatas kata 'seandainya' . Grace ingin menangis. Waktunya semakin sedikit. Saat ini sudah malam. Itu artinya waktunya selama satu hari telah lenyap tanpa menghasilkan apapun. Ia mulai pesimis. Waktunya hanya tinggal dua hari. Dan bagaimana mungkin ia bisa menemukan Leo dalam waktu dua hari.  Grace mengusap wajahnya gusar. Ia sangat berharap ia berpapasan dijalan dengan Leo, seperti saat itu. Saat ia kehilangan jejak. Ia harus menemukan Leo. Atau jika tidak, ia dengan sangat amat terpaksa harus menerima perjodohan yang direncanakan ayahnya. Licik, ayahnya benar-benar licik. Memberikan Grace waktu hanya tiga hari untuk mencari calon suami pilihan. Dan yang membuat Grace semakin kesal, adalah sikap Ayahnya yang menjadi 'sok' misterius dengan merahasiakan pria pilihannya. Grace menghela napas. Bahkan ibunya dan Gabriella terlihat sangat mendukung perjodohan ini. Itu membuat Grace merasa semakin terpojok saja. Suara dering ponsel membuat Grace menoleh. Ia mengambil ponselnya yang diletakkan diatas nakas kemudian melirik sang id caller. 'Ayah' , Grace kembali menghela napas.  "Halo"  "dimana kau sekarang?" tanya Ayahnya terkesan dingin.  Grace merasakan hawa-hawa yang tidak mengenakan.  "Dikamar Yah. Ada apa?" "sekarang kau segera bergegas. Susul Ayah ke Italia. Ada proyek yang harus kita bahas." ucap Federico membuat mata Grace hampir loncat dari tempatnya.  Grace melirik kearah jam dinding kamarnya. "Ayah. Besok pagi saja. Ini sudah malam, dan aku sangat kelelahan." ujar Grace.  "Tak ada penolakan. Alex akan menjemputmu. Kau akan pergi bersamanya."  Grace membulatkan matanya. "Alex?" "Ya. orang kepercayaan Edward." "Jangan katakan jika disana Ayah bersama Edward." "Ayah disini memang bersama Edward. Cepat siapkan dirimu. Jika lelah. Kau bisa beristirahat diperjalanan."  Sambungan telepon diputus sepihak. Grace mematung seketika. "Apa-apaan ini!" keluh Grace. Ia yakin, ini adalah rencana Ayahnya yang berniat menganggu rencana Grace untuk mencari calon suami pilihannya. "rencanamu benar-benar busuk, Ayah!" ujarnya. "hhahhhhhh!!! Kenapa kau mempersulit jalanku, Ayah!" pekiknya kemudian. Grace benar-benar merasa emosi. Ayahnya memang seperti itu, jika sudah memberi perintah memang harus dijalankan. Tak peduli meskipun Grace melakukan negosiasi, dan Federico akan memberi pilihan. Tetap saja Federico akan membuat Grace memilih perintah yang Federico berikan. Bagaimanapun caranya. Dan Grace sangat membenci sifat ayahnya yang seperti itu, sangat menyebalkan! Grace memutuskan mengikuti perintah ayahnya. Ia segera mengambil koper. Memasukkan beberapa pakaian secara asal. Bisa dipastikan sisa waktu dua hari yang ia punya. Akan dihabiskan untuk mengurusi pekerjaan yang 'omong kosong'. Alibi yang diciptakan Ayahnya hanya untuk mengalihkan perhatian dan waktu Grace dari usaha mencari calon suami pilihannya. "Dan kenapa harus Alex yang menjemputku. Memangnya dia siapa." keluh Grace. "Grace. Ada tamu yang menjemputmu. Ia bilang ia suruhan Ayah." teriak Gabriella yang tiba-tiba muncul dipintu  membuat Grace terkejut. "Baru saja dibicarakan, orangnya sudah menjemput." gumam Grace. "Suruh dia menunggu sebentar." teriak Grace. "seharusnya tadi aku pura-pura tidur dan tidak mengangkat telepon dari Ayah." keluhnya. Benar-benar hari yang menyebalkan .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD