19. Tamu tak Diundang

1046 Words
Jeva membuka kedua matanya yang terasa berat. Perempuan itu bangkit dari tidurnya, melirik ke arah ranjang di atasnya yang sudah kosong. Terdengar suara keran air dari dalam kamar mandi, itu artinya Elsa saat ini tengah mandi. Tumben sekali sahabatnya itu bangun sebelum dirinya. Biasanya Elsa masih bergelung dengan selimut saat Jeva bahkan sudah selesai mandi. Cahaya natahari pagi mencoba menerobos masuk ke dalam apartemen Jeva dan Elsa, jutaan cahaya masuk melalui celah jendela dan tanpa permisi singgah di ruang apartemen. Jeva menyibak selimutnya, lalu turun dari tempat tidur. Merapikan rambutnya yang berantakan, lalu berjalan menuju kulkas untuk mengambil air minum. “Ah, segarnya,” gumam Jeva setelah merasakan dinginnya air menyapa tenggorokannya. Brak! Pintu kamar mandi dibuka dengan kasar, Elsa muncul dengan setelan baju yang sudah rapi. Perempuan itu dengan terburu buru melempar handuk ke sofa depan Tv. “Yak! Aku sudah mengatakan jangan menaruh handuk sembarangan!” ujar Jeva menegur kelakuan Elsa barusan. Kebiasaan yang membuat Jeva selalu geleng geleng kepala karena tidak pernah berubah bahkan ketika Jeva sudah menegurnya berkali kali. “Maaf, maaf.” Elsa hanya bergumam, ia fokus pada kegiatannya memoles wajah. Jeva hanya geleng geleng kepala melihat kelakuan dari roomatenya itu. “Hish, aku sudah terlambat ini.” Elsa mengunakan bedak di wajahnya dengan kasar. Melewatkan beberapa step rutin yang biasa ia lakukan sebelum ke luar rumah. Jeva tak mengacuhkan ocehan Elsa, perempuan itu mengambil roti lalu menaruhnya di mesin toaster. Menyiapkan bekal sarapan untuk Elsa karena ia yakin jika perempuan itu akan melewatkan sarapan di rumah. Ting! Roti telah siap, Jeva menaruh selai coklat pada dua tumpukan roti. Melakukannya pada beberapa roti dan kemudian memasukan roti roti tersebut ke dalam kotak makanan. “Ah, sudah siap!” Elsa berseru karena penampilannya sudah siap. ia terburu buru mengmbil tasnya. “Aku tidak sar....” “Aku tahu.” Jeva memotong ucapan Elsa. “Makanya aku menyiapkan bekal sarapan untukmu,” imbuhnya kemudian berjalan menghampiri Elsa dan memberikan kotak bekal yang tadi telah ia siapkan. “Ah, Jeva! Thankyou so much! Kau emmang sahabatku yang paling baik. Aku menyayangimu!” seru Elsa memeluk Jeva dengan erat. Ia melepaskan pelukannya, menatap Jeva dengan senyuman lebarnya. “Aku akan membelikanmu teoppoki saat pulang kerja nanti,” celotehnya kemudian. “Hehm.” Jeva hanya bergumam pelan. Tersenyum kecil melihat tingkah menggemaskan Elsa. “Ya sudah, aku berangkat dulu! Bye! Sampai jumpa nanti malam!” seru Elsa pamit pergi. Ia bergegas memakai sepatunya, lalu keluar apartemen. Jeva tersenyum tipis, lalu berjalan menuju sofa depan Tv untuk membereskan handuk yang tadi di gunakan oleh Elsa. Cekrek. Pintu apartemennya tiba tiba terbuka, Elsa muncul dengan senyum konyolnya. Perempuan itu berlari ke arah ranjang tidurnya. “Aku melupakan ponselku,” celoteh Elsa disertai cengiran lebarnya. “Ck, kebiasaan,” gumam Jeva tak habis fikir. “Bye!” seru Elsa setelah menemukan ponselnya. Jeva berjalan ke arah balkon untuk menjemur handuk Elsa yang sedikit basah dan lembab. Ia lalu masuk ke dalam, berniat untuk membersihkan apartemennya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain bersih bersih. Menyibukkan diri, jika tidak ia akan kefikiran dengan masalah yang membuatnya tak bisa tidur. Ting! Tung! Bel apartemennya berbunyi nyaring. Jeva yang hendak membersihkan dapur menoleh ke arah pintu masuk. “Siapa yang bertamu sepagi ini?” gumam Jeva mengerutkan dahinya heran. Jeva berjalan menuju pintu, lalu membukakan pintu tersebut. Seseorang langsung menerobos masuk bahkan sebelum Jeva mengatakan apa apa. “Aku melupakan kunci apartemen!” seru Elsa berlari ke arah meja di dekat tempat tidur. Ia menaruh kunci apartemennya saat tadi mencari ponselnya. “Makanya, hafalkan kode apartemen kita supaya kau tidak perlu menggunakan kunci manual,” celoteh Jeva mengomel. “Hahahaha, aku ingat kodenya. 3121... Ehm, berapa sisanya?” celoteh Elsa menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Bahkan perempuan itu tidak hafal dengan kode rumah yang jumlahnya hanya enam digit itu. Ck, ck “7,4,” sahut Jeva sedikit jengkel. “Hahahaha, itu dia!” seru Elsa tertawa cengengesan. “Aku selalu melupakan bagian akhirnya, kau tahu sendiri kalau aku itu pelupa. Aku lebih suka menggunakan kunci manual.” Elsa tersenyum setelah melakukan pembelaan. “Ck, dasar kau ini! Sudah sana berangkat! Bukankah kau sudah terlambat?” celoteh Jeva mengusir Elsa. “Astaga, iya! Bye, aku berangkat dulu!” Elsa berlari ke arah pintu dan menghilang dibalik pintu abu abu tersebut. “Huft.” Jev menghela nafasnya lelah, perempuan itu tak melanjutkan niatnya untuk membersihkan dapur. Ia akan mandi dan kemudian belanja bahan makanan untuk kulkas mereka yang kosong. Ting! Tung! Jeva yang hendak membuka pintu kamar mandi menghentikan niatnya. Perempuan itu melirik ke arah pintu apartemen. “Ada apa lagi sih?” keluhnya seraya berjalan menuju pintu depan. Elsa sering jahil padanya dengan memencet bel pintu apartemen padahal membawa kunci. Sengaja membuat Jeva untuk berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu untuknya. Jeva dengan kesal membuka pintu. “Apa lagi El? Kau melupakan ap....” Jeva tak melanjutkan lagi ucapannya. Perempuan itu berdiri terpaku di depan pintu. Menatap ke arah tamu yang tak di undang dengan sorot mata terkejut. Tak pernah menyangka jika ia akan melihat wajah ini lagi. Setelah sekian lama ia kabur dari kenangan masa lalu yang melibatkan wajah itu. “Long time no see, Jev.” Suara pria itu terdengar dalam dan juga dingin. Sedingin cuaca di Seoul saat ini. Jeva tak mampu menggerakkan tubuhnya atau pun membuka mulutnya untuk bersuara. Lidahnya terasa kelu, tubuhnya juga semakin kaku begitu mendnegar suara berat milik pria yang berdiri di hadapannya. “K-kau.... B-bagaimana kau bisa tahu alamat apartemenku?” tanya Jeva setelah hening cukup lama. “Kau fikir apa yang aku lakukan selama 3 tahun ini? Aku berusaha menemukanmu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi, Jev. Kau tahu jika kita perlu membahas tentang masa lalu,” ujar pria itu menatap retina mata milik Jeva dengan sorot tajamnya. “Aku...” Jeva tak tahu harus mengatakan apa. "Aku tidak bis..." “Aku mohon, Jev." Tatapan orang itu terlihat memohon. "Kita bicara di tempat lain. Aku akan menunggumu di bawah.” Setelah mengatakan hal tersebut, pria itu pergi begitu saja. Jeva nyaris limbung begitu pria itu pergi. Ia tidak menyangka jika reaksinya bertemu dengan pria itu bisa seperti ini. Perempuan itu menekan dadanya yang bergemuruh dan jua terasa sangat sesak. “Ya Tuhan, bagaimana caraku menghadapinya nanti?” gumam Jeva pelan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD