Chapter 4

1142 Words
Beberapa orang telah pergi meninggalkan ruang rapat. Kini hanya tersisa Grace dan Devani yang membereskan beberapa dokumen. Serta Edward dan Alex yang sengaja menunggu mereka. "Aku menagih janjimu, Grace." Edward yang mendekati Grace . Grace menoleh dengan bingung. Edward yang melihat raut wajah Grace langsung berucap. "Kemarin kau mengatakan kau akan menemaniku makan siang bukan." Edward mengingatkan Grace akan perkataannya kemarin. "Aku tidak bilang begitu." Grace mengingat-ingat ucapannya kemarin. "Kau mengatakan lain kali," ujar Edward dengan penekanan.Grace menatap Devani sebentar, namun Devani mengangkat bahunya. "Em, baiklah. Ayo Dev, kita makan siang bersama Mr.Edward." ajak Grace.  "Maaf Ms.Grace, Mr Edward. Aku tidak bisa ikut bersama kalian. Aku ada janji bersama seseorang."  Devani kini justru melirik Alex dan langsung dihadiahi tatapan tajam dari Grace. "Tidak papa. Aku mengerti." Edward tersenyum sumringah. "Ya sudah, Dev. Lagipula kami akan makan siang bersama tuan..." Grace menatap Alex karena tidak mengetahui namanya. "Alex," ucap Alex tersenyum. "Em ya, bersama tuan Alex." "Maaf nona Grace. Tetapi saya juga sudah memiliki janji makan siang bersama orang lain. Saya duluan. Edward, aku pergi dulu" Alex lantas meninggalkan ketiganya. "Aku buru-buru, Grace. Aku juga duluan. Mr.Edward saya permisi." Devani melangkah keluar dan dibalas dengan senyuman oleh Edward. Kini Grace menyesali ucapannya. Seharusnya tadi ia mengatakan bahwa ia memiliki janji. Mana ia tahu jika Devani mendadak memiliki janji dengan orang lain. Ia yakin ini hanya akal-akalan Devani saja. "Ayo, Grace" ajak Edward lantas memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan berjalan mendahului Grace dengan senyuman terukir di wajahnya.                              ---- Edward kembali menatap Grace setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi. Berusaha memutar kepalanya mencari topik yang dapat menarik perhatian Grace. Karena berdasarkan informasi yang Alex dapatkan, Grace sangat tidak suka berbagi informasi pribadinya dengan orang asing. Dan dia juga tidak terlalu suka membicarakan banyak hal bersama pria. Grace sangat tertutup. Sedangkan Grace benci suasana canggung seperti ini. Biar bagaimanapun ia tidak mengenal Edward. Dan ia juga tidak suka berbasa-basi ataupun memulai percakapan. Ia lebih baik diam, dan akan berbicara jika ada yang bertanya. Jika tidak ada yang bertanya. Ia akan diam saja , bahkan selama apapun pertemuan itu berlangsung. Ia tidak akan bertanya ataupun memulai pembicaraan terlebih dahulu jika itu memang tidak benar-benar penting dan mendesak. "Apa ayahmu sudah kembali dari urusan bisnisnya?" tanya Edward. "Belum. Mungkin beberapa hari lagi ia akan kembali," jawab Grace.  "Begitu. Apa kau tahu proyek apa yang sedang beliau kerjakan?" tanya Edward lagi. "Setahuku, ia mengurusi resort dan hotel miliknya di Los Angeles." "Kenapa kau tertarik dengan dunia bisnis. Maksudku, mengapa kau mau menjadi CEO menggantikan ayahmu. Padahal kau sepertinya cocok menjadi model," ujar Edward.  Grace tersenyum. Ia memang lebih suka membicarakan pekerjaan, dibandingkan membicarakan urusan pribadi. "Bisnis itu menarik. Dan kau benar, aku tertarik dengan dunia bisnis. Kau tahu, awalnya aku ingin sekali menjadi penulis. Aku ingin menulis duniaku. Dunia imanjinasiku yang indah. Dunia dimana aku bisa sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang meskipun itu hanya khayalan. Dan semua berubah ketika Ayahku memintaku mengambil kuliah bisnis. Ia sempat bertanya, apakah aku ingin menggantikannya sebagai CEO kelak. Mengingat ayahku hanya memiliki dua anak, dan itupun keduanya perempuan. Aku menjadi memikirkan itu terus menerus. Aku berdebat dengan ego dan pemikiranku. Disatu sisi aku ingin mewujudkan cita-citaku, namun disisi lain aku juga tak ingin mengecewakan ayahku. Jadi aku mengikuti saran Ibu untuk menjadi CEO. Dimana aku bisa memenuhi keinginanku untuk menjadi sangat berpengaruh bagi kehidupan orang lain, di dunia nyata," ucap Grace antusias. Edward memperhatikannya dengan serius, ini pertama kalinya ia mendengar Grace berbicara sebanyak itu dan mau terbuka dengan dirinya. Dan dia terlihat semakin cantik saat dia bercerita begitu banyak pada Edward. "Kau benar, kau sangat berpengaruh bagi kehidupan orang lain. Kau tahu kau adalah perempuan yang sangat cerdas dan mandiri. Apa kau tidak lelah menjalani kehidupan seperti ini? Ya kau tahu dunia bisnis sangat kejam." Edward masih berusaha memancing Grace agar membuka diri. Setidaknya pembicaraannya kali ini lebih menarik dibandingkan kemarin. "Tidak. Aku justru senang mengumpulkan banyak uang lalu menghabiskannya. Meskipun kejam, dunia bisnis itu sangat menarik." Suara ponsel Edward menganggu pembicaraan mereka. Ingin sekali Edward memaki penganggu yang merusak suasananya saat ini. Namun ketika melihat id caller 'Daddy' ia harus berpura-pura sopan dan menghilangkan emosinya. "Halo Dad, ada apa?" "...." "Baik. Bagaimana denganmu?" "...." "Sudah kulakukan. Sekarang aku sedang makan siang bersamanya." Edward menatap Grace .  "...."  "Baiklah, Dad. Aku akan langsung pulang nanti" Setelah Edward menutup teleponnya, seorang pelayan datang membawa pesanan mereka.  "Ayo kita makan," ajak Grace. Edward mengangguk lalu mulai menyantap makanannya. "Selamat makan," ujar Edward. Keduanya sibuk menikmati makanan dengan pikiran masing-masing. Grace memikirkan bagaimana bisa ia bercerita panjang lebar mengenai kehidupannya pada Edward. Tetapi jujur, ia merasakan nyaman bila menceritakan kehidupannya pada Edward. Edward baginya sangat tepat bila diajak bercerita mengenai kehidupannya.  Karena berbeda dengan semua orang yang pernah ia temui yang kebanyakan bertanya 'apa yang kau lakukan' . Sedangkan Edward menanyakan hal yang lebih ke alasan 'mengapa kau melakukannya', dan Grace menyukai itu. Dan berbicara terlebih dahulu seperti mengajaknya menikmati makanan, bukanlah benar-benar dirinya.  Grace merasa bingung akan sikapnya kali ini. Edward berbeda dari kebanyakan lelaki yang selama ini selalu menggodanya. Edward terkesan lebih sopan dan juga lebih baik. Mungkin karena Edward adalah pria berpendidikan tinggi dan cerdas. Cerdas, Grace sangat menyukai pria yang cerdas. Berbeda dengan Grace yang sibuk berpikir. Edward justru sibuk menatap Grace yang terlihat santai menikmati makanannya. Menatap Grace dengan jarak sedekat ini membuatnya sedikit berdebar. Dan menatap Grace saat makan siang seperti ini membuat makanan yang Edward santap , jauh terasa lebih nikmat. Setelah selesai dengan makanan masing-masing. Keduanya hanya terdiam. Edward masih berpikir keras merangkai kata untuk membuka pembicaraan. Namun hingga seorang pelayan datang menagih bayaran atas makanan yang mereka pesan, Edward tidak mendapatkan ide apapun. "Biar aku yang membayarnya." Edward mengeluarkan dompetnya. "Tidak perlu, Ed. Aku yang akan membayarnya" Grace menolak secara halus. "Jangan, Grace. Aku laki-laki, lagipula aku yang mengajakmu. Jadi aku yang akan membayarnya." Edward mengeluarkan kartunya. "Aku bisa membayarnya, Ed." Grace tetap bersikeras. Bukan apa-apa, Grace hanya tidak ingin merasa berhutang uang pada Edward yang baru ia kenal. Lagipula ia masih sanggup membayar makanannya sendiri. "Anggap saja aku mentraktirmu," ucap Edward "Aku tidak mau." Grace tetap ingin membayarnya sendiri, kini ia juga mengeluarkan dompetnya. "Aku tidak menerima penolakan, Grace." Edward tetap ingin membayarnya. Baginya membayar adalah tanggung jawab laki-laki. Biar bagaimana pun ia lelaki. "Dan aku tidak menerima perintah, Edward" Grace telah terlebih dahulu mem erikan beberapa lembar uang kepada pelayan. Edward menghembuskan napas kasar, sepertinya ia harus mengalah. "Baiklah."  "Terimakasih atas makan siangnya. Tapi maaf Edward. Aku harus segera kembali, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.Aku duluan." setelah berdebat dan tetap keras kepala. Kini Grace justru meninggalkan Edward di meja makan dan melangkah duluan. Sedikit merasa kecewa, padahal Edward ingin sekali berbincang berdua lebih lama bersama Grace. "Kau benar-benar sulit dijinakkan, Grace." gumam Edward. "Tapi lihat saja nanti saat aku bisa mempengaruhi kehidupanmu. Aku adalah playboy yang handal" Edward menyeringai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD