20. Tangan Lain yang Menggenggam Tangan Jeva

1007 Words
Prasta menatap penampilannya yang terpantul pada cermin seukuran tubuhnya. Pria itu membenarkan dasi di kerah bajunya, lalu memakai jas warna abu abu yang senada dengan celananya. Pria itu menggunakan parfum di pergelangan tangannya. Lalu berjalan ke arah nakas dan mengenakan jam tangan rolexnya. Sungguh sempurna dengan garis adonis pada wajah tampan, penampilan nyentrik dengan pakaian jutaan dollar serta wangi dari cairan yang harganya juga selangit. “Engh.” Daska muncul di balik pintu kamar Prasta. Rambutnya acak acakkan, baju yang ia pakai masih baju yang kemarin. “Yak! Kenapa kau tidak memindahkanku ke kamar?” seru Daska mengomeli saudara kembarnya itu. Semalaman ia tidur di sofa ruang tamu apartemen Prasta. Prast menoleh sekilas, ia tengah fokus pada ponselnya setelah mendapat pesan dari asistennya mengenai jadwal hari ini. “Aku bahkan menyesal telah membiarkanmu masuk ke apartemenku. Kau fikir aku sudi memindahkanmu ke kamar,” ujarnya kemudian. Prasta memasukan ponselnya ke dalam saku jasnya. “Ck.” Daska berdecak kesal. “Das.” Prasta berhenti di depan Daska. “Berhenti main main dan merusak dirimu sendiri. Kau bilang akan berubah menjadi lebih baik. Lalu kenapa tadi malam kau masih mabuk? Jangan bawa kebiasaanmu di Paris ke sini, setidaknya di hadapanku,” ujarnya kemudian. Sebagai seorang kakak, ia tentu harus menasehati adiknya supaya bisa lebih baik lagi. Daska menggaruk kepalanya yang tak gatal, menunduk karena merasa malu dengan perbuatannya semalam. “Aku hanya sedang suntuk saja,” ocehnya kemudian. Ia sendiri juga menyadari kebodohannya, sumpahnya untuk berubah lebur sudah karena cairan laknat yang semalam menemani kesuntukannya. “Kalau ada masalah, selesaikan. Bukannya lari pada alkohol dan perempuan.” Setelah mengatakan hal itu, Prasta pergi meninggalkan Daska. “Ash, s**l!” maki Daska teringat dengan teman wanitanya tadi malam. Ia mengacak acak rambutnya frustasi. Membuat penampilannya semakin kacau, ditambah lagi dengan pusing di kepalanya setelah semalam hangover. Daska pergi ke kamar mandi di kamar Prasta. Ia harus bersiap siap ke kantor atau Prasta akan mengomelinya lagi. Setelah penampilannya siap, ia bergegas pergi ke kantor. Daska mengemudikan hyundai miliknya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan gedung apartemen milik Prasta dan bergabung bersama puluhan roda empat di jalanan. “Ash, lampu merah,” maki Daska saat mobilnya terjebak lampu merah. Ia melirik beberapa orang yang tengah menyeberangi jalan. Pria itu mengalihkan pandangannya ke sekitar, sorot matanya tak sengaja menangkap seseorang yang ia kenal. “Bukankah itu Jeva?” gumam Daska saat melihat Jeva tengah duduk di salah satu kafe yang berada dekat dengan lampu merah. “Dia bersama siapa?” ujarnya kemudian mengamati seorang pria yang duduk memunggunginya. ****** Jeva dan juga Denta duduk berhadapan di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari perempatan jalan tempat mereka bertemu tadi. Hampir selama15 menit, mereka hanya duduk diam tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Satu satunya suara yang keluar adalah saat mereka mengucapkan ‘terimakasih’ kepada pelayan yang membawakan minuman pesanan mereka. Jeva meraih sedotan di gelasnya, lalu meneguk minuman pesananya dengan perlahan. Tiba tiba saja tenggorokannya terasa kering hingga ia kesulitan untuk bicara. Yang bisa dilakukan oleh Jeva hanya menatap gelas meninumannya dan juga suasana di sekitar kafe. Ia tidakberani menatap ke arah pria yang duduk di hadapannya, sekalipun ia tahu jika pria itu tengah menatapnya. Jeva mengambil nafas dalam dalam lalu membuangnya perlahan. Tidak mungkin mereka akan terus diam saja tanpa mengucapkan kalimat apapun. Setidaknya, ia harus memulai pembicaraan. Toh, orang yang kabur dari masalah adalah dirinya. “Ta, aku....” “Aku sudah tahu semuanya,” ujar Denta pelan. Ia mendongak menatap kedua manik mata milik Jeva, tatapannya terlihat sendu, sedih, kecewa, senang, semuanya campur aduk. “Hah? Tahu apa?” tanya Jeva tak mengerti. Sebenarnya ia tahu dan mengerti, tapi ia hanya belum siap untuk membahasnya sekarang. Jadi ia memilih untuk berpura pura tidak mengerti ucapan Denta barusan. Masa lalu. Belva. Kematian. Semuanya etrasa menyakitkan jika di bahas sekarang, sekalipun sudah 3 tahun berlalu semenjak kejadian buruk itu. Sekali lagi Jeva memilih untuk menghindar, tapi sampai kapan? Sampai kapan kau akan menghindar, Jev? tanya hati kecil Jeva. “3 tahun, Jev,” ujar Denta lirih. “3 tahun kau pergi tanpa kabar, menghindari masalah yang seharusnya bisa diselesaikan di masa lalu.” Denta mengusap wajahnya pias. Deg. Benar. Masa lalu. Denta menemuinya untuk membahas masa lalu. “Ta.” Jeva menggigit bibirnya menahan rasa gugupnya. “Aku hanya belum siap untuk...” “Sampai kapan aku harus menunggumu siap?” Denta memotong ucapan Jeva, ia menahan emosinya yang perlahan menyeruak. Apalagi saat ia teringat dengan adiknya yang sudah meninggal. “Maaf.” Hanya itu yang bisa di ucapkan oleh Jeva. Ucapan maaf yang sampai kapan pun tak akan pernah cukup untuk menebus sikap pengecutnya. Denta menatap Jeva yang menunduk, ia melihat bahu perempuan itu bergetar menahan tangis. Butuh waktu hampir 2 tahun lebih bagi Denta berdamai dengan masa lalu, jadi Jeva pasti butuh lebih dari itu. Selama 3 tahun ia tidak bisa menemani Jeva, jadi sekarang ia akan melakukan tugasnya. Denta menghela nafasnya pelan. “Bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah lebih baik?” tanyanya kemudian. Pria itu menarik tangan Jeva dan menggenggamnya erat. Jeva mendongak menatap Denta, menghapus sudut matanya yang berair. “Aku sudah lebih baik,” ujarnya tersenyum tipis. “Syukurlah,” gumam Denta pelan. “Belva akan menghantuiku kalau sampai kau kenapa kenapa.” Denta kembali menjadi pria konyol yang mengucapkan lelucon tak lucunya. Jeva tersenyum kecil. Ia lalu terdiam, teringat jika masalahnya masih menanti untuk di selesaikan. “Kenapa?” tanya Denta yang menyadari perubahan raut wajah Jeva. Jeva masih diam saja, ia bingung harus mengatakannya kepada Denta atau tidak. Denta mengusap usap punggung tangan Jeva. “Ada apa, Jev? Katakan padaku kalau kau punya masalah,” ujarnya khawatir. Jeva menatap manik mata Denta dengan mata sendunya. “Mereka ada di sini,” ujarnya lirih. Denta mengerutkan dahinya karena tak mengerti ucapan Jeva. “Mereka ada di Korea, Ta. Daska dan kembarannya.” Jeva menggigit bibirnya, namun tangis tak dapat ia bendung. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. “A-apa?” Denta kehilangan kata katanya. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Ya Tuhan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD