LITTLE BLACK DRESS - 05

2059 Words
Sejak lulus SMA, Dion memilih untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Mahendra. Dia menyetujui perjodohan yang dilakukan Ayahnya tersebut, dengan seorang pria mapan dan berasal dari keluarga terpandang. Pria itu bernama Yarel, berdarah Portugal - Mesir. Namun, saat pernikahan belum terlaksana Dion harus menerima kenyataan bahwa Yarel telah memiliki seorang istri di negara nya. Bukan hanya itu, Dion harus menyesali seumur hidup bahwa dia telah mengandung anak Yarel saat itu. Pernikahan pun terjadi, atas tanpa diri Yarel dan semua status Dion hanya dibuat oleh Mahendra saja. Hingga saat ini, Dion telah memiliki status janda dalam kartu penduduk, dia juga mendapatkan surat cerai dari Yarel. Kehidupan Dion berbeda, dia lebih suka menyendiri dengan merawat Yoda dengan bantuan baby sitter. Juga Dion mulai menyukai olahraga karate, dia menekuni hobi nya tersebut hingga memenangkan beberapa perlombaan. Tetapi, meski sudah ahli dan sudah berada di tingkat ke sepuluh untuk karateka. Sekali dalam seumur hidup Dion sejak hancur, ini adalah kali pertama akan menghadiri sebuah pesta. Apalagi, ini adalah pesta paling berharga bagi Frey. "Kayaknya make up aku terlalu tebel deh!" seru Dion saat memandangi mata, alis dan juga bibir merah nya. "Enggak kok Mbak Dion, kamu keliatan cantik banget. Apalagi … Di pesta, dandanan menor itu keliatan biasa aja. Tenang, versi nya Mbak Dion ini natural kok." jawab sang make artis Ganish. "Tuh, kan enggak Dion sayang," Ganish mendekati Dion. "Liat deh, kamu itu cantik. Cuma dipoles make up tipis aja udah ok!" "Tapi … Bulu matanya, aku udah kayak burung gagak. Serem!" pekik Dion, tangannya menyentuh bulu mata palsu yang sudah terpasang. Ganish menampik tangan Dion yang dianggap sudah usil. "Ih, jangan dong! Udah beres, tinggal kita pakai gaun nya aja. Diem ya!" "Plis," Dion malas ketika diajak bicara. "Aku … Mau lepas aja ah! Pakai make up versiku aja!" Benar-benar jawaban Dion telah membuat Ganish mendengus kesal. "Aduh … Dion, stop! Kalau kamu hapus itu make up, beneran kamu itu norak pakai gaun punyaku!" "Enggak, kalau dasarnya gaun kamu bagus pasti bagus kok!" rengek Dion, dia enggan bangun walau sudah melihat Ganish membuka lemari. Sebenarnya Ganish sudah merasa muak, hanya saja dia juga membutuhkan Dion untuk menjadi teman saat pergi ke pesta Frey. "Kalau kamu hapus, demi apa pun aku enggak bakal kenal sama kamu lagi!" Suara Ganish mengejutkan, walau tidak menggunakan nada tinggi. "Iya, iya. Enggak aku hapus nih, ya udah. Mana bajunya?" "Nah, gitu dong! Dasar, manja! Kamu itu enggak pantes manja, kamu kudu kuat Dion!" seru Ganish sambil mencari gaun di gantungan lemari. Soal kekuatan, Dion sangat lemah. Bahkan dia tidak bisa menyembunyikan rasa sakit saat tahu bahwa Frey sudah mempunyai kekasih. "Kira-kira dia … Dateng enggak ya?" "Siapa?" Karena suara Dion menggema, Ganish pun mendengar. Tetapi, Dion segera menggelengkan kepala. "Enggak, cuma tanya Devi ikut apa enggak?" "Devi? Jelas dong, dia kan temen deket Frey. Pasti ikut, cuma tadi telepon katanya ada kerjaan dikit dan nangi langsung ke tempat acara. Tenang aja deh! Nanti juga ketemu Devi kok." seru Ganish menggoda Dion karena khawatir. "Bukan gitu," Dion pun bangkit dan menerima gaun hitam sebatas lutut dari Ganish. "Kalau enggak ada dia, suasana sepi. Iya, 'kan?" "Ih Dion, kamu sekarang udah akrab ya sama Devi? Bagus," Ganish membantu Dion melepas kaitan pada gaun. "Devi anaknya baik kok, cuma emang dia agak cerewet gitu!" "Bukan agak, tapi emang dia cerewet!" sambar Dion membenarkan, dia pun tertawa kecil ketika Ganish terpingkal mengenai Devi. Suasana di kamar besar milik Ganish semakin seru, apalagi saat Dion sudah mengenakan gaun. Entah, Ganish tidak pernah berhenti memberikan pujian hingga Dion merasa risih dan malu. Sampai beberapa menit, mobil yang akan membawa mereka ke pesta sudah siap. Dion dan Ganish pun turun dari lantai 3, di sana Dion mendapat godaan dari asisten pribadi Ganish. "Beneran deh, Mbak Dion ini cantik banget. Cuma kadang kalau aku liat pas jemput Ibu itu pakainya jeans, sama kaos oblong doang." sopir Ganish pun menggoda. "Udah Mang, jangan digodain terus! Nanti Dion gerah, dilepas deh baju mahal nya!" seru Ganish menambahkan. "Iya, Bu maaf." jawab sopir pribadi Ganish. Dion memilih untuk tidak mendengar, lebih tepatnya pura-pura tidak tahu. Dia hanya sibuk mengaca di pintu mobil, kemudian setelah Ganish masuk barulah Dion duduk di sisi kanan. "Suami kamu enggak ikutan?" Ganish menggelengkan kepala, sambil mengenakan anting. "Enggak, dia sibuk." "Oh gitu, padahal kan aku sering liat kalau kalian itu … Seringnya berdua, eh sekarang udah jarang keliatan ya?" Dion lupa, dia sudah mengurusi kehidupan orang lain. Padahal, niat Dion hanya mengajak Ganish bicara supaya mereka terlihat lebih akrab. "Iya, dia lagi sibuk. Biarin aja deh, yang penting kan uang dia. Orang buatku nomor 2." jawab Ganish, sambil mengangkat dua jarinya. Dion hanya tersenyum kecil kemudian memalingkan wajah, dia masih merasa malu sudah ikut campur atas diri Ganish. Setelah mobil melaju meninggalkan kawasan rumah Ganish, barulah Dion merasa gugup dan tegang. Dia akan bertemu dengan pria yang membuatnya bisa mengenal apa itu cinta, dan seketika tumbuh rasa sayang luar biasa. [...] Baru saja kaki mengenakan sepatu flat itu turun, Dion sudah hendak kembali membuka mobil. Namun, Ganish menahan nya. "Aku mau nunggu di dalam aja deh, aku … Malu." Bagian tubuh atas sedikit terbuka, dengan menampilkan kulit mulus Dion membuat keadaan ini semakin tidak karuan. Ya, Dion merasa kurang percaya diri. "Ganish, aku bakal beli gaun kamu kok tapi … Jangan paksa aku buat masuk ya!" "Terus, kamu sama sekali enggak menghargai usaha keponakanku?" Ganish menuntut. "Bukan gitu, aku …," Tangan Ganish sudah melingkar di pinggang dan mendorong pelan punggung Dion. "Udah, jalan! Cepetan!" "Ganish, plis!" "Dion, aku mohon ya! Aku … Enggak akan minta kedua kalinya lagi!" Ganish menekankan, dan itu berhasil membawa Dion hingga ke pintu masuk sebuah hotel bintang lima. Beberapa sambutan diberikan untuk para tamu undangan, Dion juga mendapat bingkisan kecil dari seseorang. Entah, pria berdasi hijau itu mengatakan bahwa itu adalah hadiah karena Dion masuk dengan nomor urut 99. "Aneh, kok kamu enggak dapet sih?" Dion merasa ini tidak adil, Ganish tidak mendapatkan bingkisan apa pun. "Ya udah, berarti hari ini kamu lagi hoki. Udah, terima aja! Kan jarang juga menang undian, aku aja baru tau kalau Frey merancang pesta nya dengan matang." Ganish terharu, bahkan sampai menatap ke langit ruangan sambil terpana. "Gitu ya," Dion memerhatikan bingkisan berbentuk oval, berwarna hitam dengan pernak-pernik di sisi kiri. "Beneran ini buat aku aja?" "Iya lah," Ganish bersikeras. "Udah kasih ke sopir aja, buka kalau kita di rumah!" Tanpa pikir panjang, Dion segera memberikan hadiah itu kepada sopir pribadi Ganish. Lalu dia mengikuti ke mana Ganish melangkah, di sepanjang jalan yang dilindungi oleh karpet bulu berwarna krem, beberapa hiasan bunga mengelilingi jalan tersebut, kemudian lampu yang menikam pandangan menjadi sebuah kemewahan. Pesta dengan tamu undangan sebanyak 100 orang, dihadiri orang-orang penting membuat keadaan semakin hangat. Terutama pada cara mereka memandang ke arah Dion, banyak orang merasa asing dan mengamati cara Dion berpakaian. Anggun, dan sangat cantik dengan gaya Eropa jaman dulu. "Ini beneran Dion?" Mendengar itu, Dion mendadak malu. Entah, siapa yang menegur. "I… Iya, kenapa?" "Kamu cantik banget," pria itu pun memberikan Dion segelas anggur. "Sumpah, biasanya aku liat kamu pakai kaos biasa di VEOSTRA. Ini, mendadak kayak ratu, keren!" Ganish mengerlingkan mata, membuat Dion pun tersipu. "Iya, terima kasih." "Sama-sama, cantik." Tiba-tiba suasana menjadi gelap. Lampu dipadamkan, dan suara pembawa acara terdengar membuka pesta malam ini. Sebuah sambutan datang, dan masih dalam keadaan gelap para tamu mulai bertepuk tangan saat mendengar suara Frey. Degup jantung Dion kian memaksa untuk berkeringat, dia pun tetap diam sampai cahaya kecil berasal dari belakangnya menyala. Seketika Dion menoleh, dia mendapati langkah halus menyerok tanpa suara seorang Frey. Pria itu mengenakan jas biru tua, memegang sebuah alat bantu suara dan menyambut beberapa tamu. "Terima kasih," Frey menatap hampir satu persatu orang yang berdiri mengelilingi tempatnya. "Terima kasih, atas kedatangannya. Tanpa kalian, pesta ini tidak ada artinya." "Selamat ulang tahun, Frey." datang ucapan itu dari ujung. Namun, tak terlihat karena suasana masih dalam keadaan gelap. Hampir secara bersamaan, orang-orang memberikan ucapan. Tetapi, lain akan Dion yang hanya terpaku melihat Frey lebih dekat dengannya. Tak lama, lampu pun menyala dan itu hanya berada tepat di atas kepala Dion. Tentu saja dia terkejut, mendapati Frey semakin dekat dan terus berjalan menghampiri. Lain dengan Dion yang sedang mematung karena mendapat sorot cahaya baru, justru Frey dalam keadaan bingung. Tepat di sisi kiri Dion, berdiri Metha yang tersenyum manis padanya. Ya, ini merupakan dua kejutan yang Frey dapatkan secara bersama. Dari sosok lain dari Dion yang terlihat begitu memesona hati Frey, juga dia mendapati Metha sudah kembali dari Medan. "Hai sayang," Suara lembut itu memanggil, membawa arti lain dan seketika Dion menoleh sekilas. Dia tersenyum kecil, kemudian memberi jalan untuk Metha mendekati Frey. Wanita itu begitu anggun, mengenakan gaun merah tua dengan tatanan rambut diikat habis ke belakang telah membuat Metha tampak sangat cantik. Sekilas Dion bisa membandingkan dirinya dan Metha, kini dia telah paham mengapa Frey tidak pernah meliriknya. Setelah mengalami kekecewaan karena Frey mendekat hanya untuk Metha, kini Dion pun memilih untuk menyingkir. Dia berjalan pelan ke arah kamar mandi. "Hai, Dion." Sebuah sapaan datang dari wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi, Dion pun menyambut ramah dan menyembunyikan wajahnya yang sedang tidak karuan. "Hai, apa kabar?" "Baik, aku sering liat kamu di VEOSTRA loh. Tapi … Malam ini kamu cantik banget, Dion." ucap salah seorang. "Ah, masa sih. Makasih. Ini …," "Dion," Sebuah panggilan dari belakang mengejutkan Dion seketika, dia melihat Frey sudah berada di kamar mandi wanita. Wanita yang berada di sisi Dion, seketika menyingkir. Kemudian Dion mendekat, walau hatinya masih sangat kacau dan malas untuk melakukan hal lain. "Frey, kenapa kamu di sini? Ini kan …," "Aku … Cuma mau bilang sesuatu, tapi … Kamu ada waktu?" tanya Frey antusias. "Waktu? Memangnya kita mau bicara di mana? Apa di …," "Temui aku di sini!" ucap Frey, sembari memberikan kartu kunci sebuah kamar hotel. Karena Dion merasa ada sesuatu, dia segera menolak dengan cara mendorong pelan tangan Frey. "Enggak, jangan sampai ada salah paham Frey!" Lalu Frey pun tertawa kecil. "Hei, Dion. Ini cuma … Rapat kita bertiga aja. Ada aku, kamu, dan sekretaris ku." "Memangnya kita mau … Bicara soal apa?" Dion heran, karena sebelumnya dia tidak pernah bicara hal serius dengan Frey. "Pokoknya ada, cuma emang ini mendadak. Kamu datang aja, sekitar 30 menit lagi aku ke sana." seru Frey masih pada arahan utama. "Ok, aku bakal ke sana." jawab Dion menerima kartu akses masuk dari tangan Frey. "Ok," Ini terkesan aneh dan Dion juga merasa ini mendadak. Apa yang akan Frey katakan? Walau demikian, Dion tertutup rasa penasaran yang berada tidak mempedulikan hal itu. Dion segera melangkah keluar dari kamar mandi, dia juga sempat melihat Frey berjalan ke arah lorong lain nya. Perkara yang sukar ditebak, Dion akhirnya sampai di lantai yang tertera di kartu sebagai alat untuk akses masuk. Namun, Dion ragu saat akan masuk ke dalam sana. Dia memilih diam di depan pintu, menunggu siapa yang akan datang sebentar lagi. Tetapi, tidak ada setelah Dion menunggu 30 menit lamanya. Ke mana Frey? Usai waktu yang ditentukan Frey telah habis, Dion pun tetap diam dan kini memutuskan akan pergi dari sana. Beberapa langkah menjauhi pintu, Dion mendengar langkah seseorang dari belakang. Tanpa mengenal itu, Dion buru-buru menoleh dan dia kedapatan Frey dan seorang pria mendekat ke arahnya. "Hai, Dion. Lama menunggu di sini?" tanya Frey dengan nada suara lembut. "I…Iya, aku nunggu udah lumayan lama. Kan … Kamu yang bilang bakal ke sini 30 menit lagi." Dion protes karena Frey terlambat. Terlihat Frey menundukkan kepala, lalu menata lagi ke arah Dion. "Bisa kita bicara di dalam?" Tanpa rasa ragu, karena Dion masih terpana akan wajah Frey akhirnya mereka masuk ke dalam kamar bersama satu pria. Mereka pun berujung di sofa berwarna merah terang, duduk membentuk huruf L. Frey yang memimpin saat ini, dia menatap Dion sangat dalam. "Hari ini adalah hari pertunanganku sama … Metha, aku mau kamu … Memberikan sesuatu itu sama dia. Mau 'kan?" tanya Frey memberi permohonan pada Dion. Pertama Dion tidak memahami, sampai akhirnya dia mengerti atas apa yang Frey katakan. Hadiah yang diberikan di pintu masuk itu semata kejutan untuk Metha. "Iya, masih ada dan belum aku buka kok. Hadiahnya ada tuh sama sopir nya Ganish." "Ok, terima kasih kamu udah jagain barang itu Dion. Tapi … Aku masih punya yang lain buat kamu, itu … Barang yang enggak sengaja ketuker." ungkap Frey entah kembali menatap ke dasar, seperti sedang banyak yang dipikirkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD