05. Mencoba

1307 Words
Suara musik Suplication Sami Yusuf terdengar dari kamar Ina. Ia sedang menyusun dan menata buku-buku yang berserakan di atas meja ke tempat semula. Rak buku yang ada di sudut kamarnya kini sudah rapi kembali. Semalam ia menghabiskan waktunya dengan membaca buku karangan Afifah Afra, Jangan Panggil Aku Josephine. Hobi membacanya yang dulu ia gemari dan sempat hilang kini datang lagi. Sudah berkali-kali ia baca buku itu, tidak ada rasa bosan sama sekali. Meniti jejak seorang Lady yang bernama Josephine. Kisahnya yang mirip seperti kisah Lady Diana membuat Ina berulang kali membacanya. "Dek, nanti siang kita kedatangan tamu, ya. Karena ini tamu spesial, jadi Adek langsung yang turun tangan masaknya, ya." Ucapan abangnya di pintu kamar membuat Ina menoleh dan menganggukkan kepalanya. Ina melirik jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan angka sepuluh kurang lima menit lagi. Aahh... Ternyata ia sudah satu jam lebih berkutat dengan buku-buku yang disusunnya. Hauzan sudah menghilang dari balik pintu. Ia datang hanya untuk menyuruh Ina menyiapkan masakannya untuk tamu special yang datang nanti siang. Setelah selesai, Ina bersiap keluar dari kamar. Dan di sana sudah ada Zahra yang sedang mengupas dan memotong wortel dan kentang. "Masak apa kita, Kak?" "Capcay sama kangkung untuk sayurnya, ikannya ini aja kita sambal sama tumis udang." Zahra menunjuk kangkung dan kawan-kawannya yang ada di atas meja dapur. Tidak butuh lama buat Ina meracik dan membumbui bahan-bahan yang akan dimasaknya. Begitu selesai Zahra dan Ina menata semua masakan di atas meja makan. Menjelang Dzuhur semua sudah tertata rapi dan tinggal dinikmati. Zahra dan Ina dilarang makan dulu oleh Hauzan. Biar sekalian sama tamu, begitu katanya. Dan mereka menuruti perintah kepala keluarga. Tepat pukul setengah dua siang, tamu yang disebut tadi datang. Hauzan menyambut dengan suka cita padahal baru dua hari yang lalu mereka bertatap muka. Ina baru saja melipat sajadah saat kepala abangnya menyembul dari luar. Ina menoleh dan bertanya. "Ada apa, Bang? Kok nyembul-nyembul gitu, kenapa nggak masuk aja." Hauzan tersenyum lebar. "Yuk keluar, tamunya udah datang. Kita makan bersama," ajak Hauzan. "Siapa tamunya, Bang?" Ina bertanya sembari melipat mukena dan meraih jilbab di atas tempat tidur. "Bakal calon ipar." Jawaban ambigu hauzan membuat kening Ina berkerut bingung. "Siapa sih, Bang?" Ina mendelik sebal karena abangnya hanya tertawa menggodanya dengan kerlingan mata. Mereka melangkah bersama menuju meja makan. Dan di sana sudah ada Zahra, Zulfa dan dua orang lelaki yang membelakangi pandangan Ina sekarang. "Afwan ya Akhi, lama menunggu, ya..., hehehe...." Kekeh Hauzan begitu ia menarik kursi dan duduk di atasnya. "Biasa, menunggu si manja shalat dulu." lanjut Hauzan mengerlingkan matanya ke arah Ina yang sudah duduk di samping Zahra. Ina mengangguk sebagai isyarat kepada dua lelaki tadi. Salah satu dari dua lelaki itu Ina kenali sebagai anaknya Ummi Dini, tapi ia tidak mengenali yang satunya lagi. "Ehemm..., mari silahkan makan. Afwan hanya ini yang bisa kami suguhkan pada antum berdua." Hauzan mulai mempersilakan jamuannya kepada tamunya. "Masya Allah, ini sudah lebih daripada cukup. Afwan, karena sudah merepotkanmu," ucap Zayyan tersenyum mendengar perkataan Hauzan. Mereka makan dalam diam. Ina memperhatikan kalau lelaki yang tidak ia ketahui namanya itu terlihat mencuri-curi pandang ke arahnya. Ina merasa risih dengan cara lelaki itu ketika menatapnya. "Bagaimana pertemuan tadi? Berjalan lancar kah?" Hauzan mulai bertanya setelah mereka selesai makan dan sekarang mereka duduk di kursi teras depan. Semilir angin yang berembus semakin membuat mereka nyaman. Apalagi dalam keadaan cuaca panas begini. "Alhamdulillah, atas izin Allah semuanya terselesaikan dengan cepat." Zayyan menyesap kopi yang disuguhi Ina di atas meja. Terasa nikmat sekali. Zayyan tersenyum puas. Ia merasa bahagia karena dapat melihat kembali sang pujaan hati bahkan mereka makan dalam satu meja bersama. Sudah dua kali dengan hari ini ia makan bersama sang pujaan hati setelah makan malam pertama mereka pada pertemuan pertama dalam keadaan duka pada waktu itu. "Akh Yusuf berdomisili di mana sekarang?" Hauzan beralih pada lelaki satu lagi yang dia panggil Yusuf itu. "Masih di Lhokseumawe juga. Belum pindah dari tempat asal." "Alhamdulillah. Apa masih sering berkunjung ke Ma'had setelah keluar dari sana?" "Masih sekali-kali, itu pun karena memasok peci dan sarung ke toko-toko diseputaran Dayah bahkan ke koperasi juga ada." "Dia jarang ke sana, biasanya anak buahnya yang selalu memasok barang." Zayyan menimpali dengan terkekeh pelan. Tak terasa mereka larut dalam obrolan seputar bisnis dan sesekali terdengar tawa yang membahana dari mereka. Menjelang Ashar, Yusuf pamit pulang karena ada hal yang harus ia lakukan. Tinggal Zayyan dan Hauzan yang masih betah di teras rumah. "Adakah yang ingin kau sampaikan padaku?" Hauzan mulai serius. Zayyan menoleh dan mendapati keseriusan dalam pertanyaan Hauzan. Kemudian ia menghela napas pelan dan menjawab. "Sebenarnya ada, tapi aku tidak berani mengutarakannya. Aku takut berakhir kecewa nantinya." "Apa kau menyukai Adikku?" tebak Hauzan tepat sasaran. "Ehmm.., aku harus jawab apa? Kalau aku jawab iya, tapi perasaanku tidak berbalas, untuk apa juga aku mengutarakannya." Zayyan terlihat putus asa. "Setidaknya kau sudah mencobanya dan tahu apa jawabannya nanti. Siapa tahu Adikku juga menyukaimu." "Apakah ini sinyal kalau kau merestuiku sebagai iparmu?" Zayyan terkekeh. Ia tidak menyangka kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya. "Tentu saja. Kau adalah kandidat terkuat dan yang paling aku inginkan untuk aku jadikan anggota keluargaku saat ini." "Baiklah, beri aku waktu untuk memikirkannya. Dan juga aku ingin meminta petunjuk dalam istikharahku." Ya, Zayyan harus mencoba melangkah dari zona aman yang selama ini ia pertahankan. *** Ina merasakan ada sesuatu yang janggal. Sejak kepulangan Zayyan tadi sore selepas shalat Ashar berjamaah di mushalla, abangnya terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius dan sesekali menatapnya kemudian mengembuskan napasnya kasar. "Dek, duduk sini ada yang ingin Abang tanyakan sama Adek." Hauzan menepuk sofa di sampingnya. Ina yang hendak ke dapur langsung duduk di dekat abangnya. "Abang mau nanya apa sama Ina?" "Dek, jika ada lelaki shalih yang akan meminangmu...," Hauzan berhenti sejenak melihat respon adiknya, tetapi adiknya itu hanya diam dan mendengarkan. "Apa kau mau menerimanya?" lanjutnya kemudian. Sebelum menjawabnya, Ina bertanya terlebih dahulu siapa lelaki shalih itu. "Ada, seseorang yang Abang jamin keshalihan dan kebaikannya," jawab Hauzan. "Kalau dia lelaki shalih dan orang yang Ina kenal juga, insyaAllah Ina akan menerimanya. Tapi kalau dia lelaki yang tidak Ina kenal, maka Ina akan memikirkannya terlebih dahulu." Hauzan mengangguk mengerti. "InsyaAllah ... dia seseorang yang Adek kenal." Hauzan tersenyum mendengar jawaban Ina. *** Zayyan baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur saat dering ponselnya berbunyi. Ia meraih dan menatapnya sejenak sebelum mengangkatnya. Seminggu sudah setelah pembicaraannya terakhir kali dengan Hauzan menyangkut perasaannya terhada Ina, sang pencuri hatinya yang beku dan tak tersentuh itu. Namun ia belum sempat menghubungi kembali dan bertandang ke kediaman keluarga Hauzan. Seminggu ini Zayyan disibukkan dengan berbagai kegiatan Tahfidzul Qur'an yang akan di selenggarakan di masjid tempatnya tinggal. Dan Zayyan adalah salah satu mentor yang akan membimbing asatidz—ustadz dan ustadzah yang akan mendidik anak-anak generasi penghafal Al-Qur'an. "Assalamu'alaikum...!" Zayyan bangun dari rebahannya dan bersandar ke kepala ranjang. "Wa'alaikumsalam..., Bang, maaf ya aku mengganggu istirahat antum. Aku mau nanya, Adiknya Bang Hauzan sudah ada calon apa belum, ya?" Mendengar pertanyaan dari si penelepon membuat jantung Zayyan berdegup kencang. "Ehmm... kenapa kau bertanya seperti itu, Suf?" Sebelum bertanya, Zayyan menetralkan nada suaranya terlebih dahulu. Jangan sampai suaranya terdengar cemburu. "Aku ingin meminangnya." Jawaban Yusuf bagaikan petir yang menyambar-nyambar relung hatinya. Zayyan tidak menyangka, ajakannya pada Yusuf untuk menemaninya bertandang ke rumah Hauzan minggu yang lalu memberikan dampak negatif bagi dirinya. Namun ia tidak menyesalinya. Karena ia yakin semua sudah garis ketentuan Tuhan untuknya. Mungkin saja Allah sedang menguji kesabarannya. "Aku tidak tahu. Coba kau tanyakan langsung kepada walinya." Hanya itu jawaban yang diberikan oleh Zayyan kepada Yusuf. "Baiklah, Terima kasih, ya, Bang. Assalamu'alaikum...." "Wa'alaikumussalam wa rahmatullah...." Zayyan meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Setelah mendengar keinginan Yusuf, akankah ia mundur dengan perasaannya atau ia akan tetap egois melanjutkannya? Entahlah, ia bingung dengan pilihan apa yang akan diambilnya nanti. Zayyan menutup matanya mencoba mengingat kembali semua yang telah terjadi. Bayangan Ina hadir membuyarkan pikirannya yang semrawut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD