Mistake - 05

1510 Words
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Kini, Wanda sudah mandi dan makan malam. Karena tidak ada tugas yang harus dikumpulkan besok, ia pun menghabiskan waktunya untuk membaca n****+ online sambil rebahan di sofa panjang kamarnya. "Hachim!!" Gadis berusia dua puluh tahun itu bersin. Hidungnya sedikit berair sejak beberapa saat yang lalu. Ia pun sampai menyediakan tisu di dekat tempatnya rebahan. "Uhukk... hachim!!" "Yah, masa gitu doang aku pilek?" gumam gadis itu sambil bangkit duduk. Tenggorokannya terasa tidak nyaman. Ia pun memutuskan untuk mengambil minum di dapur. Sampainya di bawah, ia melihat Davin yang tengah sibuk dengan laptopnya di ruang TV. Namun tampaknya laki-laki itu tidak menyadari kedatangan Wanda. Wanda terus berjalan menuju dapur. Mengambil gelas, lalu menuju lemari pendingin dan bersiap menuangkan air ke gelasnya. "Hachim!!" "Gejala flu tapi malah mau minum air es malam-malam?" sindir Davin yang entah sejak kapan berada di belakang Wanda. Wanda sempat terkejut. Tapi ia segera menormalkan ekspresinya sesaat sebelum ia berbalik. "Haus. Mau yang seger-seger buat melegakan tenggorokan," ujar Wanda seadanya. "Punya obat flu?" tanya Davin. Wanda menggelengkan kepalanya. "Besok aku beli pas mau ke kampus. Nggak apa-apa kan besok mampir bentar di apotek?" Setelah itu, Wanda kembali memutar tubuhnya dan kembali bersiap menuang air ke dalam gelasnya. Namun, dalam sekali sentakan, gelas itu telah berpindah tempat dari tangannya. Davin merebut gelas Wanda dengan begitu cepat. Membuat Wanda tidak memiliki kesempatan untuk berusaha melawan. "Dav, aku haus. Mau minum," rengek Wanda. Ia mengikuti langkah Davin dan berusaha meminta kembali gelasnya dengan cara baik-baik. "Dav, ck. Mau minum aja kenapa dipersulit, sih?" Laki-laki itu masih tak jua menanggapi rengekan Wanda. Ia masih sibuk dengan kegiatannya membuat sesuatu. "Nggak ada sejarahnya orang gejala flu akan baik-baik saja setelah minum air es," ucap Davin setelah sekian lama. "Nggak akan bikin mati juga. Aku kan cuma-" Wanda menggantungkan ucapannya saat menyadari tatapan tajam Davin yang terarah padanya. "Nggak usah gitu ngelihatinnya! Nanti naksir," ujar Wanda dengan nada kesal. Davin terkekeh mendengar ucapan sepupunya yang memang suka ngasal itu. "Lah bukannya kamu yang memang naksir aku?" ceplos Davin. Wanda membulatkan matanya. Bagaimana bisa Davin tahu soal perasaan terlarangnya? "Bercanda. Serius amat mukanya," ujar Davin sambil membalik badannya menghadap Wanda. Wanda mengejapkan matanya, seperti orang yang baru saja sadar. Tatapan mereka bertemu, membuat Wanda dapat merasakan betapa kencangnya degup jantungnya saat ini. Refleks, Wanda mengangkat tangannya. Ia berniat memegangi dadanya yang sudah tak karuan rasanya. Tappp "Ahhh!" Davin memekik keras. Wanda segera tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. "Hachim!!!" Belum sempat Davin membuka suara untuk mengomeli Wanda, gadis itu sudah kembali berulah. Bersin tepat di depan wajahnya. "Benar-benar bisa gila aku kalau tiap hari menghadapi kamu," ujar Davin sambil mengusap-usap bajunya yang basah karena terkena minuman buatannya yang tumpah. "Ma- maaf. Aku kan nggak sengaja," ungkap Wanda sambil membantu mengeringkan baju Davin dengan kain lap. "Wanda, what are you doing?" kesal Davin. Ia merebut kain lap di tangan Wanda, kemudian melemparnya jauh-jauh. Astaga, bukannya membantu, kini Wanda malah membuat baju Davin menjadi kotor juga. "Ya maaf. Aku memang suka gitu kalau gugup," ujar Wanda. Seketika, suasana menjadi hening. Namun, Davin menyerit saat melihat Wanda mulai mempercepat laju napasnya. "Kamu ken-" "Makanya nggak usah ngomel-ngomel mulu! Nanti aku gugup bikin masalah makin ngomel lagi. Gitu aja terus!" kesal Wanda. Davin semakin menyeritkan alisnya melihat Wanda yang tiba-tiba meledak-ledak seperti barusan. "Kok jadi kamu yang marah?" tanya Davin. "Tuh kan. Jelas-jelas dari tadi kamu yang marah. Sekarang malah nyalahin aku. Aku terus yang salah," omel Wanda. Davin menghela napas panjang. Harusnya ia sadar, makhluk di hadapannya itu adalah berasal dari jenis yang tak pernah salah dan tak pernah mau disalahkan. "Oke. Maaf. Sekarang kamu tunggu di ruang makan! Duduk diam di sana sampai aku kembali," pinta Davin yang tak mau memperkeruh keadaan. "Lah memangnya kamu mau ke mana? Terus aku-" "Duduk aja apa susahnya sih, Wan?" ucap Davin sembari menggandeng Wanda menuju ruang makan. DEG DEG DEG DEG Wanda harap, Davin tidak bisa mendengar detak jantungnya yang begitu kencang. "Ini suara detak jantungku atau alat berat proyek bangunan depan komplek, sih? Keras amat," gumam Wanda dengan volume lirih. Gadis itu terus menatap pergelangan tangannya yang dipegang Davin selama perjalanan ke ruang makan. Sampainya di ruang makan, Davin menekan kedua bahu Wanda agar duduk di salah satu kursi di sana. "Kamu mau ke mana?" tanya Wanda ketika melihat Davin hendak beranjak meninggalkannya. Ditinggal lelaki rupawan memang tidak mengenakkan. Maunya ditungguin terus #abaikan :') "Menurut kamu?" Davin membali pertanyaannya sembari menunjuk kausnya yang basah dan kotor. Wanda terkekeh dengan kaku. Ia jadi merasa bersalah kalau teringat apa yang tadi ia lakukan pada Davin. "Hachim!!!" Wanda kembali bersin hingga hidungnya memerah. "Ingat, tunggu di sini dan jangan kemana-mana selagi aku pergi!" pesan Davin. Wanda mengangguk, seperti seekor anak kelinci yang penurut. Selang lima menit, Davin kembali dengan kaus yang baru. Ia melangkah menuju dapur tanpa menegur Wanda yang masih berada di ruang makan. Tak lama kemudian, Davin kembali dengan secangkir minuman di tangannya. "Teh?" tanya Wanda saat Davin menyodorkan cangkir itu padanya. "Cium bener-bener dong! Masa begituan teh doang kamu ngiranya. Memang baunya kurang tajam?" kesal Davin. Pasalnya, ia jadi merasa usahanya yang jauh lebih keras untuk sekadar membuat teh tidak dihargai. Wanda mendekatkan cangkir itu ke indera penciumannya. "Teh mint?" tanya Wanda lagi. Davin menghela napas panjang. "Teh madu plus daun mint," ralat Davin. "Ya maaf, kan hidung aku lagi nggak sehat," ungkap Wanda. "Aku sampai harus ke luar dulu ke halaman belakang buat ambil mint nya tadi," ujar Davin. "Lah bukannya Tante Mia nyetok di dapur? Tante Mia kan suka banget sama mint." "Teh yang kamu tumpahkan tadi adalah stock daun mint terakhir di dapur," balas Davin yang membuat Wanda melengeh tanpa dosa. "Buruan diminum!" suruh pria berusia dua puluh lima tahun itu. "Sebentar. Masih panas," ujar Wanda. "Ya kan memang sengaja dibuatnya panas. Namanya buat mencegah flu ya pasti harus hangat dong, Wanda sayang," balas Davin jengah. Wanda melongo. Barusan Davin memanggilnya apa? Sayang? Wanda menelan salivanya kasar. Sialan! Sudah tenggorokannya rasanya tidak nyaman, dari tadi batal minum karena dihalang-halangi Davin, sekarang ditambah lagi Wanda harus dibuat gugup oleh laki-laki itu. "Hachim!!! Ehmm.. i- iya ak- aku minum sekarang," ucap Wanda. Gadis itu menyeruput pelan minuman buatan Davin. Rasanya enak. Dan Wanda bisa merasakan bagaimana hangatnya minuman itu ketika melewati kerongkongannya. "Sudah baikan?" tanya Davin. "Baru juga setetes yang masuk," keluh Wanda sambil menatap malas pria di sampingnya. Davin menghela napas panjang. "Baru dua hari aku di sini, dan dua hari juga aku merawatmu yang sakit-sakitan. Kemarin asam lambung naik, sekarang flu. Besok apa lagi?" Wanda menatap horor ke arah sepupunya. "Kamu doain aku biar besok aku sakit lagi?" tuduh Wanda. "Enggak, bukan gitu. Sensi amat," ucap Davin. Wanda pun kembali memfokuskan dirinya pada minuman di cangkirnya. Davin terkekeh. Ia terus memperhatikan Wanda saat minum seperti orang yang tak punya pekerjaan lain. Tunggu dulu! Pekerjaan? "Kamu ngapain malah ikutan bengong di sini? Bukannya kamu tadi lagi kerja, ya?" tanya Wanda. Davin melotot. Seperti orang yang kaget karena baru saja ditampar. "Astaga, pekerjaanku!" Laki-laki itu segera bangkit dan berlari kembali ke ruang TV. Melihat punggung kokoh itu semakin menjauh, Wanda tersenyum penuh arti. 'Aku sudah berusaha sekuat yang aku bisa. Mungkin aku bisa menyembunyikannya dari semua orang termasuk kamu. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku mencintai kamu, Dav. Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak bisa mengelak kalau aku memang mencintai kamu,' monolog Wanda dalam hati. Wanda tahu perasaannya itu salah. Tak seharusnya ia jatuh cinta pada saudara sepupunya sendiri. Bagaimanapun, mereka masih mempunyai hubungan darah yang sangat dekat. Lagi pula, memangnya Davin mau sama dia? Wanda terkekeh. Ia tahu kisahnya ini tak akan berakhir indah. Pada akhirnya, hanya dia lah yang terluka. Tapi, kenapa sangat sulit baginya untuk menghentikan semua ini? 'Mungkin sebaiknya aku berdoa supaya cepat lulus sebelum perasaanku semakin menjadi. Biar aku bisa cepat-cepat kembali ke Bandung dan belajar melupakannya,' batinnya. Wanda menyeruput tehnya sampai tandas. Setelah itu, ia mencuci cangkirnya di dapur sebelum berjalan kembali menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua. Dua tahun. Wanda hanya perlu bertahan selama dua tahun sebelum ia berpisah dari Davin. Tapi, apakah dua tahun itu waktu yang singkat? Kenapa rasanya sangat lama? "Sepertinya semester depan aku harus memaksimalkan SKS yang bisa kuambil, mengikuti semester pendek tiap tahun, dan mulai mencicil proposal skripsi secepatnya. Siapa tahu aku bisa mempercepat kelulusanku dan bisa cepat-cepat pergi dari sini," gumam Wanda. Ya. Mulai sekarang ia harus belajar lebih giat agar bisa segera lulus. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa menghindar dari rasa yang salah itu. *** Bersambung ... Kek gampang banget mau nyepetin lulus, Wannn, Wan. Lihat aja praktiknya nanti :D Gimana? Menurut kalian, Wanda kuat nggak tuh menahan perasaannya sampai dia lulus kuliah? Atau pada akhirnya semua malah akan terbongkar duluan? Lalu gimana ya, kalau sampai orang tua mereka tahu? Penasaran, kan? Jangan sampai ketinggalan kelanjutannya! Masukkan cerita ini ke pustaka dengan cara menekan simbol hati (love) di halaman depan bawah cover! Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur dengan ceritanya. See you next chapter :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD