“Urus saja masalahmu sendiri, jangan mencampuri urusanku. Pergilah, jangan mengganggu istirahatku.” Ziya benar-benar muak, dia kembali membaringkan tubuhnya.
Kepalanya terasa semakin berdenyut-denyut. Dia memutuskan untuk berpura-pura buta dan tuli. Memejamkan kedua matanya dan mengganggap sepasang pria dan wanita di dalam ruangannya seperti anjing yang menggonggong. Enggan untuk berdebat karena energinya benar-benar sudah habis untuk disia-siakan oleh dua orang yang tidak relevan.
Reinan membantu Kezia berdiri dengan hati-hati. Ingin kembali memarahi Ziya, namun saat melihat Ziya telah memejamkan kedua matanya dan tidak mau peduli, dia hanya bisa mendengus dan mengajak Kezia untuk keluar dari ruang rawat istrinya.
Entah mengapa, Reinan masih merasa kesal tiap kali mengingat bagaimana Rendy yang selama ini terkenal sangat dingin dan tidak peduli pada wanita mana pun malah menaruh perhatian pada istrinya. Dia jelas tidak mengharapkan hal itu. Meski dia tidak menyukai Zea, namun dia tidak ingin memberikan wanita itu pada pria lain. Tidak peduli meski pun itu temannya sendiri.
“Reinan, aku minta maaf. Ini semua salahku, seharusnya aku tidak datang ke ruang rawat Zea dan membuatnya marah. Bagaimana pun dia adalah istrimu, wajar saja kalau dia marah karena kamu lebih membelaku dari pada dia. Kamu jangan menyalahkannya.” Kezia mengusap sudut matanya. Menundukkan kepalanya dan bersikap menyedihkan di depan Reinan.
Reinan yang saat ini sedang berada dalam suasana hati yang buruk menatap ke arah Kezia dengan tatapan tal kalah tajamnya. Lalu dia melepaskan pegangan wanita itu dari lengannya. Membuat Kezia mendongak dan terkejut saat menatapnya.
“Karena kamu sendiri yang mengatakan seperti itu, maka aku akan pulang sekarang. Biar supir yang akan mengantarmu pulang, masih ada banyak hal yang harus kulakukan.” Reinan dengan mudah pergi meninggalkan Kezia begitu saja.
“Reinan, aku …” terlambat, Reinan berlalu dengan langkah kakinya yang lebar pergi meninggalkan Kezia begitu saja. Membuat Kezia yang tertinggal jauh dan menatap punggung tegapnya hanya bisa membuka bibirnya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Dia benar-benar pergi?”
Kedua tangan Kezia mengepal, dia bahkan sampai membuang tas yang ada di lengannya ke lantai. Jelas tidak menyangka kalau ucapannya yang dimaksudkan untuk membuat Reinan merasa bersalah padanya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
"Reinan, tunggu!" Tidak peduli meski Kezia memanggilnya, Reinan tetap berjalan menjauh dan pergi meninggalkannya begitu saja.
"Zea, wanita itu tidak bisa dibiarkan begitu saja." Kedua tangan Kezia mengepal. Dia tidak pernah merasa sekesal ini sebelumnya.
Sekalipun sikap Reinan selama ini selalu suam-suam kuku padanya. Namun ini adalah kali pertama pria itu bersikap tidak peduli dan mengabaikannya hanya karena wanita lain, terutama Zea. Karena di hadapan wanita lain, dia selalu berhasil memonopoli Reinan. Tidak peduli berapa banyak wanita yang selama ini berusaha untuk naik ke ranjang Reinan, dia selalu bisa mengontrolnya. Tapi sekarang, wanita itu hanya bisa mengepalkan kedua tangannya dengan tatapan mata yang tajam.
Reinan sudah masuk ke dalam mobilnya. Dia memejamkan kedua matanya dan meninju setir mobil. Merasa kesal pada dirinya sendiri karena telah bersikap aneh seharian ini.
"b******k!"
Selama ini belum pernah ada yang berhasil membuat suasana hatinya begitu berantakan seperti ini. Dia tidak suka saat dia tidak bisa mengendalikan emosi dan dirinya sendiri. Perasaan ini membuatnya menjadi sosok yang berbeda dan tidak terkontrol.
Reinan menyalakan mobilnya, keluar dari area parkir rumah sakit. Beruntung jalanan yang dilintasinya tidak begitu padat merayap, membuat pria itu bisa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat untuk melampiaskan emosi tidak jelas yang dirasakannya.
Tidak membutuhkan waktu lama, hanya dua puluh menit baginya untuk sampai di klub malam tempat tongkrongannya saat dia sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Reinan tidak perlu berbasa-basi langsung menuju ke ruang VIP, rupanya di dalam sana sudah ada teman-temannya yang sedang asik bermain kartu dan minum minuman dengan ditemani oleh beberapa gadis cantik.
“Kau datang ke sini? Kukira kamu akan absen karena lebih memilih untuk menemani kecantikanmu.” Andre yang cukup frontal mengatakannya dengan senyum mengembang, tidak memperhatikan suasana hati Reinan yang sedang buruk.
“Menemani kecantikannya, siapa itu?” Wendy, salah satu sahabat Reinan bertanya dengan penuh tanda tanya. Karena sebelumnya dia tidak ikut dalam acara gala dinner dan tidak mengetahui apa yang terjadi pada Reinan sebelumnya. “Lalu, bukankah kamu sebelumnya berkata akan pulang ke rumah orang tuamu mala mini Reinan?”
Reinan yang ditodong dengan banyak pertanyaan tidak berniat untuk menjawabnya sama sekali. Dia lebih memilih untuk duduk dan menuangkan whisky ke dalam gelas sloki dan menegaknya dalam sekali teguk. Menikmati sensasi terbakar di tenggorokannya dan kembali menuangkan botol whisky sebanyak tiga kali berturut-turut.
Wendy yang melihat hal tersebut mengerutkan kening, dia menyenggol lengan Andre untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada Reinan. Sedangkan Andre yang ditanya hanya menaikkan kedua bahunya, pertanda bahwa dia tidak mengetahui apapun.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi. Saat di acara gala dinner tadi, Reinan datang bersama dengan istrinya, setelah itu dia malah pergi meninggalkan istrinya sendirian dan lebih memilih bersama dengan Kezia. Tidak lama setelah itu sesuatu terjadi, istri Reinan bertengkar dengan Kezia. Reinan marah karena istrinya memasukkan kepala Kezia ke dalam kloset kamar mandi. Kudengar mereka berdua sekarang sedang berada di rumah sakit.” Andre berbisik pelan di samping Wendy, agar pembicaraannya tidak sampai didengar oleh Reinan.
Wendy yang mendengar hal itu seketika mengerutkan keningnya heran. “Bukankah mereka tidak akrab sebelumnya? Kenapa Reinan bisa sampai seperti ini?”
“Entahlah, mungkin saja Reinan sudah memiliki rasa dengan istrinya dan sedang bertengkar? Atau dia marah karena Zea sudah mencelakai Kezia?” Andre hanya menyimpulkan secara acak dan tidak mau berpikir lebih, lagi pula itu bukan urusannya.
“Mungkin saja.” Wendy menatap Reinan selama beberapa saat, melihat pria itu sudah menghabiskan sebotol whisky dalam waktu yang singkat dan hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Laki-laki jika sudah berhubungan dengan perasaan memang mengerikan.”
“Kamu benar, oleh karena itu aku lebih memilih untuk melajang dan menikmati waktuku untuk bersenang-senang dengan banyak wanita cantik.” Andre dengan tidak berdosanya menarik seorang wanita di sampingnya, dia mencium pipi wanita itu dan tertawa tanpa beban.
“Oi Rendy, kamu mau kemana? Ini bahkan baru lewat jam 12 malam.” Andre berteriak keras saat melihat Rendy yang memang jarang berbicara pergi begitu saja setelah menatap Reinan dengan tatapan tajam.
Namun sebelum Rendy keluar dari ruangan tersebut, tangannya terlebih dahulu dicekal oleh Reinan. Tatapan mereka berdua seketika beradu, jelas ada permusuhan yang hanya dimiliki antar pria di antara keduanya.
“Hei hei, ada apa ini? Kenapa kalian berdua terlihat tidak baik-baik saja?” Andre yang tidak tahu apa-apa menatap heran pada sosok Reinan dan juga Rendy yang saat ini tampak tidak akur satu sama lain. Padahal keduanya biasanya tidak pernah terlibat dalam perseteruan apapun.
“Lepas!” Rendy tidak segan untuk mengibaskan tangan Reinan yang menahannya dengan kasar.
Reinan yang sudah setengah dipengaruhi oleh alkohol menatap Rendy dengan tatapan penuh dengan permusuhan. Dia berdiri dan mencengkeram kerah kemeja yang dipakai oleh Rendy, tanpa aba-aba Reinan secara tiba-tiba meninju Rendy di bagian pipi sebelah kirinya. Hal itu membuat beberapa gadis yang ada di dalam kotak VIP tersebut menjerit ketakutan, sedangkan teman-teman Reinan dan Rendy juga bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
“Reinan hentikan, apa yang sebenarnya terjadi?” Andre mendekati Reinan dan berusaha menahannya yang ingin kembali menyerang Rendy, namun dia dengan segera ditepis oleh Reinan hingga terhempas di sofa.
“b******n!” Rendy tidak diam saja, dia bangkit dan balas meninju Reinan.
Adegan baku hantam keduanya berlangsung selama beberapa saat. Teman-teman Reinan berusaha memisahkan mereka berdua meski ada beberapa dari mereka yang ikut terkena serangannya. Andre berusaha menahan Rendy dengan dibantu oleh Edgar. Sedangkan Rendy dibantu oleh Wendy.
“Jangan berani ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain.”
Rendy tidak mengatakan apapun, dia hanya meludah ke lantai saat merasakan amis di sudut bibirnya. Pergi begitu saja dengan tatapan tajam dan melepaskan genggaman Wendy yang menahan tubuhnya. Menimbulkan banyak tanda tanya di benak semua orang dalam kotak VIP.
Tidak ada yang berani bertanya pada Reinan apa yang sebenarnya telah terjadi. Mereka membiarkan Reinan melanjutkan meminum whisky hingga dia benar-benar mabuk dan tidak sanggup lagi untuk mentolorirnya.