3. Hampir Ketahuan Menyusup

1134 Words
Saat keluar dari kamar mandi, Reinan sudah tidak ada di dalam kamar. Itu jauh lebih baik baginya dari pada harus berada dalam ruangan yang sama dengannya. Ziya segera berganti baju dengan mengenakan rok di atas lutut yang dipadukan dengan tanktop dan cardingan berwarna broken white. Melihat kamar sudah rapi dan sprei telah diganti dengan yang baru, dia hanya bisa mendengus sinis. Ekspresinya tampak suram ketika melihat jejak kemerahan di lehernya. Tidak peduli bagaimana dia menggosoknya, malah semakin merah jadinya. Alhasil Ziya hanya bisa mengakali jejak yang ditinggalkan Reinan dengan menggunakan foundation untuk menyamarkannya. Ketukan pada pintu kamarnya membuat Ziya sadar kembali dari lamunannya. Dia berjalan keluar dan melihat asisten rumah tangga menyuruhnya makan. Sepanjang langkah kakinya menuruni anak tangga, Reinan mulai memperhatikannya. Ziya berusaha sebisa mungkin menahan amarah dan rasa bencinya pada pria itu dengan menunjukkan senyum manis di bibirnya. “Nanti malam, ikut pulang ke rumah orang tuaku.” Perkataan Reinan yang tiba-tiba membuat senyum di bibir Ziya perlahan naik ke atas. Ini adalah hal yang dia tunggu-tunggu. Karena selama satu minggu ini dia masih belum menemukan bukti apapun di rumah ini. “Bagus, aku akan bersiap-siap nanti, Suamiku.” Ziya menatap Reinan dengan tatapan matanya yang mempesona. Senyum manis di bibirnya tidak memudar, sangat berbeda jauh dengan sikap ketusnya saat bangun tadi pagi. Reinan yang melihat ekspresi bahagia di wajah Ziya hanya bisa mendengus pelan. Awalnya dia mengira kalau wanita ini telah mengubah kepribadiannya dan menjadi jauh lebih menarik untuknya. Sayangnya itu hanya pemikiran sekilasnya saja. Dia cukup kecewa. Sikapnya kemarin mungkin hanyalah trik yang sengaja digunakan untuk menjeratnya. Setelah sarapan pagi, Reinan pergi begitu saja. Tidak ada banyak interaksi lagi di antara mereka. Membuat Ziya merasa lega dan lebih leluasa dalam bertindak di rumah. Saat ini Ziya dim-diam masuk ke dalam ruang kerja milik Reinan. Meski pria itu jarang pulang ke rumah ini, namun dia tetap ingin mengetahui mengenai seluk beluk keluarga pria itu. Ziya membuka beberapa laci di ruang kerja dan tidak menemukan apapun. Bahkan foto keluarga juga tidak dia temukan. Ziya berjalan mondar-mandir dan tidak menyerah, terus mencari, bahkan membuka satu persatu buku yang tersusun rapi di rak. Hingga dia menemukan sebuah buku, saat membukanya ada sebuah surat usang dan juga selembar foto yang jatuh. Merasa penasaran, Ziya mencoba membaca isi surat tersebut. Sayangnya karena sudah terlalu lama dan tampak usang, tulisan di surat tersebut telah memudar dan tidak bisa dibaca. Dia bisa mengira-ngira kalau surat ini pernah terkena air hingga tulisannya menjadi kabur. Lalu beralih untuk melihat sebuah foto yang juga usang dan agak buram. Menampilkan seorang gadis berambut pendek sedang membawa boneka kelinci. Foto tersebut hanya tampak hitam putih dan tidak berwarna. Tapi entah mengapa Ziya merasa familiar saat melihatnya. Saat tengah memperhatikannya dengan seksama, dia tidak lupa untuk memfotonya. Meski dia tidak tahu foto siapa yang telah dia temukan, namun dia tidak akan melepaskan semua temuan yang ada. Siapa tahu suatu saat akan berguna. Ganggang pintu secara tiba-tiba mulai bergerak dari arah luar, Ziya merasa kaget, segera memasukkan surat dan foto ke tempat semula sebelum mengembalikannya ke rak buku. Debaran jantungnya memompa secara tak beraturan. Tidak ada waktu lagi baginya untuk bersembunyi, dia tampak panik dan mencoba berpikir keras dalam situasi genting ini. Pintu secara perlahan terbuka, Ziya langsung menunjukkan senyum manisnya. Dia sengaja agak menjatuhkan sebelah lengan cardigan miliknya. Menampakkan bahu ramping dan mulusnya dengan pose menggoda. Duduk di kursi kerja milik Reinan dengan kaki yang disilangkan. Tidak mudah baginya untuk secara spontan memikirkan ide menggoda seperti ini, tapi dia tidak memiliki pilihan lain agar tidak sampai membuat Reinan merasa curiga padanya. “Akhirnya kamu kembali, suamiku.” Ekspresi suram muncul di wajah Reinan, melihat sikap menggoda yang ditujukan oleh wanita di depannya membuatnya merasa muak. Meski mereka adalah suami istri dan semalam mereka telah melakukannya, tetap saja semalam adalah kondisi khusus. Setelahnya wanita licik ini akhirnya menunjukkan sisi sebenarnya dalam dirinya. Sikap anehnya semalam hanya trik untuk menarik ulurnya agar mau melihat ke arahnya. “b***h!” Tidak terhitung betapa seringnya Reinan telah mendapatkan godaan semacam ini atau bahkan lebih parah dari ini. Tapi mengetahui kalau istri kecil yang dinikahinya berubah menjadi w*************a seperti tikus liar di luar sana, entah mengapa membuat Reinan merasa kesal dan muak. Dia tidak menyukai fakta kalau istrinya ternyata sama saja. Suara sol sepatu yang berjalan semakin mendekat membuat Ziya agak gugup. Namun dia tetap menahannya dan mempertahankan senyum penuh kepalsuan dari bibir ranumnya. “Baru semalam melakukannya, apa sekarang kamu sudah berniat ingin menempel dan menggodaku hmm?” Reinan mengangkat dagu Ziya dengan telunjuk dan ibu jari. Membuat Ziya mendongakkan kepalanya, namun tindakan Reinan tidak lembut sama sekali, dengan sengaja agak mencengkeramnya. “Apa trik yang coba kamu mainkan kali ini? Siapa yang memberimu izin untuk memasuki ruang kerjaku?” Saat cengkeraman Reinan pada rahangnya menjadi semakin kencang, Ziya mau tidak mau meringis dan memegangi pergelangan tangan Reinan. Berusaha melepaskannya hingga kedua matanya hampir berkaca-kaca. Jika bukan karena tidak ingin ketahuan telah menyusup ke sini, Ziya sudah pastikan tidak akan segan menendang dan memelintir tangan pria sialan ini. “Apa yang ingin kamu lakukan, lepaskan aku …” Ziya menjadi semakin kesulitan bernapas ketika tangan Reinan kini telah berakhir mencekik lehernya. Menekannya dengan cukup kuat hingga membuat Ziya tidak bisa lagi diam dan mulai memberontak. “Katakan dengan jelas apa tujuanmu memasuki ruanganku? Kamu tahu, aku tidak akan segan membunuhmu jika kamu memiliki sedikit pun niat buruk di sini.” Sebelah tangan Reinan dia gunakan untuk mengelus rambut Ziya dengan gerakan pelan. Sangat kontras dengan tangan lainnya yang masih mencengkeram leher Ziya tanpa berniat melepaskannya. Reinan baru melepaskan cengkeraman tangannya saat melihat kedua mata Ziya berkaca-kaca dan menitikkan air mata. Senyum sinis masih muncul di bibirnya. Melihat bagaimana Ziya langsung berdiri dan mengambil jarak aman darinya. Duduk di lantai dengan terbatuk-batuk dan memegangi lehernya yang agak memerah. “Itu hanya sebuah peringatan kecil untukmu, jangan khawatir.” Reinan berjongkok di depan Ziya, dengan senyum di bibirnya yang tampak menawan. “Sikopat!” Sebuah keraguan dan dugaan secara perlahan mulai muncul di dalam pikiran Ziya. Dia terus menatap Reinan selama beberapa saat. Jika apa yang sedang dia pikirkan saat ini ternyata memang benar adanya, dia bersumpah akan membalasnya bagaimana pun caranya. Tidak peduli meski dia sendiri sampai harus masuk ke kendang singa dan mati bersama. Reinan senang melihat ekspresi Ziya saat ini. Meski sedang berada dalam bahaya, tapi dia tidak tampak takut dan meringkuk menjauhinya. Justru dia malah melihat adanya nyala api di dalam matanya. Seolah-olah dia telah memiliki hutang padanya. Tatapan yang sangat jarang dia temui. Wanita ini, entah hal apa yang tersembunyi di balik lengan bajunya. Dia akan mengikuti permainannya. Memainkan peran sebagai tikus dan kucing yang saling mengejar dan bersembunyi. Reinan kini merubah sikapnya. Mengambil inisiatif untuk menggendongnya dan tidak mendapatkan perlawanan apapun dari Ziya. Membuat hubungan keduanya semakin berkembang dalam ikatan yang kian rumit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD