Kau bunga di tamanku...
Mekar dan kian mewangi...
Menghiasi diriku di mana pun aku berada...
Di lubuk hati ini engkau bidadari syurgaku...
Dendang nasyid mengalun merdu di gendang telinga. Membuat Zayyan tersenyum pahit. Memikirkan kembali apa yang telah terjadi. Baru saja ingin mencoba melangkah, Zayyan harus berhenti di tengah jalan.
Setelah mendengar bahwa sang pujaan dipinang sang kumbang, hatinya merepih pilu di kehampaan. Ia mencoba ikhlas dengan segala ketentuan.
Pagi ini Zayyan hanya bermalas-malasan saja di rumah. Badannya sedang tidak sehat. Kepalanya terasa berdenyut dan tubuhnya sudah menyerah dengan kondisi cuaca yang sangat panas.
Setelah berminggu-minggu ia menyibukkan diri di masjid tanpa istirahat, kecuali waktu shalat dan tidur malam saja. Akhirnya ia ambruk tak bertenaga, apalagi dengan berita yang di dengarnya dari Malik—sepupunya dan tetangga Yusuf—yang mengatakan kalau Yusuf sudah meminang Ina, pujaan hati yang ia kagumi secara sirri, rahasia.
"Bang...!" Panggilan ummi dari dapur membuyarkan lamunannya.
"Iya, Mi?"
"Setelah makan tadi obatnya udah diminum?" Kini ummi melangkah mendekati Zayyan yang sedang rebahan di ruang keluarga. Di kedua tangannya terdapat satu gelas air minum dan obat-obatan.
"Belum, Mi. Setelah makan tadi perasaan mual gitu, daripada nanti muntah jadi Abang nggak minum obatnya dulu."
"Sekarang masih mual?"
"Enggak, tinggal kepala aja nih yang nyut-nyutan dari tadi, Mi." Zayyan mengangkat kepalanya ke pangkuan ummi begitu ummi duduk di sebelahnya.
Kalau sakit begini sifat manja Zayyan keluar.
"Ummi, elusin kepala Abang, ya," pintanya seraya memejamkan mata.
"Abang minum obat dulu, ya. Nanti setelah minum obat, Ummi usap kepala Abang."
Matanya kembali terbuka dan melihat binar kekhawatiran di mata ummi untuknya. Zayyan beranjak duduk dan menerima obat yang dibawakan ummi lalu meminumnya.
Kemudian Zayyan merebahkan diri lagi ke pangkuan umminya. Abi yang baru keluar dari dapur menggeleng pelan melihat kelakuan anak bujangnya.
"Sampai kapan kamu bermanja-manja terus sama Ummi, Bang?"
"Abang lagi sakit, Bi. Kalau Abi sakit, Abi bermanja juga nggak sama Ummi?" Kekeh Zayyan setelah menggoda abinya.
"Kamu ini, dibilangin malah balikin ke Abi." Abi duduk di sofa yang berdekatan dengan Zayyan berbaring tenang, matanya kembali terpejam.
"Abi sama anak nggak ada bedanya. Lah, kalau Ummi sakit nggak ada yang manjain gini, sedihnya Ummi. Maunya kan ada mantu yang manjain Ummi." Ummi mencebikkan bibirnya merajuk. Tangannya masih bergerak mengelus dan memijat lembut kepala Zayyan.
"Oh ya, gimana sama Nak Ina? Abang mau nggak kalau Abi sama Ummi melamar dia buat Abang?" lanjut ummi setelah diam sesaat.
Lagi. Mendengar nama Ina membuat Zayyan tiba-tiba bermuram durja.
"Kalau Ina adalah tulang rusuk Abang, insyaAllah kami akan berjodoh, Mi. Tapi kalau dia bukan tulang rusuk yang Allah ciptakan untuk Abang, ya bukan jodoh Abang, Mi. Ummi doakan saja Abang, ya, Mi."
"Doa Ummi selalu menyertai anak kesayangan Ummi satu-satunya." Ummi mengelus dan mencium pipi Zayyan dengan sayang.
"Kalau Abi gimana, Mi?" Abi menimpali pembicaraan sentimentil istri dan anaknya. Ia tidak ingin melihat kesedihan menghampiri wajah orang-orang yang dikasihi dan dicintainya itu.
"Kalau Abi nggak usah ditanya. Udah seharusnya kan nama Abi itu selalu Ummi sebut di setiap doa Ummi. Abi itu jalan surganya Ummi."
"Abi juga. Nama Ummi selalu Abi sebut di setiap doa Abi, semoga kita dikumpulkan kembali di surganya nanti."
Ummi mengamini dalam hati seraya tersenyum menatap suaminya.
"Ini kenapa udah sentiment kayak gini sih, Bi. Abang lagi sakit ini." Zayyan tidak habis pikir dengan kelakuan orang tuanya.
Di mana pun dan kapan pun beromantis ria dengan kata-kata. Tidak peduli situasi dan kondisi, mereka pasti mengumbar kemesraan.
Eeiitt... tapi jangan salah paham dulu, mereka mengumbarnya hanya di depan anaknya saja tidak di depan umum.
"Maaf... maaf... Abi lupa kalau anak Abi masih sendiri. Hehehe...." Ternyata tidak hanya Zayyan, abi pun balas menggodanya.
Zayyan tidak terima dan ia merajuk mengadu kepada umminya. Sifat manjanya benar-benar keluar drastis. Ummi dan abi terkekeh melihat wajah Zayyan yang cemberut kesal. Jarang-jarang Zayyan seperti itu. Biasanya ia diam tanpa banyak kata.
Prinsip Zayyan adalah 'Falyaqul khayrat aw liyashmut' berkata yang baik atau lebih baik diam.
Kesedihan dan keresahannya menguap begitu saja. Ummi dan abi memang obat pelipur lara bagi Zayyan. Ia sangat bersyukur Allah jadikan ia sebagai anak Abi Ali Nurdin dan Ummi Cut Geubrina Nurdini. Semoga keluarga mereka berkekalan hingga ke surga nanti.
***
Sore ini Zayyan sudah merasa baikan. Ia bersiap-siap keluar rumah untuk bertemu teman satu sekolah dulu. Mereka berjanji bertemu di cafe Barista setelah shalat Ashar.
"Abang mau ke mana?" Melihat Zayyan menuruni undakan tangga, ummi mendekat dan bertanya.
"Abang mau ketemu teman, Mi." Zayyan menoleh dan tersenyum pada ummi.
Ummi menyentuh dahi Zayyan lalu menggelengkan kepalanya.
"Abang nggak boleh ke mana-mana dulu. Abang masih sakit, badannya masih hangat gini, pokoknya Abang nggak boleh ke mana-mana, ya." Larangan ummi membuat Zayyan bingung. Pasalnya, umminya ini tidak pernah berlebihan seperti ini.
"Hehehe... Ummi kenapa jadi berlebihan gini sih, Mi? Abang ketemunya juga cuma di cafe depan sana, Mi." kekeh Zayyan seraya menunjuk arah tujuannya kepada ummi.
Memang, cafe Barista letaknya tidak jauh dari rumah Zayyan. Tiga menit berjalan kaki saja sudah sampai. Apalagi Zayyan perginya pakai sepeda motor. Tapi ummi tetap keukeuh tidak memperbolehkan anaknya itu keluar rumah. Ummi takut kalau terjadi sesuatu pada anaknya nanti.
"Abang suruh aja temen Abang ke rumah. Nggak mesti di cafe juga kan ketemuannya. Di sini juga bisa."
Akhirnya Zayyan menuruti permintaan ummi. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponsel dari sana. Zayyan akan menghubungi temannya supaya bertemu di rumah saja.
Sepuluh menit kemudian teman yang akan Zayyan temui datang dengan mengendarai Toyota silver. Dia adalah Fikri. Selain teman, ia juga partner bisnis Zayyan. Zayyan sendiri memulai bisnisnya semasa masih di ma'had dulu, hanya saja ia tidak turun langsung ke lapangan. Semuanya ia percayakan kepada Fikri.
Mereka kini duduk di gazebo samping rumah yang di depannya terdapat kolam ikan. Sore ini mereka akan membicarakan salah satu proyek yang berhubungan dengan perhotelan. Mereka berencana untuk mendirikan hotel yang berbasis islami di Kutaraja.
"Bagaimana keputusan proposal yang kau ajukan itu?" Zayyan memulai pembicaraannya.
"Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Kalau kau ada waktu nanti, sempatkan dirimu untuk berkunjung dan melihat hasilnya. Kau adalah salah satu owner jadi jangan sampai kau kehilangan moment," ujar Fikri.
"Tidak ada masalah apapun dengan tanah yang kita beli, kan?" selidik Zayyan.
"Tenang, Bro, semua sudah beres. Tinggal menunggu hasilnya saja."
"Alhamdulillah kalau tidak ada kendala apapun, kau tahu sendiri aku tidak suka jika nantinya terjadi sengketa dengan masyarakat setempat."
"Insya Allah tidak akan terjadi. Lagian kita sudah menandatangani berkas-berkasnya dan disahkan pula oleh notaris. Semua itu sudah aku perhitungkan dari awal. Hehehe...," kekeh Fikri melihat kekhawatiran Zayyan.
"Baiklah kalau begitu. Kita doakan saja semua terselesaikan dengan lancar dan tanpa hambatan." Zayyan berharap banyak pada usahanya kali ini.
"Hemm..., aku pamit dulu ada urusan yang harus aku selesaikan di kantor Bupati." Fikri beranjak bangun sembari melihat arloji di pergelangan tangannya.
"Abang kenapa duduk termenung di sini seorang diri? Mana temen Abang tadi?" Ummi menghampiri dan duduk di samping Zayyan.
Zayyan tersenyum seraya menjawab, "Baru saja pulang, katanya ada urusan yang harus ia selesaikan. Ummi kenapa sendiri, Abi mana?"
Setelah kepulangan Fikri, Zayyan tidak beranjak dari duduknya. Pikirannya berkecamuk. Dan salah satu isi pikirannya itu tidak jauh-jauh dari sosok yang tidak pernah ia lupakan dalam setiap doanya.
Mengingat sang pujaan membuat semangatnya terkadang hilang. Baru pertama membuka hati langsung terpatahkan.
"Abi di dalam. Abang masih belum sehat kenapa duduk di luar? Jadi temen Abang tadi nggak Abang ajak masuk?" Ummi mulai cerewet dengan kelakuan anaknya.
Hanya cengiran Zayyan yang ummi dapatkan sebagai jawaban. Ummi menggeleng pelan melihat anak bujangnya.
***
Ina duduk melamun di teras depan. Ia memikirkan kejadian tempo hari di mana seorang pria datang bertamu kerumahnya.
Ia tidak habis pikir dengan keberanian pria yang tidak ia kenali itu. Datang-datang hanya ingin mengajaknya pada suatu hubungan yang tidak pernah Ina pikirkan selama ini.
"Huuffftt...!" Ina menghela napas berat ketika ingatan itu merasuki pikirannya.
"Adek nggak ada jadwal ngajar hari ini?"
Tiba-tiba suara Hauzan memasuki indera pendengarannya. Ia menoleh sesaat sebelum menjawab.
"Hari ini jadwal Ina kosong, Bang."
"Kalau besok?"
Ina berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Ada tapi cuma pagi hari aja. Kenapa emangnya?" Dahi Ina berkerut menunggu jawaban Hauzan.
"Insya Allah besok sore setelah shalat Ashar kita ke Bireuen. Sudah lama kita tidak silaturahim ke rumah Ummi Dini."
"Jadi Ina harus ikut juga, Bang?"
"Iyalah harus ikut, masa enggak. Siapa tahu dengan kedatangan Adek, Adek bisa menjadi obat yang mujarab untuk seseorang yang sedang sakit." Hauzan tertawa melihat Ina yang menampakkan raut wajah bingung.
"Isshh... Abang ni ada-ada ajalah, emang siapa yang sakit? Terus kenapa pula Ina yang jadi obatnya? Abang ini mengada."
Bibirnya yang merah delima itu mencebik karena keusilan Hauzan yang selalu menggodanya.
Tawa Hauzan semakin menggema di gendang telinga Ina. Ia heran dengan tingkah abang satu-satunya itu. Mungkin dengan menggodanya menjadi suatu kesenangan tersendiri bagi Hauzan.
"Abang kata tadi 'kan, siapa tahu, gitu loh!" Tawa Hauzan makin lebar.
Ina mendelik kesal, tetapi ia ikut tersenyum meskipun tidak tahu maksud dari ucapan abangnya.