Love Akasia: 6. Reuni

2728 Words
Aluna sedang membaca buku di kamarnya saat Arjuna menerobos masuk. Sampai hari ini Aluna masih menginap di rumah keluarga, karena Arjuna belum mengizinkannya kembali ke apartemen. Dengan alasan yang sebenarnya membuat Aluna bergidik ngeri, dan berakhir mengiyakan permintaan laki-laki itu. Arjuna sudah berpakaian sesuai dress code acara reuni, kemeja putih panjang, lengkap dengan jas hitam, tanpa dasi, membiarkan dua kancing teratasnya terbuka. Arjuna menggeleng heran, mendapati perempuan pujaannya sedang tengkurap di atas kasurnya dengan buku tebal yang menyita perhatian Aluna secara penuh. Sampai sebesar ini pun Aluna masih suka membaca buku. Padahal Aluna sudah sibuk seharian mengurusi gambar-gambar itu. Berbeda dengan Arjuna yang akan langsung terkapar sepulangnya dari kantor. Arjuna terduduk di samping ranjang Aluna. Mengusap puncak kepalanya sayang, berhasil membuat Aluna mengalihkan perhatiannya. Perempuan itu beranjak duduk saat sadar Arjuna sudah berada di sampingnya. "Aku berangkat sekarang," ucap Arjuna masih memberi usapan sayang di kepala Aluna. Sebenarnya Arjuna malas mengikuti acara reuni seperti ini, lebih menyenangkan berada di rumah bersama Aluna. Tapi karena Arjuna orang yang baik dan menghargai orang lain, ia memutuskan datang ke acara. "Hati-hati.” Arjuna mengangguk. Masih menjatuhkan tatapannya pada Aluna yang sudah sibuk bersemu. Apalagi mengingat kejadian hari itu, saat Arjuna mengantarkannya ke butik setelah makan siang. Sepertinya Aluna harus lebih was-was menghadapi Arjuna yang tidak terduga. "Kamu nggak mau peluk perpisahan dulu?" "Kamu cuma reuni, nanti juga pulang. Udah sana berangkat!" Aluna mendorong punggung Arjuna menjauh, memaksa Arjuna agar cepat berangkat. Arjuna menampilkan wajah cemberut yang mengundang tawa renyah dari Aluna. Arjuna memang sengaja, ia rindu mendengar suara tawa tanpa beban milik Aluna. "Jangan kangen, aku cuma sebentar," ucap Arjuna sewaktu keduanya sudah di pintu kamar. Perempuan itu kembali tertawa geli. "Iya udah sana!" Aluna tetap berada di pintu kamarnya sembari menatap punggung Arjuna yang semakin menjauh. Senyumannya masih terpantri di sana, menghiasi lengkungan bibirnya. Entah sejak kapan, Aluna bisa merasakan ketenangan saat Arjuna berada di sekitarnya, lengkap dengan tingkah konyolnya. Aluna masuk kembali ke kamarnya untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda akibat drama gratisan khas Arjuna. Kembali menyelami dunia baca. Sampai tidak sadar Bunda sudah mengetuk pintu sedari tadi. "Asik banget bacanya sampai nggak dengerin Bunda." Aluna menatap wanita paruh baya yang sudah terduduk di sampingnya. Tersenyum polos membuat Bunda tidak tahan mengacak rambut Aluna. "Maaf, Bunda." Bunda menggeleng. "Nggak apa-apa, Sayang." "Ada apa, Bunda?" "Di bawah ada Yeri, katanya mau jemput kamu ke acara reuni. Aluna udah janjian sama Yeri?" Aluna menggeleng polos. Terlihat kebingungan karena tiba-tiba ada yang datang untuk menjemputnya ke acara reuni. Padahal Aluna tidak mengingat satu pun temannya semasa SMP. Dan juga, Yeri, perempuan berambut pirang yang kemarin datang untuk mengantarkan undangan. Aluna bahkan baru melihat Yeri hari itu. "Yeri yang kemarin, Bun?" "Iya, Sayang." Bunda sedikit keheranan dengan respon Aluna. Jauh berbeda dengan respon Yeri yang seolah sudah begitu mengenal Aluna. "Sayang nggak usah datang kalau nggak mau. Tadi Arjuna juga melarang kamu datang, ‘kan? Di rumah aja biar Bunda bilang sama Yeri," ucap Bunda dengan raut khawatir. Aluna meraih sebelah tangan Bunda, menunjukkan senyuman manisnya. Bermaksud menenangkan bundanya agar tidak khawatir berlebihan. "Aluna datang aja Bunda, kasihan Yeri udah jemput sampai sini." "Tapi, Sayang …." "Bunda, Aluna udah dewasa. Aluna bisa jaga diri, lagian nanti Aluna ketemu Juna di sana," ucap Aluna meyakinkan. Bunda ragu, tapi melihat tatapan Aluna yang meyakinkannya membuat Bunda mengiyakan. "Aktifin ponsel kamu terus, langsung sama Arjuna sesampainya di sana ya!" Aluna mengangguk patuh, menyematkan senyuman untuk mengurangi kekhawatiran Bunda yang masih terlihat jelas. Usapan lembut di kepala menyusul, setelahnya Bunda beranjak keluar. Memberi waktu untuk Aluna bersiap-siap. Aluna sibuk memilih baju yang akan dipakainya. Karena terkesan mendadak dan Aluna tidak mempersiapkan apapun sebelumnya, Aluna mengambil dress koleksinya. Sebuah dress berwarna putih cantik, di atas lutut, dengan tali pinggang berwarna hitam. Aluna juga memakai high heels berwarna silver yang terlihat cantik membungkus kaki kecilnya. Rambutnya yang sedikit bergelombang dibiarkan tergerai indah. Aluna menatap penampilannya lagi pada kaca full body . Sedikit ragu karena ia menentang permintaan Arjuna yang tidak mengizinkannya ikut ke acara reuni. Tapi Aluna juga tidak enak hati dengan Yeri yang sudah menyusulnya. Aluna menarik napasnya, mengembuskan pelan-pelan. Berharap Arjuna tidak akan marah nanti dan ia akan baik-baik saja selama mengikuti acara. *** "Nanti pasti acaranya seru banget soalnya kita gabungin tiga angkatan sekaligus.” "Kamu seriusan nggak ingat sama temen-temen SMP? Ya ampun Aluna." "Kamu juga nggak ingat dong sewaktu kita double date, aku sama Arjuna, terus kamu sama Vano?” Aluna hanya mendengarkan celotehan Yeri selama di perjalanan. Tidak mengerti dengan pembicaraan perempuan itu. Aluna memang tidak mengingat kenangan semasa SMP dan SMA. Aluna hanya mengingat segelintir kejadian yang menurutnya berkesan. Saat bertemu Mina dan Yuna sewaktu pembagian kelas di awal masuk kuliah. Kejadian tabrakan dengan Yelena yang sedang terburu-buru di kampusnya, dan kejadian-kejadian lainnya yang lebih didominasi oleh Arjuna. Aluna juga terkejut saat Yeri mengucapkan kalimat terakhirnya. Apa perempuan bernama Yeri ini dulunya adalah pacar Arjuna? Apa alasan Arjuna melarangnya datang karena ia tidak menginginkan pertemuan Aluna dan Yeri? Aluna terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal. Tapi tidak sekalipun menemukan jawaban yang diiyakan hatinya. Ingin bertanya pada Yeri pun serasa tidak sopan. Apalagi ini pertama kalinya Aluna pergi dengan Yeri, dipertemuan kedua mereka. Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, keduanya sampai di sebuah rumah yang lumayan besar. Setelah Yeri memarkirkan mobilnya, perempuan pirang itu menuntun Aluna memasuki halaman belakang yang dijadikan acara reuni. Halaman belakang yang sangat luas dengan kolam renang dan rerumputan yang tertata rapi. Ada sebuah panggung juga di depan sana. Reuni ini dilaksanakan selayaknya pesta pada umumnya. Pesertanya berdiri dengan meja berisi jamuan ringan. Yeri menuntun Aluna ke kerumunan. Melihat Aluna yang masih sibuk memperhatikan sekeliling membuat Yeri melepaskan tangannya dari Aluna. "Aku tinggal dulu ya, kamu nikmatin aja acaranya." Aluna mengangguk. Berjalan pelan menuju tempat yang tidak terlalu ramai. Tanpa disadari, Aluna sudah menjadi pusat perhatian bagi orang-orang sekitar. Terutama kaum laki-laki yang melihat Aluna dengan tatapan kagum. Bagaimana perempuan yang memiliki proporsi tubuh yang pas dengan wajah yang tidak bisa dibilang hanya sekadar cantik. Apalagi perempuan ini mengenakan dress putih bersih dengan rambut digerai indah. Visual yang memanjakan para laki-laki di sana. Aluna mengedarkan pandangannya, mencoba mencari keberadaan Arjuna yang entah di mana. Terlalu banyak orang di sini membuat Aluna berjalan mencari tempat yang lebih lega. Karena Aluna memang tidak terlalu menyukai keadaan ramai. "Malam semuanya." Suara MC di depan sana mengalihkan perhatian Aluna. Perempuan yang berdiri seorang diri ini menatap ke arah depan yang sudah ada seorang MC dengan Yeri di sampingnya. "Karena sudah sampai di tengah acara, kita bakalan masuk ke acara game," lanjut MC itu menyerahkan mikrofon pada Yeri. Perempuan pirang itu sempat menyapa peserta reuni yang hadir, berbasa-basi sejenak kemudian masuk ke acara game. "Jadi game yang bakalan kita mainin adalah …." Yeri sedikit menjeda kalimatnya, menatap para peserta yang dibuat penasaran karena diamnya perempuan itu. "Grab a chair untuk menyisakan satu pasangan yang kalah," ucapnya lantang seraya menunjuk beberapa kursi yang diletakkan melingkar di atas panggung. “Hm sepertinya itu terdengar membosankan, Yer.” MC mulai menanggapi kalimat Yeri. Menatap para peserta reuni yang belum tertarik dengan permainan yang diajukan Yeri. Merebut kursi? Bukankah itu permainan klasik yang sering dimainkan orang tua pada zamannya? Kenapa juga Yeri harus membawa permainan klasik itu di era sekarang? Yeri tersenyum lebar. “Ya membosankan di awal tapi akan seru di akhir.” Yeri berucap dengan menunjukkan senyuman misteriusnya. Membuat beberapa peserta tertarik. “Grab a chair kali ini ada sedikit modifikasi. Jadi nanti akan ada tujuh kursi melingkar seperti yang kalian lihat.” Yeri menunjuk tujuh buah kursi yang sudah melingkar di tengah panggung. “Jumlah pemain akan ada sembilan orang, dengan satu pemain utama. Susunannya satu pemain utama itu perempuan dengan delapan pemain lainnya laki-laki.” Peserta reuni dibuat bersorak heboh dengan kalimat Yeri. Sepertinya permainan kali ini akan terasa berbeda karena hanya ada satu perempuan di antara pemain laki-laki. “Setiap peserta akan memperebutkan satu kursi dan menyisakan dua peserta. Dua peserta yang nggak mendapat kursi akan diberi hukuman.” Penjelasan Yeri didengarkan dengan baik oleh para peserta. Yeri tersenyum singkat menatap mata-mata penasaran itu. “Jika dua peserta itu laki-laki, hukumannya harus posting foto bareng gebetan kalian zaman SMP. Harus malam ini juga!” Keadaan makin riuh, terutama untuk kaum laki-laki yang memang akan menerima hukuman jika kalah dalam permainan. “Dan kalau dua peserta itu laki-laki dan perempuan ….” Yeri menjeda kalimatnya, menatap peserta dengan kerlingan matanya. “Kalian harus melelang ciuman.” “Woooaaahhh.” MC bersorak heboh bersamaan dengan para peserta yang semakin riuh. Coba pikirkan, laki-laki mana yang akan menolak ciuman cuma-cuma dari seorang perempuan? Walaupun dalam konteks ini terhitung sebagai bentuk hukuman. Yeri tersenyum puas melihat antusias para peserta. “Untuk si pemain utama udah aku siapin nih. Berhubung Aluna tamu spesial malam ini, karena tahun-tahun sebelumnya Aluna nggak ikut. Jadi Aluna yang akan main game ini pertama kali,” ucap Yeri dengan semangatnya. “Ayo Aluna maju.” Yeri melambaikan tangannya pada perempuan mungil yang terkejut dengan wajah bingung. Apalagi peserta yang semakin riuh menyuruhnya maju. Aluna benar-benar dibuat linglung. Teriakan orang-orang sekitar membuat telinganya pengang. “Ayo Aluna,” ucap Yeri sekali lagi. Aluna melangkah takut-takut ke arah panggung. Tubuhnya sudah gemetaran hebat. Menyesali keputusannya untuk datang ke acara ini jika harus dipermalukan seperti ini. Sesampainya di panggung, Yeri langsung menarik ke bagian tengah, di antara Yeri dan MC. Aluna menunduk dalam saat dirinya sudah berdiri menghadap semua peserta reuni yang memandangnya bermacam-macam. Aluna merasa takut teramat sangat, tapi ia tidak memiliki keberanian untuk lari dari situasi ini. Ini semacam bunuh diri bukan? Karena sampai game ini berhenti pun, Aluna tetap harus merelakan ciumannya. Permainan yang sangat tidak adil bagi Aluna. Bagaimana bisa hanya ada satu peserta perempuan, dan delapan sisanya diisi oleh laki-laki? “Untuk peserta laki-lakinya silahkan yang mau?” Tentu saja hal itu disambut baik oleh para laki-laki. Coba pikirkan, siapa yang mau merelakan perempuan secantik Aluna begitu saja? Walau tidak mendapatkan ciumannya, setidaknya bisa bermain game bersama perempuan itu. Berdiri dekat dengan si perempuan yang masih menunduk dalam. Aluna semakin terpojok saat delapan laki-laki itu sudah berdiri di sisi kanan-kirinya. Suka rela menjadi lawan bermainnya. Laki-laki mana yang tidak mengagumi kecantikan Aluna dan merelakan kesempatan ini begitu saja? Mungkin hanya laki-laki bodoh dengan kapasitas otak seperempat. Aluna menunduk takut, hampir menangis. Bibir mungilnya mengerucut, dengan kedua tangan saling bertautan. Mencoba menghilangkan rasa takutnya. “Wah ternyata banyak banget yang mau main game ini ya?” Yeri berucap semakin menyebalkan. Tentu saja banyak yang tertarik, jika perempuan seperti Aluna yang akan menjadi hukumannya. Hm atau dalam hal ini Aluna lebih cocok disebut sebagai hadiah? “Hey, lama nggak ketemu. Kamu apa kabar?” Aluna tidak menoleh, masih sibuk menunduk dalam. Tidak menghiraukan seorang laki-laki yang baru saja menyampaikan kalimatnya. Setelah sapaan pertama, laki-laki lainnya ikut melontarkan sapaan. Lagi-lagi Aluna enggan membalas sapaan itu. Menghiraukan suara-suara itu, serta teriakan yang semakin memenuhi pendengarannya. Aluna takut, ketakutan yang sama, seperti yang selalu hadir di mimpinya. “Kita mulai permainannya ya? Saat musik berbunyi kalian harus menari ringan, dan saat musik berhenti kalian harus berebut kursi. Yang kalah siap-siap dengan hukumannya.” Aluna menghiraukan itu semua. Masih menunduk, menahan air matanya yang sudah bergerumul di pelupuk mata. Meremas dress di bagian d**a. Sesak itu kembali dan sangat menyiksa. Saat Yeri dan MC menghitung mundur, musik mulai berbunyi. Aluna beberapa kali merasakan seseorang di kanan-kirinya tidak sengaja menabraknya karena gerakan mereka. Sampai musik berhenti, suara langkah kaki berebut kursi, Aluna masih diam. Menetralkan rasa tidak menyenangkan dalam dirinya. Aluna takut, benar-benar takut. Ia merasa sangat-sangat dipermalukan saat ini. “Yaaa, kita udah dapat dua peserta yang kalah. Aluna dan Elvano,” seru MC heboh, disambut teriakan dari peserta lainnya. Sesekali terdengar celetukan dari pemain game lainnya. Mereka menyesal sudah menduduki kursi. “Waahh apa ini semacam cinta lama bersemi kembali?” Beberapa laki-laki di sana bersiul menggoda Aluna dan Elvano yang sudah saling berhadapan. Dengan Aluna yang masih menunduk dalam. Aluna tidak tahu siapa itu Elvano. Kenapa nama itu disebut dan selalu dikaitkan dengannya? “Bisa kita mulai hukumannya?” tanya MC. Elvano mengangguk dengan pandangan mata yang menyiratkan kerinduan. Menatap iba pada Aluna yang masih menunduk dalam. Mulai meraih bahu Aluna, menimbulkan sorakan yang semakin riuh. Elvano bisa merasakan bahu itu bergetar hebat, Aluna menangis. "Aku janji ini akan sebentar, maaf Luna,” ucapnya setelah meraih dagu Aluna. Membuat pandangan keduanya bertemu. Elvano mulai mengikis jarak, masih dengan Aluna yang menangis deras. Ingin mendorong laki-laki yang tidak dikenalnya ini, tapi kedua tangan Aluna terasa lemas dengan getaran yang tidak berhenti sejak tadi. Sedetik lagi kedua bilah bibir itu akan menyatu. Tiba-tiba … bruk! Di luar dugaan, seseorang lain mendorong Elvano menjauh dan menggantikan posisinya. Meraih pinggang Aluna dalam rangkulan tangannya. Mengusap pipi Aluna yang sudah memerah. Air matanya sudah menetes deras menyiratkan rasa sakit yang teramat sangat. Mata Aluna sayu, seolah mengadukan rasa sakit dan ketakutannya. Itu membuat emosi Arjuna semakin naik sampai ke ubun-ubun. Iya, Arjuna lagi-lagi datang di saat Aluna membutuhkan perlindungan. Lelaki itu menunjukkan senyuman hangatnya di tengah emosi yang memuncak. Bagaimana bisa Arjuna menahan amarahnya saat perempuan pujaannya ditawarkan seperti dagangan murah? Padahal Aluna begitu berharga bagi Arjuna. Teriakan penonton yang sempat terhenti kembali terdengar. Tidak keberatan sama sekali dengan perubahan peserta laki-laki yang terkesan tiba-tiba ini. Arjuna bisa menangkap gelagat tertekan dari Aluna. Perempuan ini pasti terguncang sekarang. Hal yang paling Arjuna takutkan adalah, luka di hati Aluna kembali terbuka. Arjuna tidak mau melihat Alunanya bersedih lagi. Perempuan itu sudah susah payah bangkit dari keterpurukannya. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan setelah kejadian ini, Arjuna bersumpah akan meminta pertanggungjawaban Yeri. Aluna memejamkan matanya saat wajah Arjuna semakin mendekat. Air matanya menetes deras. Arjuna yang sudah termakan emosi dan melihat bagaimana perempuannya dipermalukan seperti ini, langsung menarik pinggang Aluna mendekat. Tubuh keduanya menempel, dan saat itu manusia yang ada di sana hanya mampu melongo karena Arjuna langsung melumat bibir Aluna. Laki-laki itu memberikan kesan posesif dan sangat menginginkan Aluna. Dengan mata Aluna yang terpejam seolah menikmati ciuman Arjuna. MC berseru heboh. Disambut teriakan penonton dengan tepuk tangan meriah. Jangan lupakan Yeri yang hanya mampu menahan napasnya melihat laki-laki yang dikaguminya mencium perempuan lain tepat di hadapannya. Sedangkan Elvano menatap dengan pandangan terluka. Dan seorang perempuan lainnya sedang melipat kedua tangannya di depan d**a, dengan pandangan meremehkan, serta senyuman miringnya. *** Keduanya hanya saling diam di dalam mobil. Aluna yang menunduk takut masih dengan air matanya yang menetes deras, dan Arjuna yang sedang mencoba menetralkan emosinya. Kejadian tadi benar-benar di luar kendali Arjuna. Lelaki ini marah pada Aluna yang melanggar aturannya. Tapi di sisi lain, Arjuna lebih merasa takut. Tidak bisa membohongi dirinya sendiri, jika kehadiran laki-laki bernama Elvano adalah ketakutan utamanya. Arjuna masih bisa melihat sorot kerinduan dari mata itu. Mungkin ada rasa cinta juga di sana. Dan bagaimana lelaki itu dengan seenaknya akan menyentuh perempuannya membuat kepala Arjuna semakin berasap. Menghela napasnya sekali lagi. Setelah dirasa amarahnya menghilang perlahan, digantikan suara isakan Aluna yang memenuhi mobil. Arjuna meraih Aluna ke pelukannya. Membiarkan air mata Aluna membasahi kemejanya untuk kesekian kali. Mengusap-usap pundak Aluna lembut dan sesekali mengecup kening Aluna. Badan Aluna bergetar hebat dalam pelukan Arjuna. Tangannya meremas kemeja Arjuna, melampiaskan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Arjuna juga merasakan sakit yang sama saat mendengar isakan itu. "Maaf … aku ….” "Nggak, Sayang, nggak. Kamu nggak salah." Arjuna menangkup wajah Aluna yang sudah memerah dengan pipi basah. Menatap sepasang mata yang sudah membengkak karena terlalu lama menangis. Mengusap air mata Aluna yang sebenarnya tidak ada gunanya, karena sedetik setelahnya, air mata itu kembali membasahi pipi. "Kalau aku nurut mungkin nggak akan begini." Arjuna tersenyum kecut, ya, Arjuna marah untuk itu. Tapi nampaknya sudah tidak lagi berguna. Semua sudah terjadi, dan cukup beruntung karena Arjuna datang di saat yang tepat. Alunanya tetap aman dalam jangkauan. Tidak sempat tersentuh oleh lelaki lain. Aluna menarik napasnya lagi. "Jangan bilang Bunda sama Ayah soal ini," pintanya. Arjuna mengangguk, kembali menarik Aluna ke pelukannya. Aluna memang selalu seperti ini. Selama ia menjadi bahan bully di SMP dulu pun, ayah dan bundanya tidak pernah tahu. Mereka mengira kehidupan Aluna di sekolah sama menyenangkannya seperti Arjuna. Aluna semakin menenggelamkan wajahnya di d**a bidang Arjuna. Tidak peduli dengan kemeja Arjuna yang lagi-lagi basah karenanya. Ia merasa nyaman dan aman dengan keberadaan Arjuna. Sedangkan Arjuna mati-matian menahan diri dengan kelakuan Aluna. Memeluk perempuan itu semakin erat dan mencoba meredam keinginan tidak benar dalam dirinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD