Ada perasaan kecewa dalam diri Dion atas penjelasan Frey mengenai kado sebagai hadiah undian, rupanya itu adalah cincin yang akan diberikan kepada Metha sebagai ikatan pertunangan malam ini. Dengan memaksakan diri tetap tersenyum, Dion pun menganggap ini hanya nasib sialnya.
"Enggak apa-apa kan kalau aku minta lagi hadiah itu?" Frey merasa tidak enak hati.
Dion pun terbangun dari lamunan nya. "Eh, iya. Enggak apa-apa dong! Santai aja, aku ambil di mobil nya Ganish deh."
Secara spontan, Frey mencekal tangan Dion hingga dia terbangun dengan cepat. Jarak mereka pun semakin dekat, dengan lincah Frey memberikan kode kepada orang kepercayaannya untuk segera meninggalkan kamar.
"Udah, enggak usah diambil. Biar aja orangku yang ambil dan bicara sama sopir pribadi Ganish." ujar Frey melarang, dia pun masih menggenggam erat tangan Dion.
"Oh gitu," Dion merasakan detak jantung kian cepat dan berpacu layaknya mendapat hal istimewa. "Takutnya aku lupa, jadi barang kamu enggak sampai di tangan. Kan sayang."
"Enggak masalah kok, biar orangku yang ambil." tutur Frey lagi masih dengan nada pelan.
"Ya," jawab Dion lemah, doa masih tidak memahami apa yang sedang terjadi malam ini. Selayaknya perasaan yang dipermainkan oleh situasi. "Aku paham, tapi kalau boleh tau … Malam ini acara tunangannya 'kan?"
"Iya, malam ini aku sama Metha tunangan." jawab Frey terpaksa membeberkan.
Lalu Dion memaksakan diri untuk tetap tersenyum, walau sangat kecil. "Oh, selamat kalau gitu. Ini pasti kado istimewa buat kamu."
"Terima kasih, Dion. Tapi … Aku tidak ingin." tiba saja Frey berkata demikian. Namun, terlihat Dion menyipitkan mata.
"Apa? Tadi bilang apaan kamu? Tidak … Tidak …,"
Frey merasa senang ketika Dion kebingungan karena kurang mendengar perkataannya beberapa detik lalu. "Udah, lupain. Aku mau minta bantuan kamu, setelah orangku ambil hadiah undian itu, aku minta kamu pegang sampai puncak acara ya. Sampai … Aku kasih cincin itu ke Metha."
"Oh, maksudnya surprise gitu ya?" tanya Dion sambil tertawa kecil, bermaksud menggoda. Tetapi, sebenarnya Dion terluka parah.
"Iya,"
"Ugh … Kamu romantis banget deh, Frey. Calon istri kamu pasti suka," Dion menangis dalam angan. "Punya calon suami yang perhatian, romantis juga …,"
"Aku buat kejutan ini, karena permintaan Papa Metha. Dia … Pingin aja liat putrinya seneng, karena hidup Papa nya si Metha enggak lama lagi." celetuk Frey tanpa menggugat pernyataan.
"Dia sakit?" tanya Dion pelan.
"Ya, dia … Sakit kanker." jawab Frey singkat.
Tetap saja itu tidak akan mampu mengubah hati Dion yang saat ini telah merasakan luka menganga luar biasa. Dion pun sesekali melihat keluar, kadang juga ke arah langit kamar menahan air mata yang hendak menetes.
"Oh, ya udah. Kalau gitu ayo bikin kejutan nya sekarang," Dion mengambil tas mungil menyimpan ponsel dan kartu ATM. "Aku kan juga enggak sabar liat kamu … Kasih kejutan itu buat Metha."
Tanpa ada gerakan yang berarti dari Frey, dia masih saja memegang erat tangan Dion. "Aku mau tanya satu hal sama kamu, Dion."
"Tanya apa?" mendadak Dion sadar, jika Frey masih menguasai tangannya.
"Yang temen-temen bilang, beneran kamu udah punya anak?" tanya Frey sebenarnya sedikit takut.
Kini pandangan Dion lebih intens di wajah Frey. "Ya, aku udah punya anak. Kenapa? Kamu … Malu punya temen janda kayak aku?"
"Bukan," Frey menelan ludah. "Aku … Cuma risih, sama … Hati ini, itu aja."
Ucapan Frey begitu menekan d**a Dion. Terasa begitu menyakiti. "Risih kenapa? Kan kita cuma temen, lagian status janda bukan aib kok. Itu adalah keputusan yang memang membekas sampai kita mati, tapi … Itu bukan hal yang memalukan, iya 'kan?"
"Kamu sama sekali enggak memalukan, Dion. Enggak. Cuma … Kenapa seperti ini? Maaf, maaf Dion. Aku … Enggak ada maksud apa-apa kok." ungkap Frey telah salah dalam memilih topik pembicaraan malam ini, padahal dia bermaksud mengajak Dion untuk berbicara soal hatinya.
Air mata Dion mulai menggenang. Sebenarnya, ucapan Frey sama sekali tidak salah. Tetapi, karena rasa cinta yang tertanam membuat Dion merasa iri dan ingin diperlakukan selayaknya orang istimewa. "Santai aja, Frey. Aku enggak tersinggung kok, aman!"
"Dion,"
"Udah," Dion melepas pelan tangan Frey. "Ayo, berikan yang terbaik untuk malam ini antara kamu sama Metha."
Tanpa ada perkataan lain, Dion pun segera meninggalkan Frey begitu saja. Dia menghampiri teman-temannya dan bergabung sebagai orang yang sedang menikmati suasana malam ini. Lalu, Dion mendapati Frey baru saja menaiki panggung. Pandangan Dion pun segera ke arah lain, saat Frey menatapnya begitu dalam.
Apa maksud dari status yang ditanyakan? Dion masih saja merasakan detak jantung kian cepat, apalagi saat orang yang dimaksud Frey memberikan hadiah itu ke tangannya.
"Maaf Nona, Anda diharapkan untuk maju ke depan saat nanti …,"
"Apa? Kok aku sih, Pak? Yang lain aja deh kalau gitu yang pegang kado ini." Dion menawarkan kotak hadiah itu ke beberapa orang.
"Enggak ah, kan kamu yang dapet." ucap Ganish tidak setuju, disusul berupa anggukan kepala dari Devi dan beberapa temannya.
"Tapi kok," Dion terkejut dan tidak melanjutkan perkataannya saat kado di tangannya berbunyi lalu bergetar.
Dengan menatap pria di sampingnya, lalu mendapat kode berupa anggukan kepala Dion memahami apa yang dimaksud. Dia pun berjalan pelan, menuju ke arah Frey dan Metha berdiri sambil mengamati kedatangan Dion.
"Woah … Ini dia … Kado spesial untuk Tuan Frey."
Langkah Dion terasa begitu berat. Namun, dia mampu hingga ke bagian atas panggung. Dion pun memberikan kado mungil itu kepada pemimpin acara, lalu segera meninggalkan area tersebut.
Langkah Dion begitu cepat, kembali ke area teman-temannya berkumpul. Sempat dia menyapa Devi dengan senyum penuh, menunjang situasi bahwa dia dalam keadaan ceria. Tetapi, tiba saja Dion meneteskan air mata ketika melihat Frey memakaikan cincin untuk Metha. Hancur, Dion tidak bisa menghentikan tangis meski telah dicegah.
Dada Dion terasa begitu sesak, dia segera berlari kecil menuju ke kamar mandi. Seketika di dalam sana, Dion membungkam mulutnya erat-erat. "Cukup, Dion. Cukup!"
Tidak bisa. Dion semakin terluka, dia membenamkan wajahnya ke dinding sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Diam. Ya, Dion pun mampu kembali tenang setelah bisa meredakan perasaan tanpa mampu berhenti menangis.
"Ya, Tuhan. Tolong aku," Dion terus menekan-nekan dadanya yang sesak. "Tolong, buat aku menjadi orang yang tegar, aku sama sekali enggak ingin begini. Aku … Harus tau diri, aku harus lakuin ini. Aku … Udah punya anak, aku udah pernah menikah. Mana mungkin …,"
"Dion,"
Suara itu, begitu lemah saat memanggil. Dion pun mengangkat wajahnya, dia menatap ke belakang. "Ganish."
Wajah wanita berparas cantik itu pun mendadak semu, dia mendekat dan membelai pundak Dion. "Aku tau betapa hati itu sangat sakit, tapi … Kamu harus sabar, Dion! Kamu … Harus tau, kalau kamu lebih penting dari semua urusan ini. Kamu kuat!"
Dion menghapus air matanya, sehingga jejak hitam dari make up pun membekas di area kelopak mata. "Aku … Cuma …,"
"Udah, cukup! Jangan dijelaskan, jangan bikin kamu berat hati! Sudahi, ayo kamu baik-baik lagi!" ucap Ganish begitu lembut, terdengar sangat mendukung jiwa Dion saat ini.
"Terima kasih, Ganish. Tapi maaf, aku harus melakukan sesuatu. Aku harus pergi." pekik Dion seketika melepas sepatu hak tinggi nya, dia langsung berlari keluar dari kamar mandi.
Tidak ada yang Dion pedulikan malam ini, tanpa alas kaki dia segera keluar dari gedung acara dan berlari ke jalan raya. "Maafin Mami, sayang. Udah ninggalin kamu, maaf ya. Besok lagi, kalau malam Mami pasti di rumah ya! Temenin Yoda belajar."
Apa yang terucap, saat menunggu taksi berlalu di depannya tiba saja wajah Yoda muncul di ingatan Dion. "Tau gitu, tadi Mami di rumah aja sama Yoda. Maaf ya, Nak. Maaf."
Menunggu sekitar 15 menit barulah taksi datang, Dion segera mencegah dan mendapatkannya. Dia segera naik, mengatakan arah ke mana tujuannya. Sambil membersihkan wajah dengan tangan, Dion sempat melirik ke arah gedung pencakar langit itu. Selamat tinggal. Dalam hati berbicara, Dion menganggap ini adalah hal paling bodoh yang sudah dilakukannya.
[...]
Suara itu menggelegar, membuat orang-orang yang baru saja memarkirkan kendaraan menoleh seketika ke arah di mana Dion memarkirkan motor dengan kekuatan penuh 4 silinder. Termasuk Frey, yang baru saja keluar dari mobil melihat Dion melepas helm hitam nya.
Dion dan Frey sempat berpandangan. Tetapi, Dion memilih mengakhiri dan segera melangkah cepat menuju tempat Gym. Sekilas dia melambaikan tangan ke arah Frey, kali ini Dion mencoba untuk bersikap biasa saja. Ya, ini semua agar dia mampu berpikir lebih bijak kepada dirinya sendiri.
"Hai, Coach Dion." sapa salah seorang, dan itu membuat Dion memukul lengan salah satu member setia VEOSTRA.
"Ah, gila Mbak Dion keren. Motor baru? Boleh dong, test drive!" seseorang dari belakang Dion, memberi teguran.
Lalu Dion berbalik arah ketika baru saja membuka loker. "Boleh, kapan mau test drive?"
"Woah … Nantangin nih?"
Dion mengangkat kedua bahu. "Siapa takut?"
Tidak lama setelah membahas soal tantangan, walau itu sebuah gurauan semata Dion seketika berpaling ketika Frey sudah berada di ruang penyimpanan barang. Mereka sempat bersitatap, hanya saja Dion enggan menyapa lebih jauh karena dia telah berjuang semalaman untuk bisa menerima kenyataan.
"Dion,"
Baru saja Dion berjalan beberapa langkah, suara Frey sudah mencegah. Dia terpaksa menoleh, dengan wajah biasa dan tetap memberikan senyum Dion bertanya, "Ya, kenapa Frey?"
Sikap itu memang terlihat tidak biasa, pasalnya Dion sering menyapa Frey lebih lama. Tetapi, kali ini lain. "Um … Enggak, enggak ada apa-apa kok."
"Oh ok, aku masuk dulu ya." ucap Dion berusaha sesingkat mungkin untuk berbicara kepada Frey.
"Ya, ok. Nanti aku nyusul." jawab Frey ragu ingin mengajak Dion sebagai partner olahraga hari ini.
"Ok,"
Kemudian Dion pergi, dengan langkah berat dan memang dia ingin menepis semua rasa tetap saja dia harus merasa terluka lagi. Di dekat pintu masuk, Dion seketika menemukan keberadaan Ganish. Dia sempat celingusan, kemudian Dion pandai mengatur sikap menjadi biasa.
"Hai, sayang. Aku pikir kamu enggak masuk hari ini." sapa Ganish.
Tiba saja Dion menempatkan telunjuk ke bibir, tanda supaya Ganish tidak berbicara lebih jauh. "Aku baik-baik aja, kok."
Ganish yang memiliki usia lebih tua dari Dion pun memahami apa perasaan yang ada. "Ya udah, hari ini kamu mau latihan apa?"
"Aku … Mau latihan kaki, mau ikutan?" tanya Dion pelan-pelan menggerakkan kaki sebagai warming up.
"Boleh," Ganish tampak senang. "Aku juga baru 2 variasi sih ini, kamu nanti bimbing aku ya? Soalnya …,"
Suara Ganish terhenti saat dia melihat Frey baru saja masuk, dia menarik napas sambil melihat ke arah Dion sebagai tanda sesuatu. Tetapi, Dion yang malas mendapat kode akhirnya kebingungan. "Ah kamu ini, enggak ada apa-apa kok Dion cantik."
"Ih, apaan sih kamu? Jangan panggil cantik deh! Males," Dion masih saja menggerakkan kaki untuk pemanasan. "Lagian ya, terlalu menor tuh kamu nyuruh keponakanmu buat …,"
Kini justru Dion yang terdiam melihat Frey berada di alat yang ada di belakangnya. Doa menggeser posisi, lalu mulai memasang beban pada besi Smith. Mulai menempatkan kedua kaki sejajar, memasang aba-aba bagi punggung menopang beban untuk squat.
"Semangat, Dion." Frey memberi dukungan.
Dion pun melirik sekilas Frey, lalu menatap Ganish yang pura-pura tidak melihatnya. "Pasti!"
Dengan sesi beberapa detik diawal saat Dion akan mulai berlatih, dia menyelesaikan dengan tempo yang baik. Semua itu diperhatikan secara menyeluruh oleh Frey, dia pun tersenyum kecil sambil mengatur beban mesin yang menjadi andalan.
Keadaan berlangsung selama 30 menit lamanya, setelah Dion merasa puas menghajar sesi kali ini dia jn mengajak Ganish untuk berpindah tempat. Lebih tepatnya menggunakan alat olahraga lain, dan menghindari Frey. Namun, begitu sulit untuk Dion membangun rasa tanpa apa-apa. Frey rupanya kini aktif di dekatnya, meski tanpa saling berbicara tetap saja Dion terganggu.
"Hei, giliran kamu!" pekik Ganish mengejutkan Dion, dia sengaja melakukan hal itu supaya Dion tidak salah dalam bersikap.
"Iya," Dion bergegas mengatur posisi duduk di mesin Leg Extension. "Kamu udah berapa set?"
"Udah nambah 2 lagi, ini kamu yang terakhir ya!" ucap Ganish memberitahu.
"Iya, siap."
Tanpa ada tindakan baru dari tangan Dion, dia telah melewati pengait sehingga menimbulkan suara seperti barang jatuh. Dan suaranya begitu nyaring, membuat hampir semua orang menoleh. Tanpa kecuali Frey, dia justru mendekat secara cepat.
"Kenapa Dion?" tanya Frey membuat Dion semakin panik.
"Eh, enggak. Aku … Enggak kenapa-napa sih," Dion cepat-cepat mengatur beban yang ada di mesin. "Cuma belum siap aja, pas udah diangkat aku lupa atur beban."
"Oh, kirain kenapa. Ya udah, hati-hati," Frey menjaga jarak seperti semula lagi. "Soalnya alat itu agak berat, ya … Walau pun aman, tapi bisa aja malah kaki kamu yang cedera."
"Enggak, tenang aja. Aku bisa sendiri kok, dan sanggup soalnya ada Ganish." ucap Dion mengarahkan, supaya Frey tidak ikut campur dalam latihan hari ini.