Jarak semakin terjadi saat pertunangan itu ada, Frey merasakan hal itu. Tetapi, dia sadar akan sesuatu yang belum dilakukan. Mengganti hadiah Dion. Ya, dia ingat betul saat mengatakan bahwa hadiah undian itu akan digantikan dengan sesuatu yang lain. Namun, bukan menyiapkan justru Frey memilih untuk pergi ke toko perhiasan.
Sambutan datang dari sang penjaga toko, Frey pun diberikan tempat duduk saat dia mulai melihat-lihat beberapa berlian yang dipajang di etalase. Kemudian Frey menemukan satu model unik dari sebuah cincin. "Pak, bisa liat yang ini?"
"Oh boleh dong. Bentar ya!"
Lalu penjaga toko pun membuka pintu, kemudian mengambil cincin yang ditunjuk oleh Frey. "Ini, silakan! Dijamin, pasti calon istri nya suka."
"Bukan buat dia," Frey mengamati bentuk bulat dikelilingi oleh beberapa macam perhiasan permata asli. "Bagus, tapi kira-kira … Kalau badannya agak kecil, tinggi 170an terus dia agak tomboy gitu kira-kira pantes enggak ya?"
"Hm … Pantes sih, Pak. Tapi … Coba aja yang mau pakai diajak ke sini!" ujar sang penjaga toko.
"Ah, jangan! Biar ini jadi kejutan aja!" ucap Frey ragu, bagaimana bisa dia berpikiran akan memberikan Dion cincin. Yang benar saja?
"Apa mau liat model yang lain?" tanya penjaga toko lagi, lalu Frey melihat ke deretan cincin dari emas murni.
Sekali lagi, Frey mencoba untuk meyakinkan diri lalu memilih sebuah cincin yang menjadi pilihan utama. "Pak, tolong ini dikemas yang rapi ya!"
"Oh, ok siap!"
Lalu Frey menunjukkan kotak perhiasan berwarna biru. "Aku mau dihias juga kotak nya, misal … Sedikit lukisan."
"Ok, bisa."
Tidak lama Frey menanti kotak itu dilukis, kemudian masuklah sebuah cincin yang tengah dikuasai. Terlihat anggun, bahkan kilatan dari cahaya berlian itu terlihat begitu berkelas. "Apa iya ini bener? Dia … Janda, mana bisa keluarga bisa menerima?"
"Maaf, Pak. Anda berbicara sesuatu?" tanya penjaga toko, karena Frey terdengar seperti berbicara.
"Ya, aku cuma bicara sama diri sendiri." pekik Frey menertawakan usahanya kali ini, benar-benar sulit dipercaya jika dia membeli sesuatu untuk wanita lain. Dan itu berupa cincin.
"Ok, kalau gitu berapa total semuanya?" tanya Frey mengeluarkan dompet dari kantong celana.
"Sebentar ya, Pak. Saya buatin nota dulu." ucap seseorang yang menangani pembelian emas.
Frey menunggu lagi, tidak lama keluar hasil total p********n yang tertera di layar komputer. Kemudian Frey memberikan kartu sebagai p********n elektronik. "Ini, tolong surat jangan dimasukkan ke situ ya!"
"Baik, Pak."
Ini bukan masalah besar, hanya saja Frey harus berperang dengan keadaan jika sampai diketahui oleh orang lain atau keluarga. "Kalau dikirim ke alamat tujuan langsung, bisa?"
"Bisa, Pak. Mau dikirim ke mana?" penjaga toko mulai menyiapkan kertas kosong.
Frey berpikir kembali, ini akan sangat aneh dan mengganggu hidupnya. Lagipula Frey sama sekali tidia tahu di mana tempat tinggal Dion. "Ah, biarin aja deh! Biar nanti aku kirim sendiri."
"Oh, kalau gitu silakan dicek lagi aja Pak! Biar kalau ada keluhan lain, kami bisa segera menangani." ucap sang penjaga toko.
"Ya, ok." kemudian Frey membuka kembali kotak perhiasan, mengeluarkan cincin dari pengait yang ada dan sempat membolak-balikkan benda tersebut.
Semua keadaan aman, dan Frey semakin jatuh cinta akan cincin di tangannya. "Enggak ada yang kurang, menurutku barang ini bagus kok."
"Oh, baik deh Pak. Kalau gitu saya ambil kantong buat bungkus dulu ya?" penjaga toko kemudian berpaling, dia menyingkirkan beberapa nota kosong yang tak dibutuhkan lagi.
Usai mengurus semuanya, Frey pun beranjak dari tempat duduk. Tetapi, saat baru akan keluar dari toko emas dia melihat pria sebagai saudara kandungnya. Esa, kakak Frey satu-satunya. Meski dia hendak menghindar, rupanya Frey sudah kepergok lebih dulu.
"Bro, kamu ngapain di sini?" Esa setengah berteriak, lalu mendatangi tempat Frey berdiri.
Cepat-cepat Frey memasukkan cincin ke dalam saku. Tetapi, rupanya Esa sudah melihat lebih dulu. Sial. "Ini, cuma beli perhiasan aja."
Esa yang semula sedang fokus ketika menelpon, kini mendadak panggilan diakhiri dan seketika mengalihkan pandangan serius ke Frey. "Perhiasan? Buat Metha? Kan baru kemarin kamu kasih dia perhiasan hampir sama tokonya? Ini … Kamu beli lagi?"
"Enggak sih, rencananya ini … Mau dikasih kalau kita bulan madu." terpaksa Frey memberikan jawaban palsu.
Kini Esa mengangguk paham. "Oh, iya. Hampir lupa, kan rencana kalian mau bulan madu ke Hawaii ya?"
"Mungkin yang deket aja sih," Frey menatap ke dasar lantai, supaya rasa khawatir dan gugup sedikit reda. "Soalnya … Aku masih ada kerjaan, biar kurus dulu semuanya."
"Iya bener, bener banget. Ya udah, kamu ini mau ke mana? Sibuk enggak?" tanya Esa menatap ke belakang Frey, dia mengamati isi etalase.
"Enggak sibuk sih, kenapa? Mau ditemenin milih perhiasan buat calon?" tanya Frey, dia bertujuan menggoda Kakaknya.
"Ah, enggak juga sih. Siapa calon? Belum ada deh, nangi aja lah. Biar satu-satu dulu, kalau kamu sama Metha udah nikah." ungkap Esa sedikit malu.
Lalu Frey merangkul saudaranya. "Bang, tenang aja deh. Kamu itu ganteng, tajir, baik, penyayang, sama …,"
"Rajin menabung?" Esa menimpali, dan itu membuat dia dan Frey tertawa.
"Ya udah deh, kapan-kapan aja aku ke sini lagi. Ini kita ngopi aja gimana? Mumpung kita ketemu dan ada waktu, 'kan? Mau?" Esa menawarkan sesuatu, karena kebetulan mereka jarang sekali bisa memiliki waktu untuk berdua.
"Boleh, ayo mau di mana?"
Esa menuding sebuah kafe di depan toko emas. "Di sana aja, enak! Baru buka."
"Ok, ayo!" Frey terlihat bersemangat, dan semua itu juga muncul dalam diri Esa.
Setelah berjalan beberapa meter dari toko, Frey dan Esa kini telah berada di sebuah kafe yang menyediakan aneka kopi hingga ratusan menu. Mereka terlihat tenang, melihat buku menu yang sudah tersedia di meja.
"Pesen apa kamu, Bro?" tanya Esa melirik Frey.
"Ah apa aja deh," Frey meletakkan buku menu begitu saja. "Yang enak aja, soalnya aku bakalan trauma kalau enggak enak!"
Langsung saja Esa tertawa kecil, dia menunjukkan menu yang tertera kepada pelayan. "Iya, itu aja dulu Mbak. Kalau ada menu lain, nanti kita kabarin ya!"
"Baik, Pak. Kami akan segera menyajikan untuk Anda." ucap pramusaji, lalu meninggalkan tempat Frey dan Esa.
Kemudian Esa kembali fokus akan wajah Frey, dia mendapati adiknya sedikit berbeda. "Hei, kenapa? Kayaknya capek gitu? Calon manten, maklum ya."
Frey tersenyum tipis. "Ah, enggak juga. Ini karena semaleman aku enggak tidur, lembur sampai hampir pagi. Gila, 'kan?"
"Kamu itu kan bos, masak sih enggak percaya sama karyawan? Terus, fungsi mereka di kantor apa? Jangan nyiksa diri deh, sekali-kali santai. Jangan tegang terus otaknya." Esa menyarankan.
Frey hanya menggulung bagian kain pada lengan, melepas jas kemudian mengendurkan dasi. "Bukan enggak percaya, biar semua pekerjaan selesai tepat pada waktunya. Udah, itu aja!"
"Aku tau kamu itu pekerja keras, Frey. Tapi … Perlu pikirin diri sendiri juga," Esa segera menggeser letak vas bunga mawar untuk menaruh gelas minuman. "Kapan waktu kamu sama Metha? Dia … Sering tanya kabar tentang kamu, terus aku lagi sama kamu atau enggak, ya … Macam-macam lah."
"Dia masih aja tanya gitu?" Frey kesal, pasalnya Metha sering menanyakan hal yang sama kepada teman dekatnya.
"Wajar, sih. Dia khawatir."
Frey menggelengkan kepala. "Itu bukan karena dia khawatir, Bang. Tapi memang Metha orangnya cemburuan."
"Cemburu tanda sayang, atau cinta?" tanya Esa menggoda.
"Tanda dia tidak percaya!" ucap Frey seketika, hanya saja dia memandang ke arah lain menyatakan bahwa dirinya memang sudah kurang dalam menjamin perasaan.
"Tandanya dia … Takut kehilangan kamu sih, yang jelas." tambah Esa.
Frey mengaduk kopi gula aren nya. "Ya udah, kita bahas hal-hal yang lain aja! Gimana sama kerjaanmu yang baru, Bang?"
"Aman," Esa mengeluarkan rokok elektrik nya dari kantong jas. "Aku masih butuh karyawan lagi sih, buat di kantor sama gudang."
"Mau aku bantu cari?" Frey menawarkan diri.
Lalu Esa menyeruput minuman dari teh dan krim di atasnya. "Aku udah minta bantuan sama temen sih, dia … Juga udah ahli di bidang marketing. Makanya sekalian aku suruh buat iklan."
"Oh, ok. Bagus deh, semoga makin maju ya bisnisnya." Frey berdoa.
"Ya, aku juga enggak mau kalah dong sama kamu." ungkap Esa menimbulkan senyuman Frey memudar.
Sejenak keadaan menjadi sepi, Frey melihat ke area sekitar dan mendapati Dion menggandeng anak kecil. Dia berniat mendekat, jika saja Frey sedang tidak bersama Esa. Dia pun hanya memerhatikan dari jauh, semua itu membuat keadaan menjadi tidak karuan di dalam hati Frey.
"Hei, Bro. Kamu denger aku ngomong, 'kan?" tanya Esa, membuat Frey terkejut.
Dalam pertanyaan itu, Frey sempat melihat juga Esa menatap ke belakang. Walau melihat Dion, tentu Esa tidak akan tahu apa yang sedang dilakukan oleh Frey. "Enggak, cuma lagi liat orang-orang yang lewat aja."
Masih merasa beruntung karena Frey mendapati Dion segera masuk ke dalam toko pakaian anak-anak. Wanita itu tidak menyadari akan keberadaannya, Frey pun bisa memerhatikan hanya dari kafe yang berhadapan secara langsung dengan toko.
"Gimana menurut kamu, Frey?" tanya Esa lagi mengulangi, di mana Frey sama sekali tidak tahu apa yang dibicarakan.
Kemudian Frey mengatur sikap, supaya Esa tidak tahu apa yang sedang dilakukan. "Tadi kita bicara soal apa? Maaf, aku lupa."
Wajah Esa hanya mengamati ke arah belakang, dia juga tidak tahu apa yang sedang dialami oleh adiknya. "Ada apa di belakang? Kamu … Lagi liatin siapa sih?"
"Enggak ada, cuma liat orang kayak mirip temen cuma … Aku salah." Frey harus berbohong, supaya Esa tidak banyak bertanya lagi.
"Oh ok, kalau gitu … Kifa lanjut ke topik berikut ya. Ini soal WO yang mau kamu ambil, itu … Gimana? Kamu sama Metha udah pilih? Apa … Perlu aku bantu juga?" sebagai pemimpin jasa penyedia wedding organizer, Esa juga tidak ingin jika adiknya kurang senpurna dalam memilih tema acara.
"Aku belum milih apa-apa, cuma … Metha udah kirim beberapa pilihan versi dia," Frey menoleh ke arah toko pakaian anak-anak. "Mungkin kalau aku udah agak longgar, bisa lah bicara lagi."
Esa seketika membanting punggung di kursi. "Kamu sibuk banget sih, kapan punya waktu berdua?"
"Kan nanti juga ada waktu berdua, apalagi kalau udah nikah. Iya, 'kan?" tanya Frey ringan.
"Ya, emang bener. Tapi enggak ada salahnya kalau kamu bahagiakan Metha sebelum hari pernikahan kalian itu!" Esa kembali mengingatkan.
"Ya, Bang. Terima kasih banyak, kamu itu orangnya perhatian banget sama aku, tapi … Tolong, ini kan urusanku sama Metha. Jadi … Ya biarlah aku sama dia yang sibuk akan hubungan ini." pekik Frey sedikit sinis, dia mulai kurang nyaman akan sikap kakaknya.
"Maaf, kamu jangan marah atau punya pendapat kalau aku itu ikut campur, sama sekali enggak kok! Cuma yang namanya saudara, jelas lah aku ingin yang terbaik buat kamu sama Metha." jelas Esa juga tidak ingin ada salah paham di antara mereka.
Frey pun enggan, hanya saja dia berusaha untuk menghormati Esa. "Hari ini sibuk, enggak? Rencana aku mau ajak kamu ketemu sama Papa."
Membahas soal keluarga, Esa masih tidak menjejakkan kaki ke rumah keluarga utama Saskara. Sejak terjadinya adu mulut Esa dan Ayahnya, itu semua karena selalu berbeda pendapat, atas kemauan dan juga kemunculan peraturan yang ketat dalam perusahaan.
"Aku belum siap," Esa memalingkan wajah. "Mungkin nanti, di acara resepsi kamu sama Metha. Baru akan datang, dan … Menemui Ayahmu."
"Ayolah, Bang. Papa juga udah tau kesalahannya di mana, cuma kan dia orang tua. Kita, sebagai yang muda, memang perlu membuat suasana kembali sejuk dan damai." Frey bermaksud membujuk, walau ini sudah sering dilakukan dan hasilnya tetap sama. Esa tidak ingin berkunjung ke rumah utama Saskara.
"Ya, nanti aja. Aku …,"
Tanpa ada perkataan yang dilanjutkan, Esa mendadak bangun dari tempat duduk. "Eh, tunggu kayaknya aku liat temenku deh. Kamu tunggu di sini bentar ya!"
Frey pun mengangguk singkat, dia tidak peduli akan apa yang akan dilakukan oleh saudaranya. Namun, karena Esa berlari kecil keluar kafe lalu berjalan lurus tepat di toko pakaian, Frey melihat Esa dan Dion asyik mengobrol sesuatu. "Jadi mereka saling kenal?"
Tanpa adanya dugaan yang awal, Frey telah salah dalam menduga karena terlihat Dion dan Esa benar-benar sudah akrab. Ini membuat Frey khawatir, sampai akhirnya dia terpaksa mengeluarkan satu lembar uang dan segera pergi meninggalkan kafe.
Terlihat dari kejauhan, Frey menangkap bahwa Esa sedang menunjukkan arah bekas tempat duduk mereka. Tetapi, Frey sudah lebih dulu pergi meninggalkan area tersebut. Ini sangat melegakan, pasalnya Frey tidak harus pura-pura untuk berkenalan dengan Dion, atau dia perlu memalsukan keadaan dan menyakiti perasaan orang lain. Walau Frey sadar, akan tiba saat di mana dia perlu menunjukkan diri bahwa dia adalah adik kandung Jessa Saskara.
"Maaf ya, Bang? Aku tau kamu menangkap sesuatu yang lain, karena memang aku jatuh cinta sama wanita lain."