Chapter 5

1128 Words
"Puppy." Grace yang baru saja menutup pintu dan langsung disambut oleh Puppy-anjingnya-yang menjilati kakinya. "Oh. Come on , Puppy." Grace langsung mengangkat Puppy dan menerbangkannya. Kemudian mencium dan membelai bulu Puppy yang lembut. "Kau sangat merindukanku rupanya." "Grace. Ayolah,, semuanya menunggu di meja makan. Makan malam akan segera dimulai. Ayah juga sudah kembali dari Los Angeles." Gabriella muncul dan menarik Grace ke arah ruang makan. "Baiklah," Grace menurut mengikuti Gabriella. Mereka berdua menuju meja makan. Dan nampak Federico serta Angelina yang sedang berbincang. "Oh Grace. Tumben sekali kau pulang terlambat." Angelina mengecup pipi kanan dan kiri putrinya. "Aku lembur, Bu." "Hai Ayah. Bagaimana kabarmu? Kapan kau tiba?" Grace menyapa Ayahnya kemudian mengambil posisi duduk di samping Gabriella. "Ayah baru saja tiba. Dan langsung segar ketika melihat Ibumu," ucap Federico seraya terkekeh melirik Angelina. "Well. Jadi apa yang Ayah bawa kali ini?" tanya Grace  "Ayah tidak membawa apapun, Grace." kali ini Gabriella yang bersuara. "Maafkan Ayah. Ayah tidak sempat mampir untuk berbelanja."  "Ya sudah Ayah, tidak apa apa," ujar Gabriella malas, ia masih merasa kecewa pada Ayahnya yang tidak membawakan oleh-oleh apapun. "Ya sudah ayo kita segera makan. Aku sangat lapar." keluh Grace yang saat ini perutnya berbunyi karena ia benar-benar kelaparan.                                ---- "Grace, ke ruangan ayah" Federico memerintahkan Grace dengan nada datar namun terkesan tegas. Setelah itu, ia melangkah menuju ruang kerjanya. Diikuti Grace yang masih bertanya-tanya. Jika ia diminta Ayahnya untuk ke ruang kerja, itu artinya ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan. Dan Grace akan merasa sangat terintimidasi jika hal itu menyangkut hasil pekerjaannya yang mengecewakan. Namun seingatnya, semua berjalan lancar. Ditambah penandatanganan kontrak kerja sama Jacob Company beberapa waktu lalu. Tentu itu sebuah pencapaian yang besar, bagi Grace. Grace duduk disebuah sofa, sedangkan Federico melangkah mengambil beberapa dokumen. Jantung Grace semakin berdebar, pasti ini tentang pekerjaan. Grace belum siap jika ia harus turun jabatan dari kursi kebesaran CEO nya. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Federico setelah ia duduk diseberang Grace, sehingga kini ayah dan anak tersebut berhadapan. "Baik, Yah. Ada apa?" tanya Grace gugup. Ia benar-benar takut jika ada berita buruk mengenai pekerjaannya. "Kau tahu berapa usiamu sekarang?" tanya Federico masih menatap dokumen yang dibawanya. "25 tahun," jawab Grace, perasaannya semakin tak karuan. "Ayah tidak pernah melihatmu bersama seorang pria ataupun mengenalkan seorang pria kerumah ini." ucapan Federico yang membuat Grace menegang seketika. 'Pernikahan lagi' gumam Grace. Ini bahkan lebih parah dari ekspetasinya. Jika sudah Ayahnya yang berbicara, Grace tidak akan berani menolak. Tetapi, dia benar-benar belum siap dan tidak akan pernah siap. Ia membenci komitmen. Komitmen yang hanya membuatnya menunggu dan menderita. "Ayah sudah pernah mengatakan padamu. Ayah ingin melihatmu menikah diusia 25 tahun." Grace memberanikan diri untuk angkat bicara. "Tetapi aku belum siap menikah, Yah." "Kau cantik, mapan, dan cerdas. Dan setahu ayah . Selama ini banyak CEO muda tampan yang mendekatimu , namun kau menolak mereka begitu saja. Apa yang membuatmu tidak siap?" Grace hanya bungkam saja. "Cinta? Kau bisa belajar mencintai suamimu saat sudah menikah. Kau tahu Grace? , Ayah tidak tahu sampai kapan Ayah hidup. Ayah ingin segera melihat kau menikah dan memiliki anak. Ayah ingin memiliki cucu laki-laki. Ayah ingin menggendongnya, merawatnya. Dan lihatlah Ibumu, dia juga mengharapkan hal yang sama dengan Ayah. Kami tidak dikarunai seorang putra, dan kami sangat berharap kau bisa memberikan cucu laki-laki," ujar Federico disertai dengan tatapan mengintimidasi. "Tetapi ada Gabriella, Ayah" Grace masih tetap berusaha mengelak. Ia juga tidak tahu apa yang membuatnya tidak siap. Yang ia tahu, dirinya tidak nyaman jika berhubungan dengan laki-laki. Atau mungkin, juga karena dirinya masih menanti seseorang di masa lalu. "Gabriella baru berusia 18 tahun. Dan akan sangat lama jika kami mengandalkannya." Federico kini kembali membaca dokumen . Grace mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia benar-benar tidak siap menikah. Lagipula siapa pria yang akan ia nikahi. Ia benar-benar tidak ingin terburu-buru dan salah pilih. Lagipula ia memiliki beberapa kriteria pria idaman yang harus dipenuhi oleh calon suaminya kelak. "Ayah akan menjodohkanmu," ujar Federico yang membuat Grace membulatkan matanya. Ia bahkan sangat membenci perjodohan. "Dengan siapa?" tanya Grace cepat. "Anak rekan Ayah." Federico menjawab dengan cepat. "Tapi, Ayah. Aku tidak mau dijodohkan . Dan aku belum siap menikah. Kumohon mengertilah."  Grace memohon. "Ayah sudah lelah mengerti dirimu. Sekali ini, turuti keinginan Ayah" nada ucapan Federico terdengar naik satu oktaf. "Tidak ayah. Aku belum siap!" Grace segera berdiri dan pergi meninggalkan ayahnya. Benar-benar sikap lancang yang baru pertama kali ini Grace dilakukan. Federico menghembuskan napas kasar. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. "Dia tidak bisa dipaksa. Sepertinya kita harus mengganti rencana," ujar Federico pada seseorang diseberang sana.       ---- "Bagimana tadi siang?" Alex berteriak di telinga Edward karena alunan musik yang sangat keras. Saat ini mereka sedang berada di klub dan menghabiskan waktu untuk mencari para wanita yang bisa diajak ke ranjang, namun itu hanya untuk Edward. Sedangkan Alex hanya menemani. "Luar biasa. Dia mau berbicara cukup banyak padaku. Setidaknya itu menunjukkan sedikit kemajuan," jawab Edward sambil menikmati segelas wine. "Dia sangat sulit dijinakkan, bukan?" tanya Alex. "Dan aku menyukainya. Ingin rasanya aku membawanya ke ranjang dan membuat dia mendesah memanggil namaku," ujar Edward dengan seringaian tampannya. "Bersabarlah, Ed. Kau tenang saja, kau akan segera memilikinya." Alex mengingatkan. "Sepertinya kau harus lebih sering mengajak kekasihmu itu pergi makan siang bersama," ujar Edward. "Baiklah, besok aku akan mengajaknya lagi." Alex tersenyum. "Ide yang bagus." Edward menelan habis segelas wine yang ia pesan. Seorang wanita dengan riasan menor serta pakaian yang tidak mampu menutupi tubuhnya tiba-tiba datang dan langsung mendekati Edward dengan tatapan menggodanya.  "Malam, Edward. Bagaimana jika kita memesan kamar malam ini. Aku akan menemanimu," ucap wanita tersebut. Alex memandang jijik wanita tersebut. Ia memang tidak terlalu suka pergi ke klub . Selama ini ia pergi ke klub hanya karena tugas yang diperintahkan Ludwig padanya. Yaitu untuk mengawasi dan menjaga Edward. Sedangkan Edward menahan tawanya ketika melihat ekspresi wajah Alex. "Oh, Edward. Bukankah tadi Daddy memintamu agar segera pulang malam ini?" Alex teringat sesuatu. Ini benar-benar penting. Bagaimana mungkin ia melupakan perintah Ludwig.  Edward pun juga baru mengingat ucapan ayahnya saat menelpon ketika ia makan siang bersama Grace. "s**t. Ayo pergi." Edward segera meninggalkan klub tersebut bersama Alex. Ia benar-benar lupa akan perintah Daddynya. Selama ini Daddynya memang memberi kebebasan untuk Edward pergi ke klub ataupun mengencani banyak wanita. Asalkan Edward tetap mengikuti perintah Daddynya, dan jangan sampai ada jalang mendatangi mansion keluarga Jacob yang mengaku memiliki anak Edward di rahimnya. Dengan kecepatan maksimal Edward mengendarai mobilnya menuju mansion. Sedangkan Alex sibuk mengecek ponselnya yang ternyata terdapat banyak panggilan tidak terjawab dari Ludwig. Edward benar-benar lupa.  "Sial! Pukul 9" geram Edward. Ia memang selalu pulang ke mansion jika Ludwig menelpon. Dan ini pertama kalinya ia melupakan janji untuk pulang lebih awal. Baginya janji adalah suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika Edward sudah berjanji, maka semaksimal mungkin akan ia penuhi segala janjinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD