6. Perseteruan dengan Rendy

1149 Words
Tidak butuh waktu lama Ziya tertidur, hingga mobil Rendy tiba di depan rumah sakit. Dia menoleh ke arah Ziya, memanggilnya pelan agar mereka bisa segera masuk ke rumah sakit, sayangnya tidak ada balasan dari Ziya. Rendy sedikit mengerutkan keningnya, mendekat dan menepuk pipi Ziya beberapa kali untuk memastikan. Tetap tidak ada respon. Hal itu membuat Rendy dengan sigap keluar dari mobilnya dan bergegas membukakan pintu mobil untuk Ziya. Tanpa banyak basa-basi segera membopong tubuh Ziya tanpa kesulitan sama sekali. Tidak ada ekspresi di wajahnya, memutuskan untuk menolong Ziya juga hanya karena sikap impulsifnya. Tidak ada maksud apapun. "Rendy, apa yang sudah kau lakukan pada istriku?" Saat baru saja memasuki ruang gawat darurat dengan menggendong tubuh Ziya yang tidak sadarkan diri, langkahnya terhenti. Reinan yang menghentikannya, membuat Rendy merasa agak tidak sabaran saat melihat tindakannya. "Minggirlah, dia butuh pertolongan." Rendy kembali hendak melangkahkan kakinya, namun Reinan tidak mau melepaskannya dan menahan pundaknya. "Apa maksudmu melakukan semua ini?" "Apa kamu buta? Karena siapa dia sampai tidak sadarkan diri di kamar mandi dalam kondisi kening berdarah?" Tatapan Rendy menajam, berlalu begitu saja dari hadapan Reinan. "Urus saja wanitamu." Reinan terdiam selama beberapa saat. Melihat punggung Rendy berlalu dari hadapannya, membuat Reinan mengepalkan tangannya. Dia merasa heran dengan perubahan sikap Rendy yang terlalu aneh. Karena pria itu biasanya tidak begitu peduli dengan wanita mana pun, bahkan tidak pernah mau repot-repot mencampuri urusan orang lain di hidupnya. "Reinan, kepalaku terasa pusing. Aku ingin pulang." Suara lembut dari Kezia membuyarkan lamunan Reinan. Dia menoleh ke arah Kezia yang tampak pucat dan sempat muntah beberapa kali sebelumnya. Dia akhirnya memalingkan wajahnya dari sosok Rendy dan Ziya yang sudah hilang dari pandangannya setelah memasuki ruang perawatan. Reinan berjalan dengan cepat, membuat Kezia merasa agak kesulitan untuk mengikuti langkah kakinya. "Reinan, bisakah kamu lebih pelan? Kakiku masih terasa lemas." Suara Kezia yang lembut dan agak mendayu membuat Reinan menghentikan langkahnya. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu langkah Kezia agar dia tidak refleks berjalan meninggalkannya seperti tadi. "Reinan, apakah tidak masalah kamu membiarkan Zea bersama dengan Rendy hanya berduaan saja?" Pertanyaan dari Kezia tentu saja kembali mengusik pikiran Reinan yang berusaha mengenyahkan perasaan tidak nyaman dalam dirinya. Dia menoleh pada sosok Kezia yang saat ini sudah berada di dalam mobilnya. Tatapannya sulit untuk bisa diartikan. "Jangan membicarakan tentang mereka." "Tapi, aku minta maaf kalau karena aku mungkin sudah membuatmu bertengkar dengan Zea. Aku benar-benar tidak bermaksud. Aku juga tidak berniat untuk menyalahkan Zea atas apa yang terjadi baru saja, meskipun hal itu sempat membuatku ketakutan. Kamu jangan terlalu marah padanya oke. Biarkan aku meminta maaf padanya nanti." Melihat ekspresi sedih di wajah Kezia, Reinan yang pada dasarnya masih merasa kesal hanya bisa menghela napas panjang. “Berhentilah membicarakannya. Ayo segera kuantar pulang.” Melihat ekspresi kesal di wajah Reinan, Kezia mau tidak mau hanya bisa menurut dan mengikuti langkah kaki pria itu. Meski masih ada sedikit rasa antisipasi mengenai hubungan antara Reinan dengan Ziya. Sekali pun hubungan di antara mereka tidak begitu jelas dan mencolok, tapi instingnya mengatakan kalau hal itu tidak akan semudah dulu. Dia harus segera bertindak sebelum terlambat dan berakhir menyesalinya. “Reinan, apa kamu marah padaku?” Kezia sedikit menarik lengan kemeja Reinan dari samping, melihat ekspresi pria itu yang buruk hingga membuat suasana di dalam mobil terasa semakin canggung dan tidak nyaman. Reinan dengan spontan melepaskan pegangan tangan Kezia dari kemejanya. Dia tidak ingin berbicara apapun, namun wanita di sampingnya ini terus saja bertanya hingga membuatnya merasa semakin kesal. “Tidak, sebentar lagi kita akan sampai.” “Reinan, aku ingin makan sesuatu. Bisakah kamu menemaniku? Setelah kejadian tadi, aku takut tidak memiliki banyak selera makan.” Kezia menundukkan kepalanya, terlihat jelas kalau dia tampak ketakutan dan menyedihkan pada ekspresinya. "Aku sedang tidak ingin," "Reinan, aku tidak ingin masalah ini sampai diketahui oleh orang tuaku. Jadi, bisakah kamu menemaniku?" Meski ada rasa kesal dalam dirinya, namun Reinan menahannya. Bagaimana pun dia tidak ingin masalah ini terus melebar sampai kemana-mana. Dia juga tidak bisa mengabaikan Kezia setelah semua yang sudah terjadi pada saat itu. Pada akhirnya Reinan hanya bisa menganggukkan kepalanya. Membawa Kezia menuju ke arah restoran yang biasa mereka kunjungi tanpa banyak bertanya. Melihat arah mobil yang dibawa Reinan, senyum di bibir Kezia terangkat. Tidak peduli seberapa enggan atau mau bagaimana pun suasana hati Reinan, dia selalu bisa membuat pria ini memenuhi keinginannya. Cepat atau lambat, dia juga pasti bisa membuat pria ini menjadi miliknya. Hanya untuknya. “Reinan, kenapa kamu tidak memakan makananya? Atau kamu ingin memesan yang lain?” Kezia melihat stik daging di piring Reinan masih utuh. Sejak tadi pria itu hanya melihat ponselnya beberapa kali, terlihat sekali seperti pikirannya sedang tidak ada di tempatnya. “Cepatlah makan, masih ada banyak hal yang harus kulakukan.” Reinan menjadi semakin tidak sabaran, namun dia masih mencoba menahan diri agar tidak membentak Kezia. Melihat Reinan yang semakin berekspresi masam, Kezia yang sejak tadi juga masih belum memakan makanannya menjadi semakin enggan. Dia menutupi mulutnya saat mencoba memasukkan sesuap daging ke mulutnya. Bayangan aroma toilet dan air toilet yang sudah masuk ke dalam mulutnya membuat wanita itu merasa mual tanpa bisa ditahan. Reinan yang tidak sabaran sudah berdiri, dia berniat untuk kembali ke rumah sakit dan memastikan apa yang akan dilakukan dua orang itu tanpa dirinya. Hanya sekedar memastikan. Namun, Kezia juga ikut berdiri sambil menutupi mulutnya. Wanita itu tampak berlari menuju kamar mandi. Reinan terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya dia menghela napas panjang dan menyusul Kezia ke kamar mandi untuk memastikan keadaannya. ** Kedua kelopak mata itu mengerjap selama beberapa saat. melihat langit-langit ruangan yang berwarna putih. Mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, terdapat seseorang yang sedang duduk dengan sebelah kakinya diangkat dalam posisi bersandar pada sofa. Ingatan Ziya perlahan memutar kembali memori sebelum dia tidak sadarkan diri. Dilihat dari ruangan yang ditempatinya saat ini, sepertinya dia ditempatkan di ruang VIP. Ada selang infus yang terpasang pada punggung tangan sebelah kirinya. Memegang kepalanya yang masih terasa berdenyut pusing, rupanya telah terlilit perban untuk menghentikan pendarahannya. “Reinan sialan, pria itu benar-benar b******n!” saat ini Ziya hanya bisa mengumpat Reinan berulang kali dalam benaknya. Apa lagi rasa pusing di kepalanya masih belum mereda yang membuatnya kesulitan terbangun karena merasa seakan dunianya bergetar saat memaksakan diri untuk duduk. “Sudah bangun?” Ziya hanya bisa menganggukkan kepalanya sesaat, namun rasa pusing itu malah terasa kembali. Membuatnya hanya bisa mengerutkan keningnya tidak nyaman. “Biar kupanggilkan dokter dulu.” “Tidak perlu, bisa tolong bantu aku untuk duduk?” Ziya tidak bersikap terlalu berlebihan, karena sakit di kepalanya terlalu kuat hingga membuatnya pusing tiap kali menggerakkan kepalanya. Dia sangat membenci sakit yang seperti ini. Rendy baru berjalan tiga langkah hendak keluar, dia segera menghentikannya dan berbalik mendekati Ziya. Tanpa banyak tanya langsung membantunya duduk dengan perlahan. Tak lupa menempatkan bantal di punggung Ziya agar lebih nyaman untuknya. Posisi mereka saat ini memang cukup ambigu jika dilihat dari belakang, namun siapa yang peduli. “Terima kasi_, Reinan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD