"Sungguh menyakitkan mencintai seseorang tetapi tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkannya."
( Zayyan & Ina )
***
Zayyan mengembuskan napasnya kasar. Sejak ia melihat senyuman yang terpatri di wajah Ina pertama sekali, kini masih menggayut manja di pikirannya. Semakin ia enyahkan, semakin kuat dalam bayangan.
Sepulang dari sana beberapa jam yang lalu, Zayyan masuk ke kamar dan ia tidak keluar lagi. Jam di dinding kini sudah menunjuki angka setengah tujuh pas. Zayyan bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap shalat Magrib di masjid. Waktu Magrib tinggal dua puluh menit lagi. Ia harus mengisi kajian rutin ba'da Magrib nanti. Dan malam ini adalah jadwalnya sebagai Murabbi.
Usai shalat Magrib berjamaah dan dzikir bersama, Zayyan memulai kajian.
Kajian malam ini adalah tentang keutamaan bulan Rajab. Di mana pada bulan itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendapat perintah langsung dari Allah tentang kewajiban shalat.
Rasulullah berjalan di malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah sampai ke Masjidil Aqsha di Palestina, kemudian berlanjut ke Shirathal Muntaha dan itu disebut dengan Isra' dan Mi'raj.
Zayyan membacakan satu ayat yang berkenaan dengan Isra' dan Mi'raj Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
سُبۡحَـٰنَ ٱلَّذِیۤ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَیۡلࣰا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِی بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِیَهُۥ مِنۡ ءَایَـٰتِنَاۤۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ
"Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hambaNya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Isra' : 01)
Banyak pemuda dan sesepuh yang mengikuti kajiannya. Mereka senang dan suka dengan cara penyampaian Zayyan karena mudah meresap di ingatan. Begitulah yang mereka katakan. Kajian terus berlanjut hingga masuk waktu Isya.
"Masya Allah, Bang, saya terharu mendengar para sahabat yang membela Nabi. Masa sekarang nggak ada lagi sahabat seperti sahabat-sahabat Nabi yang tetap membela dan memercayai Nabi walau yang lain mendustakannya. Saya bener-bener mendapat pelajaran baru malam ini, Bang. Terima kasih banyak, ya, Bang, terima kasih sangat-sangat atas ilmunya Abang," ujar Ammar antusias mendekat dan duduk di samping Zayyan yang sedang duduk istirahat setelah kajian selesai dan dilanjutkan shalat Isya berjamaah sembari mengulang bacaan Qur'an.
Zayyan menyudahi bacaannya dan menutup Al-Qur'an. Ia menatap Ammar sejenak sebelum menjawab.
"Alhamdulillah, semoga ilmu yang saya bagi ini bermanfaat dan diberkahi Allah Jalla wa 'Azza."
"Aamiin ya Rabbal'aalamiin." Ammar mengaminkan harapan Zayyan.
Zayyan kembali ke rumah tepat jam setengah sepuluh setelah berbincang berbagai macam pembahasan dengan Ammar. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke dapur, membuka kulkas dan menuangkan air mineral ke dalam gelas lalu ia minum hingga tandas.
Zayyan merasakan kerongkongannya kering karena banyak mengeluarkan suara dan ia membutuhkan air untuk mereda dahaganya.
"Gimana tadi, Bang? Rame yang ikut kajiannya?" Zayyan menoleh dan tersenyum melihat ummi masuk dan duduk di depannya.
"Alhamdulillah, lumayan rame, Mi. Ummi belum tidur?" Zayyan mengusap wajahnya dan mengembuskan napas pelan. Ia terlihat lelah, matanya sudah memerah.
Ummi memperhatikan Zayyan. "Abang kenapa?" tanya ummi khawatir.
Zayyan tersenyum. "Hanya lelah sedikit, Mi. Abi mana?" Zayyan mengalihkan pertanyaan agar ummi tidak lagi bertanya. Zayyan menyugar rambutnya setelah melepaskan peci dari kepala dan meletakkan di atas meja.
"Tadi keluar sebentar, katanya mau bertemu Ustadz Zacky," jawab ummi masih menilik wajah anak bujangnya serius. "Abang kenapa, hmm? Wajahnya kayak ditinggal istri gitu. Ayo cerita sama Ummi," teror ummi masih dengan rasa penasarannya.
"Hhuuffft...!" Zayyan mengembus napas besar. Seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Tidak lama kemudian ia terkekeh melihat raut wajah ummi yang sangat dikasihinya itu.
Baru saja Zayyan akan menjawab pertanyaan dari ummi, tiba-tiba terdengar suara salam abi yang berasal dari ruang tamu. Zayyan menoleh menanti kedatangan abinya yang baru saja pulang.
"Assalamualaikum...!" Ucapan salam abi kembali terdengar.
"Wa'alaikumussalam wa rahmatullah," jawab ummi dan Zayan bersamaan.
"Abi udah pulang...." Senyum ummi menyambut kedatangan abi.
Abi mendekat dan duduk di samping ummi. Tanpa disuruh, ummi mengambil gelas dan menuangkan air untuk suami tercinta.
"Ngapain Abi bertemu Ustadz Zacky, Bi?" Ummi memulai pertanyaan setelah tadi hening sesaat.
Setelah meletakkan kembali gelasnya, abi mulai menjawab.
"Ustadz Zacky ingin meminang Zayyan untuk anak perempuannya yang baru pulang dari Mesir...," jeda abi sejenak, matanya melirik Zayyan ingin melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya itu setelah mendengar ucapannya.
Zayyan terkesiap sebentar mendengar ucapan abi. Namun setelahnya ia memasang wajah datar tanpa meresponnya. Ia diam. Tidak bertanya dan menyanggahnya.
"Tapi Abi tidak langsung menyetujuinya, karena Abi tidak ingin memaksa anak Abi satu-satunya dalam perihal jodoh. Abi ingin anak Abi sendiri memilih yang mana yang terbaik untuknya," lanjut abi kemudian.
Zayyan menghela napas lega. Namun ia tetap diam tanpa banyak bicara.
"Namanya siapa, Bi? Umurnya?"
"Ummi kenapa sih nanya-nanya, emang Ummi setuju?" abi menoleh dan tersenyum menatap istrinya yang 'kepo' begitulah istilah anak-anak muda zaman sekarang.
"Enggak gitu juga kali, Bi, Ummi kan cuma nanya doang. Abi gimana sih." Ummi menyenggol abi sebal karena jawaban abi yang seperti itu.
"Pokoknya Ummi tetep pilih Ina sebagai menantu Ummi, titik nggak ada koma." Ummi bersikukuh pada pendiriannya yang ingin bermenantukan Ina sebagai istri masa depan Zayyan.
"Ummi ini, ada-ada saja." Gelengan kepala abi membuat ummi mencebikkan bibir mungilnya ke depan. "Iya, kalau Nak Ina mau, kalau nggak gimana? Apa Ummi akan memaksanya untuk menerima pinangan Ummi itu? Entah-entah Ina pun nggak tahu dengan keinginan Ummi, kan?" lanjut abi tidak peduli dengan cebikan istrinya.
Mendengar itu ummi langsung menoleh ke arah Zayyan. Namun objek yang ditatap hanya menampakkan raut wajah datar.
"Tenang, Bi, itu nanti urusan Ummi. Yang penting Abi setuju kan kalau Abang sama Ina?" kembali ummi menatap abi.
"Abi setuju-setuju saja, tapi yang punya badan sendiri gimana? Setuju nggak dengan keinginan Ummi?" Abi beralih ke Zayyan yang sedari tadi diam tak bersuara.
Sebenarnya Zayyan menutupi perasaan hatinya dari semua orang termasuk kedua orang tua yang sangat disayanginya. Dan Zayyan tidak menyadari bahwa ada satu orang yang telah membaca dan mengerti arti tatapan matanya secara langsung untuk sang pujaan hati yang baru saja ia kenali.
Bukannya menjawab, Zayyan malah pamit masuk ke kamar.
"Mi, Bi, Zayyan istirahat ke kamar dulu, ya, besok ada pertemuan di Lhokseumawe." Zayyan menggeser kursinya dan beranjak dari sana.
Abi dan ummi mengiyakan, mereka tidak memaksa Zayyan untuk menjawab. Setelah Zayyan menghilang dari pandangan, mereka melanjutkan kembali pembicaraan yang tertunda.
"Terus, reaksi Ustadz Zacky gimana, Bi?" Ummi menopang pipinya dengan kepalan tangan kanan.
"Ya ... dia cuma berharap supaya Zayyan mau memikirkannya sebelum menolak." Abi menghela napas pelan. Ia tidak kuasa menolak, namun semua Zayyan yang memutuskan.
"Namanya siapa, Bi? Umurnya?"
Abi terkekeh kecil melihat istrinya yang masih saja menanyakan pertanyaan tadi. Sebelum mendapat jawaban, sepertinya dia tidak akan berhenti.
"Namanya Shafiyatul Ula, sekarang umurnya dua puluh enam tahun."
"Owh...!" Ummi hanya manggut-manggut mendengar penuturan abi.
"Yuk, Bi..., Ummi udah ngantuk juga nih." ummi menguap dan meraih pergelangan abi masuk ke kamar.
Di kamarnya, Zayyan menatap langit-langit kamar lama. Wajah Ina menari-nari di pelupuk matanya. Ia berusaha mengenyahkan pikirannya dari Ina, namun Ina masih bertahta di sana. Zayyan memejamkan matanya. Lisannya tidak berhenti berdzikir mengingat Allah.
Zayyan berharap Allah akan menjodohkannya dengan Ina. Jika tidak, ia berharap agar Allah menolong mengatasi perasaan hatinya yang lemah. Karena harapannya saat ini adalah Allah tidak meninggalkannya seorang diri. Tidak lama kemudian Zayan terlelap.
***
Ina baru saja pulang dari swalayan. Ia membeli beberapa keperluan bulanannya. Ia tidak membeli banyak, hanya sebagiannya saja.
"Sudah pulang, Na?" sapa Zahra begitu Ina meletakkan barang belanjaannya di atas meja makan.
"Iya, Kak. Baru aja sampe...," jawab Ina pelan sambil menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya.
Cuaca panas menyebabkan Ina mudah kehausan. Ia mengusap peluh di dahinya. Zahra mengamati Ina dan belanjaannya bergantian.
"Belanjaan kamu ini aja, Na?"
"Iya.., Aku beli yang udah habis aja." Ina meraih Syameel yang ada di gendongan Zahra. Syameel adalah anak kedua pasangan Hauzan dan Zahra. Umurnya baru 12 bulan. Sedangkan anak pertamanya Zulfa berumur empat tahun setengah.
Hauzan dan Zahra tinggal di rumah yang di tempati Ina. Karena itu adalah rumah peninggalan kedua orang tua mereka. Sedangkan Jiya dan suaminya, Abizar Ramadhan tinggal di rumah mereka yang berdekatan dengan pondok putra, tidak jauh dari rumah kedua orang tuanya.
Syameel tertawa senang begitu ia sudah berpindah ke gendongan Ina. Ia memukul-mukul pelan pipi Ina sembari berceloteh dengan bahasanya sendiri.
"Syameel ngomong apa, Sayang? Syameel rindu, ya, sama Khallaty?" Ina mendekap Syameel di pelukannya sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya.
Melihat Ina menggayut Syameel penuh kasih sayang membuat Zahra tersenyum senang. Ia berharap ada lelaki shalih yang akan meminangnya kelak.
"Kak, aku masuk kamar dulu, ya, biar Syameel sama aku aja," ujarnya seraya mengambil barang belanjaan tadi setelah mendapat persetujuan dari kakak iparnya.
Sesampainya di kamar, Ina mendudukkan Syameel di pangkuannya. Barang bawaannya tadi ia letakkan begitu saja di samping tempat tidur.
"Syameel, kalau besar nanti mau jadi apa, Nak? Jadi anak yang shalih, ya, Sayang, ya." Ina mengajak Syameel bicara, walaupun ia tahu Syameel tidak akan mengerti dengan segala ucapannya. Tapi Ina tidak peduli, Ia membutuhkan teman bicara yang bisa menjaga rahasianya. Dan itu adalah Syameel.
Ina terkekeh pelan mendapati ponakan gembilnya itu hanya menyemburkan salivanya sebagai jawaban. Ia mendusel wajahnya ke perut baby satu tahun itu. Dan si baby tertawa cekikikan karena geli.
"Udah ah, ketawanya, nanti kamu capek lho." Ina menjawil pipi gembil Syameel gemas.
"Sayang, Khallaty sedih, nih. Khallaty rindu sama Mami, Khallaty masih belum bisa membahagiakan Mami, Khallaty... Khallaty...." Ina tergugu, ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Isakannya membuat Syameel heran. Mungkin dalam hatinya Syameel bertanya, "Ada apa dengan Khallaty, kenapa Khallaty menangis?"
Mami adalah panggilan untuk ibunya dari ponakan-ponakannya, arti kata lainnya adalah nenek.
Setelah merasa cukup Ina menghentikan tangisannya yang telah ia tumpahkan. Ina beristighfar. Kemudian ia tersenyum memandang Syameel yang terlihat bingung.
"Kamu jangan bilang siapa-siapa kalau Khallaty nangis, yah, awas lho kalau kamu ingkar janji. Khallaty nggak mau temenan lagi nanti sama kamu." Ina memeluk Syameel erat. Syameel sendiri masih dengan celotehannya sendiri.
Melihat jam di dinding sudah hampir tengah hari, Ina menina bobokan Syameel di kamarnya. Ina sangat menyukai anak kecil. Sebelum Ina mempunyai keponakan sendiri, Ina selalu menimang anak-anak tetangga yang masih bayi. Tetapi itu dulu, masa ia masih kecil-kecil hingga remaja, karena setelahnya ia tinggal di pondok pesantren demi menuntut ilmu di sana.
Syameel tertidur ketika suara azan bergema. Ina beranjak dari atas kasur, melepaskan hijabnya dan terurailah surai hitam lebatnya yang panjang. Setelah mengganti gamis dengan baju rumahan, Ina menyanggul surainya agar tidak basah saat ia berwudhu nanti.
Usai wudhu, Ina menggelar sajadah panjang untuk bermunajat kepada Allah. Siang ini ia shalat Dzuhur di rumah.
"Syameel udah tidur, ya, Na?" Baru saja Ina melipat sajadah, Zahra datang menanyakan baby gembilnya yang menggemaskan.
"Udah, Kak. Apa Kak Zahra mau mengangkatnya ke kamar Kakak?"
"Enggak usah, di sini aja ya, nggak papa, kan?"
"Enggak Kak, aku juga mau istirahat, biarkan aja dia di sini bareng sama aku." Ina merebahkan dirinya di atas kasur dan ikut terlelap bersama Syameel yang tertidur pulas sambil mengisap jempol kecilnya.
Zahra keluar setelah membetulkan selimut Ina dan Syameel. Walau udara panas di luar tapi tidak di kamar Ina, ia sudah menyalakan AC pada temperatur tinggi supaya Syameel tidak terganggu di alam mimpi.
Sebelum menutup pintu, Zahra tersenyum menatap adik ipar dan anaknya tidur berdua. Mereka tidak tampak seperti tante dan keponakan, karena yang telihat lebih daripada itu.