Chapter 27

1141 Words
"Mommy sangat mendukung hubungan kalian. Kau itu adalah wanita yang sangat sempurna. Mommy pasti akan sangat beruntung jika memiliki menantu sepertimu." ucap Stefani  'Sayangnya aku akan sangat rugi jika menjadi istri putramu' batin Grace. "Tapi aku dan Edward hanya rekan kerja, Mom." ucap Grace. "Grace." ujar Stefani dengan lembut. "Kau tidak usah takut. Tidak perlu menyembunyikannya lagi. Tenang saja. Mom sangat mendukung hubungan kalian." ujar Stefani dengan tersenyum. 'Bagaimana caranya menjelaskan dengan para orang tua.' Grace mengeraskan rahangnya.  Ia masih tetap berusaha tabah dengan tidak meluapkan emosinya pada Stefani.  "Itu Edward" tunjuk Stefani dengan gembira. Grace menoleh, terkejut. Bukankah tadi Stefani baru saja mengatakan jika Edward berada di Korea. Tapi sekarang ia sisana, pria itu melangkah dengan tatapan dinginnya. Namun ia terlihat sangat tampan dengan balutan jas hitam dan dasi hitamnya yang elegan.  "Kapan kau tiba, Ed?" tanya Stefani. Namun bukannya menjawab, Edward justru menatap Grace dengan tatapan tajamnya. Sehingga Grace hanya bisa menunduk dan terdiam.  "Kami baru saja sampai, dan segera menjemput Mommy kemari. Ternyata Mommy sedang mengobrol bersama Grace." ucap Alex. Edward tetap pada posisinya, berdiri dan menatap Grace. Stefani dan Alex yang menyadari hal itu pun hanya saling memandang. "Edward, kemari duduk dulu" ujar Stefani menepuk sofa disebelahnya. Edward menurut. Ia lalu duduk disebelah Stefani. Dan mau tidak mau Alex harus duduk disebelah Grace. "Seharusnya tadi Mommy langsung pulang saja." ucap Edward. "Kau tahu kan Mommy selalu senang berbelanja." ucap Stefani. "Maaf, Mom. Tapi sepertinya aku perlu  bicara dengan Grace, berdua!" ujar Edward membuat Grace menoleh dan menatapnya sekejap. "Em, Mommy tau kau selalu ingin berdua saja dengan Grace . Lex, ayo kita pulang" ajak Stefani. Alex tersenyum dan mengangguk. "Tapi, Mom-"  "Kami duluan, Ms.Grace" Alex tersenyum.  Grace ingin sekali mencegah Stefani pergi. Namun rasanya percuma saja. Edward hanya diam. Ia terlihat tidak ingin mengutarakan sesuatu. "Kalau begitu. Aku pamit pulang ." ucap Grace kemudian. Ia merasa canggung dan malas untuk berhadapan dengan Edward. Namun saat Grace berdiri dan berjalan dua langkah, dengan cepat Edward berdiri dan menahan lengannya. "Aku sudah bilang ingin bicara berdua denganmu" ucap Edward menatap Grace. Tubuh mereka berada dalam posisi yang sangat dekat, sehingga menjadi pemandangan para pelanggan yang datang. "Ikut aku." ajak Edward. Grace hanya diam saja melangkah mengikuti arah langkah kaki Edward. Karena percuma saja ia meronta. Hanya sebuah usaha yang membuang banyak tenaga dan berakhir sia-sia.  ---- Edward mengajak Grace ke ruang privasi direstoran tersebut.  Grace lalu duduk tanpa perlawanan. Grace terdiam.  Seorang waiters datang untuk menanyakan pesanan mereka. Edward justru membisikkan sesuatu pada waiters tersebut, kemudian memberikannya beberapa lembar uang. Tak lama, waiter tersebut melempar senyum pada Grace lalu pamit undur diri. Grace menatap Edward. Namun saat Edward menatap Grace, dengan cepat Grace mengalihkan pandangannya. "Dulu playboy, tidak menghargai wanita. Dan sekarang pengecut?" ucap Edward dengan nada dingin dan tatapan mengintimidasi. Dengan sedikit takut, Grace berucap. "Apa maksudmu? Kau menarikku kesini. Dan bicara omong kosong."  Edward menyeringai. "Kau yang bicara omong kosong. Kalau kau tidak tahu apapun, jangan bicara sembarang. Dan jangan sembarangan menilai diriku!"  Jleb. Grace merasa sangat tertohok dengan ucapan Edward. "Dasar wanita arogan, kau bahkan hanya bisa membicarakan keburukan orang lain dibelakangnya." ucap Edward. "Harusnya kau mendengarkan ucapanku untuk mengabaikan berita sialan itu!" Grace menunduk. Debaran jantungnya tak terkendali. Ia merasa dimarahi oleh Edward, tapi ia merasa ia tidak berbuat salah yang fatal sehingga memancing emosi Edward. "Bukan bertindak seolah hanya hidupmu yang terusik karena hal itu." ujar Edward lagi. Grace terdiam cukup lama. Edward pun menatap Grace yang semakin menunduk. "Aku juga merasa terganggu. Tapi aku tidak berlebihan sepertimu. Lihat, beritanya sudah menghilang seiring berjalannya waktu."  "Maaf" ujar Grace dengan gemetar. Tatapan Edward yang mengintimidasi dan nada bicaranya yang datar membuat Grace menjadi takut dan merasa sangat bersalah. "Aku minta maaf, Ed." ucap Grace dengan sangat lembut sehingga terasa menggetarkan hati Edward. "Hanya kata maaf tidak akan mengubah segalanya. Aku mungkin bisa memaafkanmu, tapi aku tidak akan pernah bisa melupakan kesalahan yang kau buat, Grace."  "Ya, aku tau." "Aku paling benci pada orang yang suka menjelek-jelekkanku , dan menilai keburukanku."  Edward lantas menyeringai. "Tapi sayangnya, aku mencintaimu. Jadi kau beruntung, karena aku tidak bisa membencimu." Grace kembali terdiam. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia katakan. "Tapi, wajahmu yang ketakutan itu sangat menggoda. Aku jadi ingin menciummu." kini Edward menyeringai. "Edward." ucap Grace dengan matanya yang melotot. Edward hanya tertawa. "Jadi, apa kau memaafkanku?"  tanya Grace. "Sudah kubilang , aku tidak bisa membencimu." "Tapi itu juga salahmu. Kau menghilang, kukira kau kabur. Karena pemberitaan itu, aku menjadi terbebani oleh pertanyaan dan keinginan Ayah, Ibu, dan Daddymu." ujar Grace. "Dan bahkan kau mengaku kita sudah berpacaran pada Mommymu. Astaga, Ed" tambahnya. "Biarkan saja. Lagipula mereka semua setuju kita berhubungan. Dan bahkan sangat mendukung hal itu. Lalu kenapa kau masih tidak mau menerima cintaku?" tanya Edward kali ini dengan tatapan serius. "Aku sudah pun-"  "Berhenti bicara omong kosong, Grace." ucap Edward. ---- Grace merebahkan dirinya diatas kasur. Kini ia dengan posisi terlentang, menatap langit-langit kamarnya.  Cukup melelahkan hari ini setelah bertemu dengan Stefani. Juga kemunculan Edward yang mendadak. Tiba-tiba pintu terketuk, dan terdengar suara pintu terbuka. Grace masih tetap pada posisinya. Ia terlalu malas untuk sekedar menoleh siapa yang datang. "Grace" ucap Angelina dengan lembut. Ia lalu mendekati Grace dan duduk ditepi kasur. "Ada apa Bu?" tanya Grace . "Ibu hanya ingin melihat keadaanmu saja. Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya Angelina. "Baik, Bu" Grace lalu bangun dan duduk. "Kau sudah sangat mapan, Grace" ujar Angelina. "Ya, Ibu benar. Akhirnya aku bisa membuktikan aku mampu. Huh, tidak sia-sia aku belajar terus menerus." ucap Grace. "Kau benar. Tapi usiamu sudah 25 tahun. Kau sudah sangat mapan, dan kau juga cantik." Angelina mengelus-elus rambut putrinya. Grace hanya tersenyum. "Tapi tetap saja ada yang kurang." "Apa, bu?" Grace menaikkan satu alisnya. "Pasangan. Ibu ingin sekali, melihatmu bahagia. Kehidupanmu akan lengkap jika kau mempunyai seorang suami, Grace." ujar Angelina.  "Tapi Ibu tahu. Aku belum siap menikah." ujar Grace. "Apa yang membuatmu belum siap, nak? Apa lagi yang kau tunggu? Jika masalah pasangan. Ada Edward yang nyata-nyata menunjukkan cintanya padamu." "Edward, dia. Aku tidak pernah menceritakannya pada ibu."  Angelina kini tersenyum. "Grace, dengar. Edward sendiri yang menyampaikan pada Ayahmu jika dia sangat menyukaimu. Tapi kau selalu saja menolaknya. Mengapa kau menolaknya? Dia pria yang baik, tampan, dan mapan. Ibu yakin kau akan bahagia dengannya."  Grace menghela napas. Entah bagaimana caranya menjelaskan pada Angelina, bahwa Edward tak sebaik yang dipikirkan. Pria itu terlalu pintar untuk mencari muka didepan Ibu dan Ayahnya. "Grace, bukalah sedikit saja hatimu. Setidaknya, kau bisa mencoba sedikit dekat dengan Edward." ucap Angelina. Grace ingin sekali mengatakan pada ibunya mengenai semuanya. Tentang alasan mengapa ia selalu menolak Edward. Tentang segala sikap buruk Edward yang tak diketahuinya. Juga tentang hal yang selama ini menjadi alasan ia tidak ingin menikah. Tentang pria yang masih di nantinya saat ini. Namun Grace bingung harus memulai darimana, dan bagaimana. Segalanya terlalu rumit dan sulit dijelaskan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD