7. Adu Domba

1383 Words
"Cepat lepaskan, apa yang kamu pikirkan!" Ziya berusaha untuk melerai, sayangnya tubuhnya masih terlalu lemah dan kepalanya tidak bisa diajak bekerjasama. Membuatnya Ziya jatuh dari atas brankar dan mengakibatkan luka jahit di keningnya terbuka lagi. Rendy dengan segera melepaskan cengkeraman Reinan dari kerah bajunya. Berbalik meninjunya sebelum bergegas untuk membantu Ziya yang tampak kesakitan dengan perban di keningnya yang basah karena darah. "Lukamu kembali terbuka?" Rendy dengan sigap membopong tubuh ringkih Ziya untuk dia letakkan kembali di atas brankar. Sayangnya Reinan dengan cepat mengambil alihnya. Merebut Ziya dan menatap Rendy menggunakan tatapan tajamnya. Rendy yang melihat sikap permusuhan dari Reinan, hanya bisa berbalik badan dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresi yang ada di wajahnya sangat tidak terbaca. Ziya yang saat ini berada dalam gendongan Reinan, berniat ingin menghentikannya pergi. Tapi dia mengurungkannya dan memilih untuk diam. Berhadapan dengan sosok Reinan yang sulit ditebak pemikirannya, Ziya memilih untuk menyimpan energinya. Dia tidak boleh menggunakan perasaan apapun untuk saat ini. Demi kelancaran penyelidikannya, maka dia akan berkompromi. “Lain kali jangan terlalu dekat dengannya.” Reinan berkata dengan ekspresi datar, membantu menaikkan selimut hingga sebatas perut Ziya. “Kenapa kamu mulai bersikap melarang-larangku sekarang? Jangan katakan kalau kamu menyukaiku?” Ziya balik menatap kedua obsidian milik Reinan tanpa rasa takut atau segan, mencari celah dari jawaban yang diinginkannya. Jelas dia tidak berharap kalau Reinan akan berbalik menyukainya, namun jika hal itu memang benar-benar terjadi, maka dia akan bisa memanfaatkannya dengan lebih mudah. “Jangan terlalu percaya diri.” Reinan mencengkeram dagu Ziya dengan erat, membuatnya agak mendongakkan kepalanya. “Jangan membuat masalah untukku di masa depan. Ingatlah statusmu sebagai istriku, tidak semua pria bisa menyentuhmu tanpa izinku.” Ziya langsung meringis pelan setelah Reinan melepaskan pegangan tangannya dari dagunya. Rasa pusing di kepalanya masih belum sembuh, namun pria itu benar-benar tidak memahami kondisinya. Ziya tertawa ringan, meski dia masih memejamkan kedua matanya berusaha menahan sakit kepala yang tidak kunjung reda. “Jadi aku tidak boleh berdekatan dengan pria lain, sedangkan kamu sendiri bebas berkencan dengan wanita lain di luar sana?” Reinan yang semula berbalik badan hendak pergi dari ruang rawat Ziya kini menghentikan langkahnya. Tatapan matanya masih tajam, dia bisa melihat ekspresi tidak nyaman di wajah Ziya. Membuatnya berpikir untuk sejenak apakah dia sudah keterlaluan? “Berhentilah bersikap keras dan mengaturku. Aku tahu apa yang terbaik untukku. Lagi pula kita hanya menikah di atas kertas.” “Baguslah kalau kamu mengingatnya,” Ziya membuka matanya, menahan sakit dan menatap Reinan dengan berani. “pernikahan kita hanya di atas kertas. Hanya sebatas formalitas, tidak perlu saling mengatur atau mencampuri urusan pribadi. Mari bercerai saat waktunya tiba nanti.” Kedua mata Reinan menyipit, tangannya tanpa sadar mengepal. Entah mengapa dia tidak menyukai sikap keras dan berani yang ditujukan oleh Ziya padanya. Meski dulu dia juga tidak menyukai saat istrinya selalu bersikap seperti orang pengecut, namun saat melihat istrinya dekat dengan pria lain dia merasa kesal. Dia juga tidak senang melihat ekspresi Ziya yang seolah menantangnya untuk segera bercerai. “Bermimpilah!” Reinan segera beranjak pergi dari ruang rawat Ziya. Membanting pintu hingga berbunyi cukup nyaring, membuat Ziya refleks memegangi kepalanya yang kembali berdenyut perih. “b******n, Reinan pria b******k kurang ajar. Tunggu saja, ini masih belum ada apa-apanya. Ketika saatnya nanti, aku akan membuatmu menyesal telah melakukan semua ini.” Kedua tangan Ziya mencengkeram selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dengan erat. Tatapannya jelas sangat jauh berbeda dengan sebelumnya saat bersama Reinan. Tidak ada emosi sama sekali, terlalu dalam hingga tidak bisa ditafsirkan arti dari tatapannya. Suara ponsel yang berdering beberapa kali membuat lamunan Ziya pecah. Dia menoleh ke arah nakas di samping ranjang tempatnya dirawat. Mengambil tas untuk merogoh ponsel miliknya dan menyipitkan mata saat melihat id penelpon. Menghela napas panjang, Ziya akhirnya mengangkat panggilan telepon tersebut. “Kenapa?” “Kapan kamu akan pulang?” Ziya terbatuk pelan, dia selalu ingin menghindari pertanyaan ini. Karena untuk saat ini dia masih tidak bisa pulang. Misinya masih belum membuahkan hasil apapun. Dia tidak akan bisa merasa tenang sebelum bisa membalaskan dendam untuk saudarinya. Sekali pun mereka belum pernah bertemu selama hidupnya, namun tidak bisa dipungkiri kalau perasaan sayanyanya tulus. Bahkan di hari ketika saudarinya mengalami kecelakaan jatuh ke laut, dia bisa merasakannya. Ikatan batin antar saudara kembar hingga membuat dadanya terasa sesak. Namun semua terlambat saat dia akhirnya berhasil menemukan saudarinya dalam kondisi tak bernyawa. “Tidak sekarang, masih ada hal yang harus kulakukan.” Ziya berkelit, dia tentu saja tidak memberitahukan hal ini pada kedua orang tuanya. Jika mereka mengetahuinya, jelas dia tidak akan diijinkan untuk turun tangan seperti ini karena akan terlalu berbahaya. “Kamu bahkan sudah lulus kuliah, jangan terus bermain-main di luar sana. Cepat pulang untuk mewarisi bisnis keluarga. Mama ingin agar ayah kamu segera pensiun dini dan beristirahat sambil liburan keliling dunia.” Ziya yang mendengarnya hanya bisa menghela napas panjang. Andai saja orang tuanya tau kalau dia akhirnya berhasil menemukan saudari perempuannya, akankah mereka merasa senang? Mungkin dia bisa berbagi untuk saling mewarisi harta keluarga yang dia sendiri enggan menjalankannya. Tapi menyesal pun sia-sia untuk sekarang, itu semua tidak mungkin. Meski dia berulang kali berharap semoga orang yang dia temukan itu bukanlah saudari kembarnya. Dia masih berharap semoga saudarinya masih hidup dengan sehat di luar sana. “Bangun Ziya, jangan terus larut dalam imajinasi!” Ziya merutuki dirinya sendiri karena terus larut dalam kesedihan. “Ma, Ayah masih sehat dan muda. Aku yakin Ayah masih mampu memimpin perusahaan lebih baik dari pada aku yang masih bocah ingusan ini. Aku masih ada urusan di sini, dadah Mama Sayang.” Ziya memberikan ciuman jarak jauh sebelum menutup panggilan telepon dari mamanya. Bukannya dia tidak ingin pulang ke rumah. Namun jika dia pulang sekarang, maka Ziya akan sulit untuk bisa menemukan bukti yang dia inginkan. Dia tidak akan lega sebelum turun tangan untuk menemukan buktinya sendiri dan memastikan pelaku yang telah membunuh saudarinya akan mendapat balasan yang setimpal. Suara pintu yang terbuka membuat Ziya menyipitkan matanya. Melihat siapa yang datang, wanita itu hanya bisa menghela napas panjang. Merasa cukup muak untuk meladeni sosok yang ingin sekali dia hindari untuk saat ini. Kondisinya sedang buruk dan sakit kepalanya masih menggerogoti pikirannya, namun biang masalah dari semua ini malah kembali datang untuk mencari masalah dengannya. “Kenapa kamu datang? Apa yang sebelumnya masih kurang untukmu?” Ziya sama sekali tidak ingin menunjukkan sisi dirinya yang lemah, berlagak kuat dan memaksakan dirinya untuk beranjak duduk. Bersandar pada sandaran brankar yang agak dinaikkan ke atas. Wanita itu mendekat, langkah kakinya pelan dan tatapan matanya penuh dengan ejekan. Melihat kondisi menyedihkan dari Ziya yang ada di depannya, meski masih belum bisa memuaskan rasa kesalnya, namun ini jauh lebih baik. “Kukira hubungan kalian spesial, tapi nyatanya apa? Reinan bahkan tidak segan untuk mendorong dan melukaimu demi menolongku.” Senyum penuh kemenangan muncul di bibir Kezia, dia saat ini mengenakan pakaian yang sama dengan Ziya. Mereka sama-sama pasien di sini. Bedanya kondisi Kezia tampak sehat bugar, sedangkan Ziya terlihat menyedihkan dengan perban yang melilit kepalanya. Ziya memutar bola matanya kesal, sayangnya apa yang dikatakan oleh Kezia memang benar adanya. Reinan si pria bodoh dan buta itu, suatu saat akan dia buat menyesal sampai mati. “Tidak peduli bagaimana sikapnya padaku, lagi pula dia tetap suamiku. Atau kamu benar-benar bertekad untuk memungut suami orang? Ah aku salah, maksudku kamu ingin merebut suami orang?” Ziya memasang wajah tidak bersalah. Padahal Ziya aslinya sudah merasa sangat muak, dia ingin segera beristirahat dengan tenang. Drama perebutan pria ini, sama sekali tidak cocok dengan gayanya. “Kamu, cepat atau lambat Reinan akan segera menceraikanmu!” Kezia menatap Ziya dengan tatapan kesal. “Aku menantikannya. Lagi pula, perceraian kamu bukan menjadi urusanmu untuk ikut campur. Sadarilah posisimu.” Kezia lagi-lagi terpancing oleh omongan Ziya. Dia tidak terima diperlakukan dan ditatap dengan remeh oleh Ziya. Karena dia yakin, posisi sebagai nyonya Zacharia akan dimiliki olehnya cepat atau lambat. Tangan Kezia terulur untuk menampar wajah Ziya, dia rupanya telah melupakan kejadian beberapa waktu yang lalu. “Sepertinya kamu masih belum belajar dari pengalaman.” Ziya dengan mudah menahan tangan Kezia, lalu menghempaskannya dengan sekuat tenaga yang masih dia miliki. Membuat Kezia jatuh tersungkur di lantai. “Kezia!” “Reinan, aku baik-baik saja. Jangan salahkan Zea.” Kezia menatap Reinan dengan pandangan berkaca-kaca. Sosoknya tampak menyedihkan dan rapuh. “Berhenti membuat masalah untukku Zea!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD