18. Berjuang Menghadapi Masa Lalu

1477 Words
"Apa? Jadi Daska sekarang kerja di perusahaan dan dia jadi ketua di divisi keuangan. Dia sekarang menjadi atasanku?” Jeva benar benar terkejut dengan informasi yang diberikan oleh Elsa barusan. Alasan kenapa Elsa tidak terlihat di kantor karena saat ini ia sedang makan siang di luar kantor bersama Jeva. Mereka janjian di kafe yang cukup jauh dari gedung DoubleU. Mereka makan siang di kafe yang bernuansa warna coklat dan hitam. Kafe bertema vintage dengan sentuhan etnik dan bohemian. Keduanya duduk saling berhadapan, Elsa menggigit sedotan di minumannya , lalu meringis mengiyakan ucapan Jeva barusan. “Aku juga tidak menyangka kalau ia akan menjadi atasanmu,” ocehnya kemudian. Ia menatap Jeva dengan tatapan prihatin. “Sekarang bagaimana?” tanyanya kemudian. “Apa aku harus menghindar lagi?” gumam Jeva pelan. “Ya!” Tiba tiba Elsa berteriak. “Kalau di fikir fikir kenapa kau harus menghindarinya? Kau sudah menderita selama 3 tahun dan saat kalian bertemu lagi, dia bersikap seolah olah tidak mengenalmu. Bukankan itu keterlaluan!” omelnya marah marah. Jeva hanya diam saja. “Selama ini kau sudah menderita, harusnya kau bisa hidup bahagia dan menikmati kehidupanmu. Bukan kau yang seharusnya menderita tapi dia!” oceh Elsa menggebu nggebu. Jeva masih diam saja. “Aku tahu kalau bertemu dengannya terasa berat, tapi apa selamanya kau akan menghindar. Mungkin pertemuan kalian setelah 3 tahun ini adalah kunci dari permasalahan kalian di masa lalu. Mungkin Tuhan ingin kalian berdamai, supaya kau tidak bertambah terluka,” ujar Elsa lagi. “Tapi...” “Aku akan selalu di sampingmu, aku akan mendukungmu, Jev,” ujar Elsa pelan. “Berhenti membuat takdir lebih banyak mentertawakan ketakutanmu. Tidak perlu menghindar karena kau tidak bersalah.” Elsa berkata dengan serius. Kalau tidak ada masalah, seharusnya kau tidak menghindar Bukankah sikapmu ini terlalu berlebihan. Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi kau harus bersikap profesional. Jeva teringat dengan ucapan Prasta kemarin. Pria itu benar. Elsa benar. Seharusnya ia tidak perlu menghindari Daska. Seharusnya ia bisa menghadapi masa lalunya dengan kepala tegak dan bukannya rasa ketakutan. “Aku mengerti,” ujar Jeva pelan. “Aku akan mencobanya. Aku akan menghadapi masa laluku,” ucapnya penuh tekat. “Bagus! Aku akan mendukungmu!” seru Elsa senang. “Tapi aku belum bisa bekerja besok. Aku harus melakukan sesuatu dulu,” ujar Jeva tanpa menjelaskan lebih lanjut apa yang akan ia lakukan besok ***** Elsa kembali ke kanyor setelah selesai makan siang dengan Jeva di restoran vintage tadi. Ia sedang menunggu lift di lobi saat melihat Prasta keluar dari dalam lift khusus dewan direksi. Perempuan itu mengangguk sopan kepada atasannya tersebut. Berdoa dalam hati supaya Prasta tidak mengatakan apapun dan langsung pergi. Namun doanya tidak terkabul karena Prasta justru menghampirinya dan bahkan meminta asistennya untuk pergi lebih dulu. "Kamu Elsa dari divisi pemasaran 'kan?" tanya Prasta kepada salah satu pegawainya itu. Ia ingat saat melihat wawancara pegawai beberapa bulan yang lalu, dimana Elsa datang bersama dengan Jeva. Ia juga sering melihat kebersamaan perempuan itu dengan Jeva selama di kantor. "I-iya, Pak." Elsa mengangguk dengan gugup. "Ada apa ya, Pak?" tanyanya kemudian. "Ehm, hari ini saya belum melihat Jeva di kantor. Apa dia tidak masuk kerja?" tanya Prasta. Sejak pagi ia tidak pernah melihat Jeva, bahkan saat di kantin tadi, satu satunya tempat yang memungkinkan dia untuk melihat Jeva. Ia penasaran dengan perempuan itu. Beruntung ia berpapasan dengan Elsa yang notabenya teman dekat Jeva. Karena tidak mungkin ia menanyakannya ke divi keuangan. Ia belum bisa menjawab jika mereka bertanya kenapa. "Ehm, itu....." Elsa bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia mengatakan kalau Jeva masih shock setelah mengetahui jika mantan kekasihnya adalah kembaran dari atasannya. "Jeva... Hari ini ia memang tidak masuk kantor, Pak. Dia izin karena sakit. Kemungkinan dia akan masuk lagi besok lusa," ujarnya kemudian. "Hehm." Prasta mengangguk mengerti. "Ada apa ya, Pak? Ada pekerjaan yang perlu dibahas dengan Jeva? Saya bisa menyampaikannya pad...." "Tidak perlu." Prasta memotong ucapan Elsa. "Tidak terlalu penting. Saya akan menunggunya sampaiia masuk kantor," ujarnya kemudian tersenyum tipis. Elsa mengangguk sopan. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak," ujarnya setelah Prasta tak mengatakan apa apa lagi. "Iya." Prasta mempersilahkan Elsa pergi. Elsa segera masuk ke dalam lift yang kebetulan berhenti di hadapannya. Ia buru buru masuk, menekan tombol lift dengan gugup dan ingin cepat terhindar dari Prasta. Ia masih bisa melihat Prasta berdiri diam di depan lift, sampai akhirnya pintu lift tertutup rapat. "Huft." Elsa mendesah lega setelah lift mulai berjalan naik. Ia menekan dadanya yang bergemuruh akibat rasa gugup. " Oh, astaga. Aku saja yang hanya mendengar cerita dari Jeva bisa segugup ini saat menghadapi Prasta, apalagi dia yang mengalami sendiri masa lalu kelam mereka. Semoga saja Jeva bisa melalui ini semua," gumam Elsa mendoakan sahabatnya. "Oh, dua pria itu memang tidak bisa di anggap remeh. Bagaimana cara Jeva menghadapi mereka berdua?" Elsa masih terus mengomel hingga ia keluar dari lift dan berjalan menuju lorong divisinya. "Menghadapi siapa?" tanya Daska yang entah sejak kapan berada di belakang Elsa. "Oh, ya Tuhan!" seru Elsa terkejut dengan kehadiran Daska yang seperti hantu. Daska tadi baru dari kamar mandi saat melihat Elsa keluar dari lift dengan omelan dari mulut perempuan ity. Ia semakin tertarik saat Elsa mengucapkan nama Jeva. "Kau tadi mengatakan jika Jeva harus menghadapi seseorang. Siapa?" tanya Daska lagi. "I-itu..." Elsa terlihat gugup. "Itu bukan urusan Pak Daska. PRIVACY!" Elsa sengaja menekankan kata kapital supaya Daska tidak bertanya lebih jauh lagi. "Ehm, baiklah." Daska menggaruk rambut belakangnya salah tingkah. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." Elsa buru buru pergi bahkan sebelum mendengar balasan dari Daska. Daska menatap kepergian Elsa dengan raut wajah yang sulit di tebak. ***** Jeva duduk diam di balkon apartemennya. Lampu ruang tengah sudah mati karena memang hari sudah larut malam. Elsa sudah tertidur lelap setelah mereka makan malam ditemani cerita Elsa tentang kejadian lucu di kantor. Jeva yang tidak bisa tidur, pergi ke arah balkon dan duduk di lantai dengan pandangan lurus ke depan. Menatap lamlu lampu kota dari ketinggian. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Jeva pelan. Denta. Satu nama terlintas di benaknya. “Apa aku harus menelfon Denta dan menanyakan apa yang terjadi?” fikir Jeva kemudian. Jeva melirik ponsel yang tergeletak di sampingnya. Ia lalu mengambil benda persegi tersebut, memegang ponselnya dengan erat, menimbang nimbang apakah ia akan menghubungi Denta atau tidak. Sampai pada akhirnya ia mendial nama Denta, ia berharap pria itu tidak menganti nomor ponselnya. Ia memang hanya memblokir nomor telfon Daska dan orang orang yang terlibat dengan masa lalunya, ia tidak mengganti nomornya karena akan sulit berhubungan dengan keluarganya di Malang. Jadi saat seperti ini, ia hanya membuka blokirannya pada nomor telfon Denta. Jeva berdiri gelisah menunggu nada dering. Nomor telfon Denta masih tetap yang dulu. Cukup lama Jeva menunggu. Ia berfikir jika Denta marah kepadanya dan tidak ingin menerima panggilan darinya. Wajar saja karena saat itu Jeva pergi tabpa pamit dan selama 3 tahun tak pernah memberi kabar. Jeva bahkab memblok nomor pria itu. Tuut... Ah, tersambung! "Hal..." “Yak! Bagaimana bisa kau baru menghubungiku sekarang!” teriakan dari Denta langsung menyambut pendengaran Jeva. Membuat perempuan itu harus menjauhkan ponsel dari telinganya. “Kau bisa membuat gendang telingaku pecah!” Jeva balas berteriak walaupun tak sekencang suara Denta. “Yak! Kau dimana sekarang?” teriak Denta tanpa memperdulikan ucapan Jeva sebelumnya. Pria itu sepertinya tidak ingin berbasa basi dengan Jeva. Jeva diam sejenak. “Aku di Korea,” sahutnya pelan. Ia menunduk menatap jemari kakinya, memeluk kakinya dengan erat. Angin malam menyapu kulitnya yang pucat, menerbangkan anak anak rambutnya yang tidak terikat. Denta diam sejenak. "Kenapa memutuskan menelfon, setelah 3 tahun pergi tanpa kabar apapun?" tanyanya lirih. Jeva menggigit bibirnya, menahan isakan tangis yang hendak keluar. "Maaf," ujarnya pelan. " Maaf karena menjadi pengecut dan kabur dari masalah." "Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Jev," ujar Denta. "Aku tahu, aku salah. Aku sungguh minta maaf Ta. Aku hanya butuh waktu untuk...." "Kalau begitu sekarang kau sudah cukup waktu, makanya menghubungiku." Ucapan Denta terdengar sarkas. Jeva hanya diam, tak bisa membalas ucapan Denta. "Aku tidak ingin bicara lagi. Sudah malam. Lebih baik kau tidur," ucap Denta kemudian. "Ta, aku...." "Sekarang aku yang butuh waktu, Jev," ujar Denta lirih. "Baiklah." Jeva mengerti. "Aku akan menunggumu sampai kau mau bicara denganku," imbuhnya kemudian. Tuuuttt. Sambungan terputus. Jeva menatap layar ponselnya dengan tatapan sendu. "Aku sungguh minta maaf, Ta. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu menghadapi masa lalu. Tapi kau harus tahu jika di sini aku juga tengah berjuang. Jeba mennyeka sudut matanya. "Aku harus kembali berjuang untuk menghadapi Daska dan bahkan juga Prasta." “Huft.” Jeva menghembuskan nafasnya lelah. "Semoga aku bisa melakukannya." Jeva lalu beranjak berdiri, menuju ranjang tidurnya setelah sebelumnya menutup pintu kaca yang mengarah ke balkon. Jeva mengambik botol obat di atas meja nakas mengambil satu buah pil tidur dan kemudian menegaknya bersama dengan air mineral. Ia lalu berbaring di atas tempat tidur, menunggu sampai obat yang ia minum mulai bekerja dan mengambil kesadarannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD