Duduk di dalam kamarnya, Ziya menatap pintu kamar mandi dengan pandangan kosong. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Benang kusut di pikirannya masih belum terurai.
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi membuyarkan lamunannya. Ziya berdiri, berjalan menuju balkon kamar saat melihat ada yang menghubunginya.
"Kapan kamu akan pulang?"
Suara melengking di telinga Ziya membuatnya menjauhkan ponsel miliknya selama beberapa saat. Meski sudah menduga kalau dia tidak akan lepas dari omelan, tapi tetap saja Ziya harus menyiapkan mentalnya.
"Tahun depan, aku akan pulang tahun depan."
"Ziya, jangan bermain-main di luar sana. Kamu tidak tahu apa yang terbaik untukmu."
"Ma, aku tahu. Nanti kuhubungi lagi. Dah Mama."
Setelah mematikan teleponnya, Ziya bisa merasakan sepasang lengan kekar tengah memeluknya dari belakang. Untuk sesaat dia merasa kaku di sekujur tubuhnya. Napas hangat Reinan menyapu lehernya. Aroma sabun dan shampo yang wangi memenuhi hidungnya.
"Apa yang mau kamu lakukan?"
Suhu tubuh panas milik pria itu terasa hangat menyelimuti punggungnya. Beberapa buliran air dari rambutnya yang basah jatuh mengenai pipi Ziya. Membuat Ziya ingin melepaskan pelukan Reinan darinya, namun pria itu tidak bergerak sedikit pun. Tidak peduli seberapa besar tenaga yang dikeluarkan Ziya untuk lepas darinya.
"Siapa yang baru saja menelpon?"
"Sejak kapan kamu menjadi begitu usil dan ikut campur urusan orang lain?"
Sudut bibir Reinan naik ke atas. Benar saja, sesuai dugaannya. Awalnya dia hanya berniat untuk memastikannya. Ternyata memang sangat jauh berbeda. Hanya saja dia tidak mengetahui motif tersembunyi yang dimiliki perempuan di depannya saat ini. Tidak masalah, dia masih memiliki banyak waktu untuk bermain.
"Apa kamu merasa keberatan jika aku ikut campur?" Zoya yang tidak berniat menolehkan kepalanya mau tidak mau menoleh ketika ujung jari Reinan menarik rahangnya agar menghadap ke arahnya.
Dalam posisi seperti ini, dia terkadang merasa bingung harus mengambil sikap bagaimana. Haruskah dia berpura-pura menjadi wanita penurut yang lemah lembut dan tersenyum manis di depan pria ini? Ataukah dia tidak perlu berusaha untuk menyenangkan pria menakutkan ini dan bersikap seperti biasanya. Toh antara Zea dan Reinan sebelumnya tidak memiliki banyak interaksi, seharusnya sikapnya sekarang tidak akan banyak mempengaruhi hubungan mereka.
"Apa yang kamu pikirkan? Kemana tatapanmu saat berhadapan denganku hmm?"
Ziya agak meringis sakit saat Reinan mencengkeram rahangnya lebih kuat. Dia memegangi tangan Reinan agar melepaskannya, tidak bisa menyembunyikan ekspresi kesal di wajahnya. Dari atas kepala sampai bawah, penampilan pria ini memang mendapat poin tinggi. Tapi jika dibandingkan dengan sikap dan perilakunya, sangat minus.
Ziya mengumpat dalam hati dan merutuki Reinan yang dinilai sangat kasar pada seorang wanita. Tidak terlihat seperti pria bertanggung jawab dan seenaknya. Kenapa saudarinya dulu mau menikah dengan pria yang memiliki kelainan perilaku seperti ini? Bukankah Zea dulu akan sangat menderita dan banyak menderita penghinaan di rumah ini?
"Kenapa kamu sangat kasar sebagai laki-laki?" Zoya menggunakan lututnya untuk memutar badannya dan ingin menendang Reinan. Sayangnya gerak Reinan cukup lincah dan berhasil menangkap kakinya.
"Lepaskan!"
"Kamu rupanya sangat bersemangat, Zea. Benarkah kamu Zea?" Reinan membisikkan namanya di samping telinga Ziya. Membuat gadis itu untuk sesaat melebarkan pupil matanya.
"Tidak bisakah kamu melihat dengan jelas siapa aku? Haruskah kita pergi ke dokter spesialis mata?" Ziya dengan berani menatap mata sehitam obsidian milik Reinan. Tidak ada rasa takut atau gentar sama sekali dalam tatapannya.
"Baik, apa ada sesuatu yang membuat sikapmu berubah drastis dalam semalam?"
Ziya mendengus sambil tertawa pelan. "Jangan mengatakan seolah kamu benar-benar mengenalku. Kamu pikir bagaimana hubungan kita selama ini? Aku, hanya merasa lelah menjadi wanita lemah lembut yang mudah ditindas dan diremehkan semua orang. Selalu dicap sebagai istri tak dianggap yang memanjat ranjang orang kaya untuk naik kelas sosial."
Reinan terdiam selama beberapa saat, memperhatikan ekspresi di mata Ziya dengan sungguh-sungguh. Apa yang tertanam di wajah wanita ini, setiap perkataannya menunjukkan dengan jelas bahwa dia tidak berbohong. Hal yang membuat Reinan sekali lagi ragu. Mana yang harus dia percayai.
"Bagus, sebagai nyonya muda Zacarias tidak semua anjing dan tikus bisa mengolok-olokmu. Jika pun ada, hanya aku yang berhak melakukannya."
"b******n!"
Reinan menyipitkan matanya begitu mendengar umpatan ringan yang keluar dari bibir tipis Ziya. Selama ini tidak ada satu orang pun yang berani mengumpatnya secara terang-terangan seperti ini.
"Kamu berani mengumpatku?"
"Kamu hanya salah dengar, aku tidak mengatakan apapun."
"Bersiaplah, aku tahu wanita membutuhkan waktu lama untuk berdandan. Jangan mempermalukanku." Reinan akhirnya melepaskan cengkeramannya dari rahang Ziya dengan agak kasar. Dia berbalik pergi meninggalkan Ziya di balkon. Ada seringai tipis yang muncul di bibirnya. Perubahan wanita ini, membuatnya merasa tertantang untuk mengungkap topeng tersembunyi di balik sikap istrinya.
"Menarik. Jangan mengecewakanku."
Ziya di belakang Reinan perlahan mengepalkan kedua tangannya. Jelas sekali ada emosi rumit yang muncul di matanya saat menatap punggung tegap pria itu yang tampak sangat arogan. Sikap khas seorang tuan muda yang suka meremehkan orang lain. Tuan muda yang selalu berdiri di puncak hierarki dan selalu memandang rendah ke bawahnya.
Memejamkan matanya, Ziya menenangkan kembali dirinya. Semakin sering bertemu dengan pria ini, semakin kuat juga dugaan Ziya bahwa kematian saudarinya ada hubungannya dengan pria ini. Entah itu terjadi secara langsung atau tidak langsung. Jelas pria ini menjadi sebab Zea sampai mengalami kecelakaan itu. Bukannya tidak mungkin dalam sebuah keluarga dengan latar belakang kuat untuk memiliki beberapa konflik mendalam.
***
Ketika pintu mobil dibukakan oleh Reinan, kaki jenjang Ziya dengan balutan heels berwarna merah maroon yang senada dengan pakaiannya turun dari mobil. Meski belum keluar sepenuhnya, Ziya dapat merasakan banyaknya tatapan mata yang tertuju ke arah mereka. Tidak sedikit yang merasa penasaran. Bagaimana pun jika dia tidak salah, ini adalah kali pertama mereka keluar bersama sebagai sepasang suami istri.
Menyambut uluran tangan Reinan, keluar dari mobil sepenuhnya dan bersanding dengan Reinan. Sosok tuan muda yang menjadi daya tarik di kalangan sosialita kelas atas. Sosok dengan latar belakang kelas sosial yang tinggi, memimpin beberapa perusahaan raksasa dan berkontribusi besar terhadap p********n pajak tahunan ke negara yang nominalnya cukup fantastis.
Ziya beralih melingkarkan tangannya pada lengan Reinan. Berjalan beriringan, tampak begitu serasi dilihat dari sisi mana pun. Meski begitu, tak jarang dari beberapa orang yang mereka lewati merasa heran dan beberapa memandangnya dengan tatapan mata tajam.
Ziya sama sekali tidak peduli dengan beragam tatapan yang menusuknya. Mereka semua tidak penting baginya. Dia hanya mengikuti Reinan datang ke acara ini. Mungkin dia juga bisa sedikit meningkatkan pencariannya dan mendapatkan reputasi untuk menjangkau lebih banyak orang yang memiliki hubungan dengan saudarinya dulu. Meski untuk mendapat petunjuk dari kejadian itu sangatlah sulit. Tapi dia tidak ingin menyerah.
"Reinan,"
Langkah kaki mereka terhenti, suara lembut yang terdengar halus dan ada kesan sedikit centil. Ziya tanpa harus menolehkan kepalanya sudah bisa menebak skenario apa yang akan terjadi setelah ini.
"Akhirnya kamu datang. Ayo, Andre dan Rendy sudah menunggu di sana." Tangan halus dan putih itu meraih jari-jari kuat milik Reinan. Menariknya menjauh dan berjalan ke arah yang dimaksudkannya.
"Tunggu di sini."
Genggaman tangan Ziya terlepas. Melihat punggung Reinan secara bertahap menjauh darinya. Sejak awal, mungkin dia sama sekali tidak kasat mata. Atau mungkin wanita tadi memang buta. Lebih dari semua itu, Reinan adalah pria bodoh yang meninggalkannya demi wanita lain.
"b******n!"