32. Apa Kita Pernah Mengenal Sebelumnya?

1461 Words
Flashback On "Kau hilang ingatan?" Katnish terkejut dengan berita yang ia dengar dari mulut Daska. "Hehm." “Berarti kau juga tidak ingat tentang Jeva?” Katnish pada akhirnya menyebutkan nama kekasih Daska. Menelaah ekspresi yang ada di wajah Daska saat ini, ia masih belum percaya dengan apa yang ia dengar dan ingin memastikan bahwa berita itu benar. “Jeva? Maksudmu Jevara?” tanya Daska semakin heran karena Katnish membawa bawa nama Jeva. “Kau mengingatnya?” tanya Katnish, dalam hati ia merasa gelisah dan lega pada waktu yang bersamaan. “Dia sekarang karyawan di kantornya Prasta,” sahut Daska. “Tunggu! Kenapa kau menanyakan Jeva? Kalian saling kenal? Sejak kapan? Apa aku juga mengenalnya sebelum dia bekerja di perusahaan Prasta?” tanya Daska panjang lebar. “Tidak.” Katnish menggeleng cepat. “Bukan apa apa. Ehm, aku hanya mengetesmu saja, aku tidak tahu jika di kantor Prasta ada karyawan yang bernama Jeva.. Jevara,” imbuhnya kemudian mencoba mengelak. “Benar tidak kenal?” tanya Daska yang masih sanksi dengan ucapan Katnish barusan. “Hehm, tentu saja.” Katnish tersenyum canggung. Perempuan itu mengalihkan pandangannya ke depan, memilih menatap pemandangan yang etrhampar di depan mereka dan menghindari tatapan Daska yang menyelidiknya. Flashback Off “Ck, kenapa aku merasa ada yang disembunyikan oleh Katnish?” gumam Daska pada ruang hampa. Pagi pagi sekali ia sudah sampai di kantor, meskipun semalam cukup mabuk namun ia tidak bisa tidur karena memikirkan obrolannya semalam dengan Katnish. Pria itu duduk terpekur di meja pantry, menatap gelas kopi di hadapannya, mendesah berkali kali karena frustasi. Tak lama kemudian, Jeva muncul dari arah pintu masuk. Jeva melihat Daska duduk termenung menghadap ke arah jendela. Perempuan itu berhenti sejenak, lalu akhirnya memutuskan untuk menyapa pria itu sekilas. “Pak Daska.” Jeva hanya menyapa Daska seadanya. “Hehm?” Daska menoleh karena merasa ada yang memanggil namanya. “Oh. kau rupanya. Mau membuat minuman?” tanyanya kemudian setelah melihat sosok Jeva di pantry. “Iya,” jawab Jeva mengangguk sopan. Perempuan itu berjalan menuju rak untuk mengambil cangkir, lalu berjalan ke arah mesin pembuat kopi dan membiarkan mesin tersebut bekerja dengan beberapa sentuhan. Kau tidak ingat tentang Jeva? “Ck, tidak mungkin aku mengenalnya,” gumam Daska mengacak acak rambutnya frustasi. “Kenapa, Pak?” tanya Jeva yang merasa mendengar sesuatu dari arah atasannya itu. Daska menoleh ke arah Jeva. “Hah? Ehm, tidak apa apa...” Daska menggeleng dengan canggung. Jeva hanya mengangguk sekilas. Ia berdiri bersandar pada bench menunggu kopinya jadi. Perempuan itu menunduk menatap kakinya yang dibungkus dengan sepatu hak tinggi. Mengetuk ngetuk lantai hingga menimbulkan bunyi samar. Daska mengamati setiap gerak gerik Jeva saat perempuan itu membuat kopi. Pria itu dalam kebimbangan, antara menanyakan kegelisahaannya kepada Jeva atau tidak. Meskipun dulu Jeva pernah bekata tidak mengenalnya, tapi Daska merasa ada yang aneh. Apalagi semenjak pertemuannya dengan Katnish kemarin. “Ehm, Jev.” Daska memanggil nama Jeva. Pria itu memutuskan untuk bertanya. Jeva menoleh dan Daska sudah berdiri di hadapannya. Mereka terpisah oleh bench dapur. Kedua ma mereka saling bertemu. Jeva mencengkeram kedua tangannya yang berada di sisi tubuhnya. Detak tak karuan itu datang lagi. Saat kedua mata mereka bertemu, perasaan tak kasat mata itu kembali muncul. "Apa kita pernah mengenal sebelumnya?" tanya Dasaka menatap Jeva dengan mata tajamnya. Jeva terkejut. Lagi. Pertanyaan yang ingin ia hindari datang lagi. Kenapa Daska harus mempertanyakan hubungan mereka? “Ehm, maksudku... mungkin saja kita pernah bertemu sebelumnya. Mungkin dulu sebelum aku hilang ingatan.” Daska mencoba untuk menjelaskan maksud perkataannya. Jeva mencoba untuk tetap tenang, ia tersenyum tipis. "Saya rasa itu tidak mungkin. Saya tidak ingat pernah bertemu dengan Pak Daska. Pertemuan pertama kita adalah di gedung ini,” jawabnya dengan intonasi yang cukup tenang. “Benarkah?” Daska mengerutkan keningnya tak yakin. “Mungkin Pak Daska pernah bertemu seseorang yang mirip dengan saya,” ujar Jeva mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. “Ehm, mungkin. Mengingat aku banyak bertemu teman perempuan,” gumam Daska pelan. Jeva mendesah lega melihat Daska sepertinya percaya dengan apa yang ia katakan. Perempuan itu mengambil cangkir kopinya. Asap mengepul dari cairan berwarna hitam tersebut. “Lalu, apa kau mengenal Katnish?” tanya Daska tiba tiba. Prang! Cangkir kopi yang berada di tangan Jeva meluncur ke lantai. Setelah melakukan gerakan GLBB, cangkir tersebut membentur lantai dan akhirnya pecah berkeping keping. Cairan yang masih panas menggenang di sekitarnya. “Jev, kau tidak apa apa?” tanya Daska yang tak menyangka reaksi Jeva akan seperti itu. Jeva tersadar dari keterkejutannya. Perempuan itu menunduk untuk membersihkan pecahan cangkir kopinya. “S-saya t-tidak apa apa,” jawabnya gugup. Sekuat tenaga menutup keterkejutannya, namun tetap saja suaranya terdengar gugup dan bergetar. Daska memutari bench dapur dan berlutut di sebelah Jeva. “Tanganmu bisa terluka,” ucapnya memegang tangan Jeva yang bergetar. “M-maaf, saya permisi dulu.” Jeva menarik tangannya dengan cepat. Perempuan itu bangkit, lalu pergi begitu saja. Daska berdiri, ia semakin heran melihat tingkah Jeva saat ia membahas tentang Katnish. “Ada apa, Pak?” Seorang office boy datang dan menanyakan bunyi prang yang ia dengan tadi. “Ehm, itu.” Daska menunjuk pecahan cangkir di lantai tanpa menjelaskan apapun, pergi begitu saja dan membuat office boy tersebut merasa heran. ***** 11.47 KST, Hotel Sunday, Seoul, Korea Selatan. Ting! Tung! Ting! Tung! Denta menggeliat di atas tempat tidurnya, pria itu menutup telinganya dengan bantal. Tidak berniat untuk membukakan pintu untuk siapapun di balik pintu kamar hotelnya. Denta menduga kalau orang itu pasti Prasta, Daska, Jeva atau teman sekamar perempuan itu yang menagih janji padanya. Ting! Ting! Ting! Tung! Dok! Dok! Dok! Suara bel pintu kembali berdering, kali disertai dengan pukulan keras di pintu. Denta bergerak gelisah karena suara gaduh yang mengganggu tidurnya itu. Dok! Dok! Dok! “Argh!” Denta menggeram marah pada siapapun orang yang berani mengganggu acara tidurnya di pagi ini. “Aku akan membunuh siapapun yang bertamu di kawasanku,” omel Denta lalu turun dari tempat tidur dengan malasnya. Pria itu bahkan tak repot repot memakai baju dan membiarkan tubuh atasnya terpampang nyata. Dengan celana panjang menggantung di pinggangnya, Denta berjalan ke ara pintu kamar hotelnya. Tak ingin melihat interkom dan langsung ingin memaki tamu yang tak di undangnya. “Sorry! Tapi saya tidak menerima tam...” Ucapan Daska terhenti saat melihat siapa tamunya pagi ini. Seseorang di depan pintu mengamati penampilan Denta saat ini. Rambut acak acakkan, celana kain warna hitam dan boxer dari merek terkenal mencuat di balik celanannya. Mulutnya terbuka lebar karena terkejut melihat kedatangannya. Orang itu tersenyum menyeringai, lalu masuk ke dalam kamar tanpa perlu bersikap sopa kepada si pemiliknya. Denta tersadar dari keterkjutannya. “Yak!” Pria itu menyusul masuk ke dalam setelah menutup pintu dengan kencang. Ia menatap tamu kurang ajar itu dengan mata tajamnya. “Apa yang kau lakukan di tempatku? Bagaimana kau bisa tahu aku ada di Korea dan menginap di hotel ini?” tanyanya bertubi tubi tubi. “Mudah saja mencari informasi tentangmu,” sahut orang itu tak acuh, berjalan dengan santainya menuju sofa panjang tanpa memperdulikan si pemilik kamar. "Yak! Terserah kau saja. Cepat katakan apa maumu dan segera pergi dari sini! Kau mengganggu acara tidurku!" omel Denta. "Ck, ini sudah siang! Aku bahkan baru saja selesai bekerja!" Orang itu balas mengomel. "Haha, kau sedang memamerkan betapa kerja kerasnya dirimu," balas Denta tertawa sarkas. "Aish, lupakan!" Orang itu berbalik, lalu tersenyum menyeringai. “Daska hilang ingatan ‘kan? Dia tidak mengenal Jeva lagi.” Katnish duduk di sofa ruang tamu kamar yang disewa Denta, menyilangkan kakinya dengan kearoganannya. “Menurutmu apa aku harus melakukan serangan balik pada si jalang itu?” tanyanya kemudian tersenyum menantang. “Kat...” Denta menggeram namun tak meneruskan ucapannya. “Well, sebenarnya aku sudah mengambil satu keputusan.” Katnish tersenyum menyebalkan. “Aku bertemu dengan Daska kemarin dan dia menerimaku dengan baik. Kami menyelesaikan kesalahpahaman di masa lalu dan hubungan kita... menjadi lebih baik.” Perempuan itu diam sejenak. “Setidaknya, tatapannya tidak sedingin saat di Bali beberapa tahun yang lalu,” imbuhnya kemudian. “Kau tidak mengerti situasinya,” ucap Denta dengan serius, sorot matanya menajap. “Aku kan mencoba mengerti dengan masuk kembali ke dalam drama mereka. Akan sangat menyenangkan jika bermain main dengan kisah cinta mereka.” Katnish kembali menyeringai. “Kat, kau tidak mengerti apa yang terjadi! Jadi jangan ikut campur dan biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri! Tanpa campur tangan darimu, Jeva sudah cukup menderita!” Denta berusaha mencegah Katnish untuk melakukan apa yang perempuan inginkan. “Lalu apa perduliku jika dia menderita? Aku hanya ingin merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!” Katnish menggeram marah. “Dari awal Daska tak pernah menjadi milikmu,” balas Denta dengan nada sinis. “Kalau begitu kali ini aku akan membuatnya menjadi milikku.” Katnish menatap Denta tajam. Keduanya saling melemparkan tatapan tajam. Suasana menjadi sangat tegang karena perdebatan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD