Chapter 6

1179 Words
Edward terburu-buru memarkirkan mobilnya. Ia segera berlari menuju mansion yang disambut oleh tundukkan tanda hormat dari para pelayan yant ia jumpai. Dilihatnya Ludwig tengah berbincang santai dengan istrinya, Stefani. Edward langsung bersuara dengan napas terengah-engah akibat berlari. "Maaf Dad. Tad-" "Tenanglah, Ed. Minum dulu" Stefani memberikan segelas jus mangga yang memang sengaja disiapkan untuk Edward.  "Oh, Alex. Kau juga minum dulu." Stefani terlihat tenang dan bahagia. Sedangkan Edward dan Alex mengerutkan kening ketika mendapat perlakuan begitu manis, meskipun mereka terlambat beberapa jam. "Edward, mari ikuti Daddy. Ada hal serius yang harus kita bicarakan." Ludwig berdiri dan melangkah menuju ruangan kerjanya, diikuti Edward yang masih menetralkan napas akibat berlari. "Ada apa, Mom?" tanya Alex. "Kabar gembira. Biar nanti Edward saja yang menceritakannya padamu. Sekarang beristirahatlah. Kau pasti lelah menemani Edward seharian. Mom kekamar dahulu," ucap Stefani kemudian beranjak menuju kamarnya.                             ---- "Daddy bertemu dengan Mr.Federico Dominic di Los Angeles" Ludwig membuka pembicaraan. "Benarkah, Dad?" tanya Edward tidak menyangka. "Ya, kami membicarakan banyak hal. Kami juga sempat menghabiskan waktu bersama untuk bermain golf."  "Apa saja yang Daddy bicarakan dengannya?" Edward merasa penasaran. "Tentang Grace." Edward memang ingin tahu segalanya tentang gadis itu, bahkan meski Edward baru saja mengenalnya. Gadis elegan dan cantik yang menolaknya dengan sangat halus namun menyakitkan. Padahal hanya menolak untuk diantar, namun berdampak luar biasa bagi Edward yang nota benenya adalah playboy. "Kau tahu? Kau adalah satu-satunya harapan Daddy." ucapan Ludwig menghilangkan segala pemikiran tentang Grace di otak Edward. "Daddy benar. Aku adalah anak tunggal Daddy." "Kau tahu. Daddy memberimu kebebasan untuk menjalani hidupmu. Kecuali karir. Karena hanya kaulah penerus Daddy. Termasuk pasangan." Ludwig menatap putranya dengan tatapan mengintimidasi. Edward harap-harap cemas menanti kelanjutan ucapan Daddynya. Ini pertama kalinya Ludwig membahas mengenai pasangan. "Daddy tidak pernah membatasimu untuk menyukai, mencintai, atau berpacaran dengan siapapun."  "Tapi ketahuilah Edward. Hanya karena wanita itu, kau menjadi pria yang benar-benar brengsek." ucapan Ludwig membuat Edward langsung mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Namun bukan Ludwig alasan kemarahannya saat ini, ia merasa marah pada dirinya sendiri. "Kau ingin tahu apa yang Daddy bicarakan dengan Mr.Federico?" tawar Ludwig mengalihkan pembicaraan yang justru langsung dapat meredam emosi Edward ketika terlintas tentang Grace di pikirannya. "Apa yang Daddy bicarakan?" tanya Edward tidak sabaran. "Mr.Federico ingin mencarikan calon suami untuk Grace." Ludwig menatap Edward lekat. Menanti reaksi putranya. Edward mengalihkan pandangannya. Pupus sudah ambisinya untuk membuat Grace bertekuk lutut mengemis cintanya. "Grace adalah perempuan yang hebat. Mandiri, pekerja keras,cerdas, cantik, mapan, dia juga sangat bertanggung jawab atas apapun yang ia lakukan. Dia tunduk dan patuh pada norma dan peraturan yang ada. Dia benar-benar sosok istri idaman." Ludwig mendeskripsikan betapa sempurnanya Grace untuk menjadi seorang istri. "Kau benar, Dad. Dia sangat cantik dan sempurna." Edward mengakui kesempurnaan Grace. Ia juga merasa tersihir akan pesona Grace. "Dan Mr.Federico ingin pria yang menjadi menantunya adalah pria yang baik,bertanggung jawab. Pria yang dapat mengimbangi segala kesempurnaan Grace. Pria yang benar-benar pantas menjadi suami Grace." Ludwig kemudian mengubah posisinya menjadi tegak. "Di dunia ini terlalu banyak pria seperti itu, Dad. Terlalu banyak hingga pasti Mr.Federico ataupun Grace bingung memilih yang mana " ucap Edward , karena memang sangat mudah menemukan pria yang baik dan bertanggung jawab. Namun menemukan pria yang mau menerima kekurangan Grace, adalah hal yang sulit. Edward yakin, dibalik segala pujian dan kesempurnaan Grace, pasti Grace memiliki suatu kekurangan. "Kau tahu siapa pria pilihan Mr.Federico?" tanya Ludwig memancing rasa penasaran Edward. "Siapa Dad?" "Edward Jacob," jawab Ludwig menatap Edward. Edward pun terkejut. Namun ia sangat gembira. Padahal ia belum pernah bertemu dengan Federico. Namun mengapa Ayah Grace justru memilihnya. Berbeda dengan putrinya yang justru menolak Edward. ---- Grace melangkah menuju ruang makan dengan raut wajah datar. Ia masih kesal akan keputusan Ayahnya semalam, dan juga takut. Takut Ayahnya akan marah dan menunjukkan reaksi berlebihan. "Pagi," sapa Grace ketika mendapati Angelina, Federico, dan Gabriella yang telah menantinya. "Grace, apa kau sibuk malam ini?" tanya Federico. Grace masih memikirkan jadwalnya hari ini. Untungnya beberapa pekerjaan telah selesai. "Sepertinya tidak, Ayah. Memangnya kenapa?" Grace sebenarnya ia masih merasa kesal. "Kami ingin mengajakmu makan malam bersama. Makan malam spesial." Angelina membuka suara "Benarkah? Tetapi aku harus mendatangi pesta temanku, Bu" Gabriella menyahut. "Ya sudah tidak apa-apa. Lagipula makan malam ini berhubungan dengan pekerjaan," ujar Federico . "Pekerjaan?" Grace mengerutkan keningnya.  "Iya. Mr.Ludwig mengundang keluarga kita untuk makan malam dirumahnya." Mata Grace berbinar-binar. Ia memang mengagumi Pria seperti Ludwig. Dan dalam hal pekerjaan, Ludwig adalah sosok yang menginspirasi nya. Bisa dikatakan bahwa Grace mengidolakan Ludwig. "Benarkah?" tanya Grace.  "Benar Grace. Pulanglah lebih awal. Kita akan berangkat pukul 7 malam." ucap Angelina. "Tidak papa kan Bu aku tidak ikut. Lagipula aku tidak mengerti apapun mengenai bisnis" ucap Gabriella memohon agar dimaklumi. "Aku berangkat" Grace kemudian menyalimi kedua orang tuanya , dan setelah itu berangkat kekantor.                            ---- "Untunglah, kita bisa sedikit bersantai hari ini. Ayo kita makan siang" ajak Grace. "Um. Maaf Grace. Tetapi aku ada janji dengan seseorang."  "Siapa?" Grace menyipitkan matanya. Melihat Devani yang hanya terdiam. Grace jadi menyipitkan matanya karena curiga. "Oooo, jadi kau sudah memiliki kekasih tapi kau tidak menceritakannya padaku??" tanya Grace. "Em. Ya bisa dibilang begitu" Devani mengangkat bahunya acuh. "Siapa Dev?? Kenapa kau tidak menceritakannya padaku?" ucap Grace tak terima. "Kapan-kapan aku akan menceritakannya. Aku duluan. Dia sudah menanti" Devani menutup pintu meninggalkan Grace diruangannya sendiri. Inilah hal yang paling Grace benci , ketika satu persatu temannya pergi meninggalkan dia sendirian karena pergi bersama kekasihnya. Sedangkan Grace benar-benar muak dengan hubungan yang disebut pacaran. "Jadi kau meninggalkanku sendiri" teriak Grace dari tempat duduknya saat ini. Grace menghela napas ketika tidak ada jawaban. Ia lantas membereskan beberapa dokumen yang berserakan diatas mejanya.  Seketika pintu terbuka. "Apa?" tanya Grace ketus ketika Devani kembali lagi. "Dompetku tertinggal, jadi aku ingin mengambilnya." ucap Devani yang tidak ditanggapi oleh Grace. "Ayolah, Grace. Kau tidak perlu mendiamkanku. Pada saat yang tepat, aku pasti akan menceritakannya padamu." Devani kembali pergi dan menutup pintu setelah mengambil dompetnya. Grace kembali sibuk dengan pekerjaannya. Ia benar-benar malas pergi makan siang jika sendiri. Mungkin ia akan meminta OB membelikannya makanan. Pintu kembali terbuka. "Apa? Kenapa lagi ? Apa kini otak dan hatimu yang tertinggal!" pekik Grace tanpa melirik. Ia tahu benar Devani terkadang akan menjadi usil jika Grace mendiamkannya. "Kau benar, otak dan hatiku tertinggal disini" suara bariton membuat Grace menghentikan kegiatannya, kemudian menoleh. "E.. Edward" Grace benar-benar terkejut bahwa yang tadi ia teriaki adalah Edward,bukan Devani.   "A.. Apa , apa yang kau lakukan disini?" tanya Grace. Edward duduk dikursi client  . "Aku ingin mengajakmu makan siang." ucap Edward. "Emh. Maaf tadi. Aku kira kau Devani." Grace merasa pencitraannya benar-benar runtuh. Bagaimana bisa ia berteriak dihadapan CEO Jacob Company. Bagaimana jika Edward memutuskan kontrak kerja sama karena sikap Grace yang tidak sopan. Edward hanya tersenyum. "Jadi, bagaiman? Mari kita makan siang bersama." ajak Edward lagi. "Kau jauh-jauh kesini hanya untuk mengajakku makan siang Edward?"  Grace masih tidak percaya. "Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan"  Grace semakin membatu, ia takut pemikirannya menjadi kenyataan.  "Ow.. Baiklah kalau begitu. Ayo" Grace sebenarnya ingin menolak. Tetapi mengingat sikapnya yang tidak sopan, ia terpaksa menerima ajakan Edward.  Ia pun melangkah duluan untuk menyembunyikan wajahnya karena malu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD