33. Luka Seperti Apa?

1030 Words
Jeva meraba dinding lift di sampingnya. Perempuan itu mencoba untuk menyangga tubuhnya yang lemas setelah berbicara dengan Daska tadi. Detak jantungnya bergemuruh, berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Pintu lift hendak menutup saat seseorang menaruh tangannya di celah pintu. Pintu kembali terbuka dan Daska muncul di hadapan Jeva. Pria itu lalu masuk ke dalam dan lift kembali menutup. Jeva tak bisa melakukan apapun, tubuhnya terlalu lemas. Dia hanya diam saja dan tak mengacuhkan Daska yang berada di dalam satu lift bersamanya. “Melihat reaksimu sekarang, aku semakin yakin jika ada sesuatu yang terjadi di antara kita. Kau sedang menutupi sesuatu dariku 'kan?” ujar Daska menunduk menatap tangan Jeva yang terluka. Pecahan cangkir tadi ternyata membuat tangan perempuan itu berdarah. Jeva yang awalnya menunduk, mendongak menatap Daska. “Terserah Pak Daska saja. Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang hubungan kita karena memang tidak pada yang perlu dijelaskan. Faktanya kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya,” ucapnya dengan nada yang tenang. Atur nafas secara perlahan, hirup, hembuskan, hirup, hembuskan, hirup, hembuskan. Jeva berusaha menetralkan detak jantungnya. Daska bergerak dan berdiri di hadapan Jeva. “Jev, semakin kau mengelak, aku semakin yakin kalau kita pernah berhubungan.” Daska masih tak mempercayai ucapan Jeva begitu saja. “Sudah berapa kali saya bilang kalau kita tidak pernah ada hubungan.” Jeva menaikkan sedikit nada bicaranya. Daska sedikit terkejut melihat reaksi Jeva saat ini. Lalu tiba tiba jantungnya bergemuruh. Pintu lift di belakangnya terbuka setelah berdenting sekali. “Kalau memang kita saling mengenal, jika ingatan itu memang indah.” Jeva diam sejenak, menatap kedua manik mata Daska dengan tatapan sendunya. “Kenapa saya harus menghindar? Kenapa saya memilih untuk melupakannya?” Tatapannya berubah dingin. “Kenangan yang indah akan selalu di ingat dan kenangan yang buruk akan di coba untuk di lupakan.” Setelah mengatakan hal tersebut, Jeva bergegas pergi. Ia tiba di lantai dasar, ia berniat untuk menenangkan dirinya sebelum mulai bekerja kembali. Daska tak lagi menyusul Jeva. Pria itu berdiri terpaku di dalam lift, tangannya meraba dadanya yang terasa sesak dan sakit. Pria itu meringis saat sesak itu semakin kuat. Terlebih lagi saat ia melihat sorot terluka dalam mata milik Jeva tadi. Ia mendesis pelan, tubuhnya mundur ke belakang membentur dinding lift. “Argh, ada apa dengan dadaku? Kenapa terasa sesak?" gumam Daska lirih. "Apa aku pernah membuat luka di hati Jeva? Apa aku pernah membuat perempuan itu menderita?” imbuhnya menatap Jeva yang berdiri di luar gedung kantor. Ia terus menatap perempuan yang berdiri memunggunginya itu sampai akhirnya pintu lift nyaris menutup dan ia bergegas keluar dari lift. Prasta baru saja menginjakan kakinya di lobi perusahaannya saat melihat Jeva keluar dari lift. Pria itu hendak menghampirinya karena memang ada yang ingin ia bicarakan terkait pekerjaan. Namun langkahnya terhenti saat perempuan itu melewatinya begitu saja. Dan pada saat itu ia melihat muara tangis di pipi Jeva. “Jeva menangis?” gumam Prasta dengan kerutan di dahi. Pria itu lalu mengalihkan tatapannya ke arah lift. Ia melihat Daska masih berdiri di dalam sana, berdiri mengarah ke pintu lift. Prasta bergegas menghampiri saudara kembarnya itu sebelum pintu lift kembali menutup. Ia berhasil masuk ke dalam tepat sebelum pintu besi itu menutup. “Apa yang terjadi? Kenapa aku melihat Jeva keluar dari lift dalam keadaan menangis?” tanya Prasta kepada Daska. Nada suaranya menuntut, entah apa penyebabnya. Padahal, jika itu urusan pribadi Daska dengan perempuan lain, ia tidak akan ikut campur. Ia akakn memilih tak acuh dan membiarkan Daska menyelesaikan masalah pria itu sendiri. Tapi hal ini besa. berbda karena perempuan itu Jeva. Daska memutar tubuhnya ke samping untuk menghadap saudara kembarnya. Prasta dapat melihat jika ekspresi pria itu sama mengenaskannya. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka berdua?” gumamnya dalam hati. “Lebih dari itu, Pras. Sepertinya aku melukainya lebih dari sebuah tangis,” jawab Daska dalam hati. “Bodohnya, aku tidak tahu apa yang telah terjadi di antara kita,” imbuhnya masih di dalam hati. “Das, jawab pertanyaanku!” sentak Prasta karena Daska tak kunjung bersuara. “Ehm, tidak ada." Daska memilih bungkam. "Kita hanya bertengkar terkait pekerjaan. Aku hanya sedikit membentaknya karena pekerjaan,” jawab Daska pada akhirnya. “Hanya masalah pekerjaan dan Jeva menangis seperti tadi?” tanya Prasta sanksi. Tidak percaya begigtu saja dengan penjelasan Daska barusan. “Itu benar." Daska kembali menegaskan. "Mungkin aku yang terlalu keras padanya. Beberapa hari ini aku memang memberinya banyak pekerjaan, mungkin dia terlalu lelah dan pada akhirnya jadi sensitif,” terang Daska panjang lebar mencoba meyakinkan saudara kembarnya bahwa tidak ada hal yang serius pada mereka. Prasta menghela nafas, saat ini ia hanya bisa percaya dengan ucapan Daska. “Seharusnya kau tidak terlalu keras padanya,” ujar Prasta pada akhirnya. Daska hanya tersenyum tipis. "Seharusnya," gumamnya tersenyum kecut. “Aku akan memindahkan Jeva dari divisi keuangan,” ucap Prasta kemudian. Daska menoleh dengan cepat ke arah Prasta. "Apa maksudmu?" tanyanya lirih. "Hanya karena aku membentaknya sampai menangis dan kau langsung memindahkannya ke divis lain. Kau membuatku terlihat sebagai atasan yang buruk," ujarnya tak suka dengan keputusan Prasta barusan. “Aku tidak membuat keputusan itu karena hal barusan. Aku sudah memutuskannya sejak lama. Aku akan menjadikan Jeva sebagai asistenku. Kita akan kembali ke Jakarta, bulan depan dan saat kita sudah berada di kantor utama, pekerjaannya sebagai sekretarisku akan di mulai.” Prasta menjelaskan tentang rencananya kepada Daska. “Kenapa? Benar, bukan karena tadi Jeva menangis?” tanya Daska masih sangsi. “Ck, tentu saja benar,” sahut Prasta. “Aku sudah bilang kalau keputusan ini sudah sejak lama. Aku menyelidiki background Jeva sebelumnya dan ternyata dia pernah bekerja menjadi sekretaris walaupun hanya sebentar,” imbuhnya kemudian. “Ah, dia ternyata pernah bekerja di perusahaan utama kita di Jakarta.” Prasta teringat denga fortofolio milik Jeva dan menemukan fakta mengejutkan itu. “Dia pernah bekerja di Wenas Corporation?” Daska cukup terkejut mendengar berita baru itu. “Apa mungkin kita mengenal saat di Jakarta?” gumamnya pelan. “Hah? Kau bilang apa?” tanya Prasta menoleh ke arah Daska. “Tidak. Tidak ada.” Daska menggeleng cepat. “Aku akan minta maaf dengan Jeva nanti,” ujarnya sebelum kemudian berjalan ke luar lift saat mesin kotak itu berhenti. Prasta hanya mengangguk sekilas. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD