Chapter 16

1085 Words
Dering ponsel yang terus menerus menganggu waktu tidur dua manusia yang baru saja melakuan olahraga panas malam ini.  Edward menggeliat dari tidurnya dan bersumpah akan memaki dan membentak siapapun yang menganggunya saat ini. Dengan gerakan malas Edward mengambil ponselnya diatas nakas. Dilihatnya id caller sipenelpon . "Daddy" ucapnya lirih. Bagaimana mungkin ia membentak Daddynya sendiri. Edward melirik sekilas kearah wanita yang tertidur pulas tanpa busana dan hanya ditutupi selimut disampingnya. Dengan langkah gontai Edward berjalan menuju balkon. Mengangkat telepon. "Ada apa Dad?" tanya Edward  "Kau bermain lagi, Ed?"   "Ya" Edward mengangguk, meskipun Ludwig pasti tidak akan melihatnya. "Seharusnya kau menghentikan kegiatan bodohmu itu." "Berhenti?" Edward menyeringai  "Lalu menyibukkan diri dan membuat pikiranku stress hanya karena menghabiskan waktu dikantor begitu?" "Kau seharusnya segera menikah, Ed." "Menikah?" kini Edward terkekeh. "Dengan siapa? Dengan Grace? Dia itu wanita yang angkuh." "Dia sudah sedikit membawa perubahan di hidupmu. Mengapa kau berhenti memperjuangkannya, Alex yang bilang." "Berjuang? Untuk apa aku memperjuangkan wanita seperti itu, Dad. Biar nanti saja dia yang datang mengemis cinta padaku." Edward sebenarnya masih kesal atas segala hinaan yang diucapkan Edward tadi siang. Hatinya cukup terluka karena itu. "Ck. Daddy sudah cukup sabar menasehatimu, Ed. Jangan sampai ada jalang yang memanfaatkanmu hanya untuk mendapatkan harta. Grace adalah perempuan yang paling cocok untukmu." "Baiklah, Dad. Terimakasih sudah selalu mengingatkan." Edward mengakhiri teleponnya.  "Berhenti?" Edward menyeringai. "Maaf, Dad. Aku belum punya alasan untuk berhenti mempermainkan wanita. Bahkan wanita itu tidak pernah menjelaskan alasannya mengapa dia mempermainkan diriku!" Sekelebat ingatan buruk muncul dipikiran Edward. Namun segera mungkin ia mengalihkan pikiran agar tidak membuang waktu dengan memikirkan masa lalunya.  Ia kembali ketempat tidur. Lalu menutup mata untuk beristirahat sambil memeluk jalang disampingnya dengan erat. ----- "Kau tidak pulang semalam." ucap Alex ketika Edward baru saja memasuki ruangannya. Edward hanya meliriknya malas. Kemudian ia menghidupkan laptopnya dan justru membalas Alex dengan pertanyaan yang lain. "Apa jadwal hari ini?" tanya Edward membuat Alex berdecak. Ia hapal betul kebiasaan Edward jika moodnya sedang tidak baik. Edward akan lebih memilih bungkam atau mengalihkan pembicaraan. "Kita ada rapat hari ini dengan perusahaan Dominica. Tepatnya kita membahas kerja sama." jawab Alex  "Bukankah kita sudah pernah rapat. Apalagi yang perlu dibahas?" Edward terlihat tidak berminat. "Agenda rapat kali ini adalah pematangan konsep. Rapat waktu itu hanya baru perencanaan saja." ucap Alex menjelaskan. "Jam berapa rapatnya?" tanya Edward. "2 jam Sebelum makan siang" jawab Alex. Edward terdiam. Kini ia terlihat sibuk memainkan laptopnya. Menatap lurus dan terlihat sangat fokus. "Ada apa, Ed?" tanya Alex  Edward menoleh bingung. "Ah apa?"  "Bukankah kemarin kau sangat bersemangat untuk bertemu dengan Grace. Tetapi sekarang kau terlihat malas. Apa semalam jalangmu memberikan pelayanan dengan sangat baik. Sampai-sampai kau melupakan ambisimu untuk mendapatkan Grace." ucap Alex Edward terkekeh. "Ah wanita arogan." ucap Edward. "Aku hanya ingin beristirahat sejenak. Mengejar wanita itu, aku merasa seperti aku bukanlah diriku." ucap Edward kemudian. Alex terdiam. Mengapa Edward berubah. Alex memang tidak tahu apa yang menyebabkan Edward berubah. Bukankah kemarin Edward yang sangat berambisi mendapatkan Grace ketika ia ditolak. "Kau berbeda hari ini. Apa kau sehat?" tanya Alex dengan nada datar. "Aku selalu sehat setiap hari berkat pelayanan para wanitaku." ucap Edward bangga. "Kenapa kau cepat sekali merubah pikiran. Padahal aku sangat mendukungmu dengan Grace." ujar Alex  "Aku hanya beristirahat sebentar. Kau tahu, mengejar wanita arogan seperti Grace itu sangat melelahkan." ucap Edward. ------ "Kau yakin aku harus melakukannya? Maksudku nanti setelah rapat. Oh aku tidak yakin, Dev." keluh Grace saat mendapat saran dari Devani. "Ya tentu saja. Memangnya kapan lagi kau akan mendapat kesempatan untuk berterima kasih?" tanya Devani. "Ya tapi.." Grace menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Aku kemarin sudah mengatakan jika aku akan mengembalikannya. Aku malu." "Ya sudah. Kau tinggal memohon maaf. Memasang senyum secantik mungkin, dan mengucapkan terima kasih. Mudah kan." Devani tersenyum bangga. "Mudah diucapkan." ujar Grace  "Kau harus mencobanya, Grace." usul Devani "Mengucapkan terima kasih itu bukan kesalahan. Jadi kau tidak perlu malu untuk melakukanya" lanjutnya. "Baiklah." ucap Grace menyerah.  Ia hanya berharap nanti pria playboy itu tidak terus menatapnya seperti rapat beberapa waktu lalu. ---- Rapat dilaksanakan dikantor Grace.  Dan sebagai tuan rumah tentu saja Grace lebih dahulu tiba diruang rapat. Rasanya begitu canggung ketika Edward memasuki ruang rapat. Grace masih merasa bersalah atas perilaku nya kemarin yang keterlaluan. Rapat dimulai. Namun sejak tiba diruangan , Edward tidak menatap Grace sedikitpun. Bahkan saat Grace berbicara didepan. Tetap saja Edward tak menatapnya. Sikapnya terlihat biasa saja saat ia mengobrol dengan Alex yang duduk disebelahnya. Namun pada Grace, Grace merasa diabaikan. 'Bukankah kau berharap playboy itu tidak menatapmu, Grace.' batin Grace mengingatkan. Tetapi tetap saja, dalam lubuk hatinya. Grace menginginkan tatapan itu. Tatapan Edward yang terlihat sangat memujanya. Tatapan yang menunjukan betapa terpesonanya Edward oleh Grace. Tatapan yang menunjukkan bahwa seluruh perhatian Edward hanya terpusat pada Grace. 'Apa dia marah?' batin Grace berkata. Segala pikiran negatif kembali berkecamuk dalam otaknya. Apa yang harus Grace lakukan. Ia merasa bersalah saat ini. ---- Rapat telah usai. Grace berharap Edward akan mengundur waktu untuk meninggalkan ruangan agar hanya menyisakan dirinya,Edward, Devani, dan Alex seperti rapat lalu. Karena saat itulah Grace akan melancarkan misinya. Yaitu berterima kasih. Namun harapan hanyalah harapan. Edward justru meninggalkan ruangan dengan sangat terburu-buru. Diikuti Alex yang terlihat tidak menyangka bahwa Edward akan langsung pergi. "Dev, bagaimana ini?" tanya Grace  "Kejar dia. Lalu utarakan maksudmu." saran Devani. "Kau gila?" "Cepat sebelum dia menjauh" Dengan debaran jantung yang sangat cepat serta bermodalkan nekat. Grace mengejar Edward. "Edward.." panggilnya , namun Edward tetap melangkah .  Alex menoleh dan terlihat membisikkan sesuatu pada Edward. "Edward.." Grace berlari kecil untuk mengejar Edward .  Dengan sigap, Grace mencekal tangan Edward karena sedari tadi Edward tidak menoleh. "Aku ingin bicara sebentar." ucap Grace dengan tetap mencekal tangan Edward. Edward dengan wajah datarnya menatap tangan Grace.  "Eh, maaf" dengan gugup Grace melepaskan tangan Edward. "Em." masih dengan jantung yang berdetak cepat, Grace berusaha menyampaikan maksudnya. "Em. Aku ingin berterima kasih, atas pemberianmu" ucap Grace. Ia menanti Edward membalas ucapannya.  Jantung Grace sangat berdebar. Ia takut Edward akan menertawakannya. "Oh." ucap Edward dengan datar dan dinginya lalu ia membalikkan badan dan kembali melangkah. Melangkah meninggalkan Grace yang mematung bagai disambar petir setelah terkejut akan perilaku Edward yang berbeda. Grace menatap punggung Edward yang menjauh. Beginikah rasanya diabaikan? Grace bahkan hampir mati menahan rasa malu dan debaran jantungnya. Namun pria playboy itu justru mengabaikan Grace seperti sampah. "Sabar, Grace . Setidaknya kau sudah berterima kasih." ucap Devani berusaha menguatkan Grace dengan mengelus pundaknya. Edward memasuki lift dan otomatis berbalik badan. Saat itulah Edward menatap Grace datar , keduanya bertatapan sebentar hingga pintu lift tertutup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD