Mistake - 06

1736 Words
Sejak malam itu, Wanda semakin keras menghindari Davin. Ia mengurangi intensitas berinteraksi dengan Davin. Terkadang, ia memilih berangkat lebih pagi di jam pertama dibandingkan harus pergi bareng Davin. Dan saat tidak ada kelas pagi, ia sengaja berangkat lebih siang, menunggu Davin pergi lebih dulu. Mereka hanya bertemu saat makan malam, karena Mia yang membiasakan agar mereka menemani makan bersamanya. "Oh iya, Wanda, bagaimana kuliahmu? Sebentar lagi ada Ujian Akhir, kan?" tanya Mia memulai pembicaraan. "Iya, Tante. Minggu depan sudah mulai UAS," jawab Wanda. "Nah, habis UAS kan Wanda libur, Dav. Kamu lama tidak mengunjungi om sama tantemu di Bandung. Besok kita antar saja Wanda sambil mampir ke sana! Jadi kamu siapin cuti, gih!" suruh Mia pada putra sematawayangnya. "Uhukk uhukk..." Wanda meletakkan sendoknya dengan kasar ketika ia tersedak. Davin yang berada tepat di samping gadis itu pun langsung menyodorkan segelas air padanya. "Kita ke sana cuma mau mampir, bukan mau melamar kamu. Kok sampe segitunya kagetnya?" canda Davin, tapi justru menjadi masalah baru bagi jantung Wanda. 'Serius, lama-lama di sini aku bisa punya penyakit jantung. Mana masih muda,' batin Wanda nelangsa. "An- anu, Tante. Be- besok Wanda mau ambil semester pendek. Jadi di awal libur mau ngurus mata kuliahnya dulu terus fokus SP selama liburan," alibi Wanda. Tapi ia tidak sepenuhnya berbohong. Toh ia memang mau mengambil semester pendek. Hanya saja, minggu pertama liburan memang dia berencana pulang, sementara pengambilan SKS untuk semester pendeknya bisa dilakukan secara online. Tapi, mengetahui liburan pun ia masih akan bersama Davin, sepertinya itu bukan hal baik juga. "Memang nggak bisa online?" tanya Mia. Biar bagaimana pun Mia cukup banyak tahu tentang dunia perkuliahan. Ia belum terlalu lama ini menamatkan S2-nya. Karena sejak suaminya meninggal, ia memang dituntut untuk bisa menghandel pekerjaan suaminya sebelum Davin menyelesaikan studinya. Mia harus mengamankan jabatan direktur mendiang suaminya untuk Davin di perusahaan yang menjadikan mereka sebagai salah satu pemilik sahamnya itu. "Biasanya bisa, Tan. Tapi dosen pembimbing akademiknya Wanda itu agak stright orangnya. Apa-apa harus sesuai prosedur. Dan bagi Beliau, ngurus SKS secara online itu tidak sopan ke dosen. Jadi yaaa... begitu deh," terang Wanda. Padahal, DPA nya adalah dosen yang masih cukup muda dan sangat santai. "Oh, begitu, ya? Tapi di akhir minggu memang kamu nggak ada niatan pulang ke Bandung?" tanya Mia lagi. "Anu- nanti habis SP aja, Tante. Tante sama Davin kalau mau ke Bandung, duluan aja! Nanti Wanda gampang kalau mau ke sana mah. Bisa naik kereta," ujar Wanda sambil tersenyum manis. Mia menatap anak sematawayangnya bak sedang meminta pendapat. "Davin terserah Mama saja. Davin tahu kok, sebenarnya Mama aja yang kangen sama Tante Ratna," sahut Davin tiba-tiba, membuat Wanda yang tidak mengerti apa-apa langsung menatap pria itu. Siapa sangka, setelah mengucapkan kalimat barusan, Davin menoleh ke samping hingga akhirnya tatapannya bertemu dengan manik cokelat khas orang Indonesia milik Wanda? "Ehmmm..." Wanda tiba-tiba berdehem, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, membuat Davin bisa menyadari jika gadis di sampingnya itu sedang menahan gugup. 'Lucu sekali,' batin Davin sebelum kembali fokus menatap hidangan di atas meja. "Ya udah nanti Tante pikirkan lagi deh, ya, gimana bagusnya," ujar Mia. Wanda dan Davin tersenyum menanggapi ucapan Mia. Memang, saat berada di depan Mia, dua saudara itu tampak rukun dan penurut. * Wanda baru saja mencuci piring. Awalnya, Mia menawarkan diri untuk membantu. Tapi dilarang oleh Wanda. Tinggal beberapa piring lagi yang perlu Wanda bilas, saat tiba-tiba terdengar suara seseorang sedang mengambil air di dekatnya. Wanda menoleh. Ia hampir saja terlonjak saat melihat keberadaan Davin di depan lemari pendingin. 'Dasar itu manusia satu kayak setan aja,' batin Wanda. Ia memilih tidak banyak berkomentar agae terhindar dari interaksi langsung dengan pria itu. Berbeda dengan Davin yang kini tengah meneguk air minumnya sambil menatap lekat punggung Wanda yang tampak rapuh. "Boleh nitip cuciin ini sekalian, nggak?" tanya Davin setelah ia selesai minum, dan menyodorkan gelasnya pada Wanda. "Taruh saja! Habis ini aku cuci sekalian," balas Wanda sesingkat mungkin. Setelah itu, Wanda dapat mendengar suara dentingan gelas yang bertemu dengan keramik bagian samping wastafel. Anehnya, Wanda masih dapat merasakan keberadaan Davin di belakangnya. Ia pun menoleh. Dan benar saja, laki-laki itu masih di sana. Wanda menelan salivanya kasar saat mengetahui bagaimana Davin menatapnya sedari tadi. Rasa gugupnya kembali muncul. Ia juga mulai merasa tidak nyaman karena detak jantungnya yang terlalu keras. "Ma- masih d- di sini? Ng- ngapain?" tanya Wanda yang sedang berusaha setengah mati untuk menahan kegugupannya. Davin tersenyum miring. Ia adalah pria dewasa yang tidak sebodoh itu untuk membaca arti tingkah wanita. Terlebih dalam jarak sedekat ini. Davin sengaja memajukan langkahnya. Mengikis jarak di antara dirinya dan Wanda. Wanda yang masih dengan posisi membelakangi pria itu pun semakin gugup dibuatnya. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk sekadar bertanya, apa yang akan Davin lakukan. Wanda semakin merinding saat ia merasakan sebuah tangan mengambil piring yang sedang ia bilas. Tangan besar itu meletakkan piring di atas wastafel. Membenaskannya dari tangan Wanda. "Dav, ak- aku- aku- kamu-" Terdengar suara kekehan aneh Davin yang membuat Wanda menghentikan ucapannya. Lalu, hal yang semakin mendebarkan terjadi. Davin memegang kedua bahu Wanda, lalu menggiring gadis itu untuk berbalik, menghadap ke arahnya. Wanda yang sudah gugup setengah mati pun blank. Dia hanya menurut pada Davin, tanpa adanya perlawanan. Entah sihir apa yang membuat Wanda tak bisa menolak untuk saling bertatapan dengan Davin. Yang jelas, saat ini indera penglihatannya itu terpatri pada mata Davin yang sedikit lebih sipit dari miliknya. "Kau..." akhirnya Davin mulai bersuara. Membuat Wanda merasa semakin kesulitan untuk bernapas. "Kau suka padaku?" tanya Davin. DUARRRRR Rasanya jantung Wanda benar-benar seperti meledak. Ia bereaksi sedikit berlebihan hingga membuat Davin semakin yakin kalau dugaannya itu benar. "Bagaimana bisa kamu jatuh cinta padaku? Kita bahkan baru bertemu beberapa hari setelah berpisah lama," bingung Davin. Kenapa pria itu tampak biasa saja? Berbeda dengan Wanda yang merasa kacau dan linglung. Bukankah ini sangat tidak adil? 'Astagaaa... kenapa dia bisa tahu? Lalu aku harus jawab apa? Bagaimana cara aku mengelak tadi tuduhannya ini?' batin Wanda. "Jawab, Wan! Aku ingin mendengar pengakuan langsung dari mulutmu," pinta Davin. "Ak- ak- aku? B- bagaimana bis bisa aku- Mana mungkin aku jatuh cinta sama kamu? Jangan terlalu percaya diri! Jangan mengada-ada. Aku-" "Aku sudah bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Aku bisa merasakannya. Kamu menyukaiku, kan?" potong Davin. Mata keduanya masih saling bertatapan. Wanda berulang kali berusaha menelan salivanya. Ia benar-benar terjebak dalam situasi ini. Ia tidak bisa mencari pembelaan jika tuduhan Davin padanya itu tidak benar. "Wan, ingat, kita masih saudara. Dan kita tidak akan pernah mungkin bisa bersama," ujar Davin. Napas Wanda sempat terhenti seketika. Ternyata, sesakit ini rasanya sebuah penolakan? Sejak awal Wanda tahu jika kisahnya tidak akan berakhir indah. Tapi kenapa rasanya tetap sesakit ini? Bukankah harusnya ia sudah menyiapkan dirinya untuk menghadapi hari ini? Hari di mana semua akan menjadi lebih jelas, tentang ia dan Davin yang tidak akan berakhir dengan baik. "Aku tahu. Maaf," ungkap Wanda. Ia hendak langsung ke kamarnya. Menghilang dari pandangan Davin dan menangis sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Tapi, nyatanya Davin masih belum selesai dengan urusannya. Ia menahan lengan Wanda hingga gadis itu tidak bisa pergi ke mana pun. Wanda berusaha memberontak minta dilepaskan. Tapi, Davin bukanlah orang yang suka berbaik hati melepaskan lawan bicaranya begitu saja saat ia merasa urusan mereka belum selesai. "Bisa lepas nggak sih, Dav? Aku capek, ngantuk," pinta Wanda. Davin menarik tangan Wanda hingga gadis itu kembali pada posisi sebelumnya. Berhadapan dengannya. "Kamu saudaraku. Bahkan kamu sudah seperti seorang adik bagiku. Kita tumbuh bersama sejak kecil," ucap Davin tiba-tiba. Wanda tidak mengerti. Ia memilih bungkam sambil menatap ke arah lain untuk menghindari tatapan Davin. "Aku tidak mau kamu sakit hati. Terlebih karena aku," lanjutnya. "Aku mengerti," jawab Wanda pada akhirnya. Ia hanya ingin masalah ini cepat selesai dan Davin segera melepaskannya. "Wan, katakan! Dugaanku benar, kan? Kamu suka kan sama aku? Kalau itu benar, aku hanya ingin mencari jalan keluar terbaik untuk kita. Aku-" "Oke. Kamu benar. Aku suka sama kamu," potong Wanda dengan nada tegas, namun volume lirih. Ia masih punya nalar untuk menyadari keberadaan orang lain di rumah ini, Mia. Dan Wanda sadar, apa yang ia katakan barusan bukanlah sebuah hal yang akan membuat Mia senang saat mendengarnya. "Baiklah. Mari kita cari cara untuk menyelesaikan masalah ini!" ajak Davin. "Lain waktu saja. Aku mengantuk. Toh aku juga nggak akan gangguin kamu. Aku-" "Bukan itu masalahnya. Jangan lari dari masalah, Wanda! Aku juga tidak mau hubungan kita menjadi seperti ini," giliran Davin yang memotong ucapan Wanda. "Begini kenapa? Apa yang salah? Bukannya kita baik-baik saja sebagai saudara?" bingung Wanda. "Kamu menjauh. Kamu yang sekarang berada terlalu jauh dariku. Aku tidak menyukainya," jawab Davin. "Dav-" "Wan, apa perlu aku mengenalkanmu pada temanku? Aku punya beberapa teman yang masih single, mapan, dan cukup mumpuni buat kamu. Aku-" "Mau kamu apa sih, Dav?" potong Wanda. "Aku cuma ingin kamu bahagia, dan kita kembali dekat seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin itu akan terjadi jika kamu move on," terang Davin. Wanda menatap penuh kecewa ke arah sepupunya itu. "Aku tidak semenyedihkan itu untuk kamu bantu. Aku bisa move on dengan caraku sendiri. Dan sekarang, aku benar-benar lelah, mau istirahat. Jadi please, jangan halangi aku!" ujar Wanda. "Tidak. Aku-" "Dav, please!" Wanda kembali memotong ucapan Davin yang keras kepala dan masih saja ingin menahannya di sini. Setelah itu, Davin tak lagi bersuara. Ia hanya diam, membiarkan Wanda beranjak menuju tangga. Setelah kepergian Wanda, Davin menghela napas panjang. Ia pikir ia bisa menyelesaikan masalah ini dengan mudah. Tapi nyatanya ia salah. Pembicaraan ini malah membuatnya semakin gelisah. Ia tahu Wanda tidak akan mengganggunya seperti w************n di luaran sana. Tapi tetap saja, ada rasa tidak nyaman saat ia mengetahui jika ia sedang membiarkan Wanda menderita karenanya. Karena bagaimanapun juga, Davin menyayangi Wanda. Ia tidak mau berada dalam suasana canggung seperti ini dengan Wanda lebih lama lagi. *** Bersambung ... Kemarin udah ngetik. Tapi nggak sanggup lanjutin. Moodku kayak lagi naik roller coaster. Naikkkkk terus anjlok. Gituuuu terus. Nggak tahunya efek PMS :"( Tapi semoga hari ini bisa update lagi, walau telat. Coba aja cek nanti malam jam 8an. Kalau ada bab baru, syukur :") Jadi maaf banget telat. Btw, hingga 6 November 2021 kolom komen masih sepi ya? :") Terima kasih bagi yang sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan jejak supaya aku lebih semangat ngetiknya. Terus, bagi yang mau info lebih banyak tentang ceritaku yang lain, silakan follow ig riskandria06 karena aku lebih sering berkomunikasi dengan pembaca di sana. Feel free buat dm, nanti kalau sempat pasti aku balas :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD