Love Akasia: 5. Tentang Aluna

2035 Words
"Tahu nggak sih kabarnya kakak kelas yang namanya Arjuna itu naksir sama Luna, si oplas." "Yakin lo, palingan si cewek itu yang ngegodain duluan." "Secara ya muka cakep begitu, cowok mana yang nggak ngelirik." "Gila ya, nggak kasian banget sama ayahnya yang cuma karyawan biasa." "Tahu dih, anak zaman sekarang dasar!" Aluna menangis terisak dalam persembunyiannya. Tidak memiliki teman di sekolah, di rumah juga sama saja. Bahkan ibunya meninggal saat melahirkan Aluna. Hanya memiliki seorang ayah yang bekerja banting tulang untuk menghidupinya. Aluna tidak pernah menceritakan kondisinya di sekolah. Perempuan mungil ini bahkan selalu pulang terlambat hanya untuk mengerjakan setumpuk tugas yang teman-temannya berikan seenak jidat. Aluna yang berpikir sendiri, Aluna yang mencatat di semua buku tugas teman-temannya, dan Aluna juga yang mengumpulkan. Mungkin kebanyakan orang berpikir memiliki otak cerdas dan berwajah cantik adalah suatu keberuntungan, tapi Aluna tidak merasakan itu. Ia justru merasakan sebaliknya. Terkadang Aluna berangan-angan, seandainya ia terlahir dengan wajah biasa saja dan kapasitas otak yang seperti orang kebanyakan, mungkin ia akan diterima teman-temannya dengan baik. Tapi sayangnya Tuhan menjadikannya istimewa. Aluna mencoba menerima kondisi dirinya. Tetap menunjukkan raut biasa saja bahkan tersenyum bahagia saat ayahnya menanyakan kondisi di sekolah. Menceritakan hal yang membuat Ayah tidak perlu mengkhawatirkannya. Aluna tahu persis bagaimana ayahnya berjuang untuk membiayai kehidupannya. Aluna tidak mau menambah beban berat yang sudah sang ayah pikul. Tapi sekuat apapun seseorang, akan merasakan sakit hati juga. Selayaknya orang lain, Aluna juga akan menumpahkan kepedihannya, sendirian. Tanpa ada satu orang pun yang peduli. Sampai kehadiran sosok kakak kelas membuat Aluna sadar, jika Tuhan akan selalu memberikan jalan keluar dari setiap masalah. Aluna tidak tahu bagaimana kakak kelasnya itu bisa memiliki tingkat kepedulian yang amat sangat padanya. Mungkin kakak kelasnya itu hanya segelintir orang yang percaya dengan kondisi Aluna yang sebenarnya. Mau menemani Aluna saat menangis, tanpa ingin membuka luka itu lebih jauh. Aluna mengangkat wajahnya dari tundukannya saat ada yang mengusap puncak kepalanya. Menghapus air matanya kasar dan mengalihkan pandangan. Laki-laki itu, kakak kelasnya hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Tidak mau menanyakan lebih lanjut, hanya ingin menemani Aluna. Agar Aluna tahu, masih ada orang yang menyayanginya. Arjuna mengeluarkan sebuah headphone dan memakaikannya pada Aluna, membuat perempuan itu tersentak dan kembali menatapnya. Arjuna tersenyum kagum dengan ekspresi terkejut Aluna yang begitu menggemaskan. "Kamu nggak perlu dengerin orang lain lagi mulai sekarang," ucapnya tulus. Aluna menatap tidak percaya ke arah laki-laki di depannya. Selanjutnya Arjuna tersenyum lembut, sedikit menepuk puncak kepala Aluna dan beranjak pergi. Meninggalkan Aluna yang masih sibuk dengan keterkejutannya. *** Arjuna tersenyum tipis, terkadang mengeluarkan suara tawanya saat membaca lembaran kertas berwarna-warni. Kertas-kertas lusuh yang bahkan sudah disimpannya sejak saat itu. Laki-laki ini bahkan membeli kotak surat yang berada tepat di depan rumah lama tidak berpenghuni. Tidak menyertakan rumahnya yang mengalami kerusakan cukup parah. Arjuna hanya berpesan agar kotak surat itu tetap ada di sana. Agar si pengirim terus melakukan kegiatannya tanpa mengkhawatirkan apapun. Entahlah, Arjuna hanya merasa keberadaannya jauh lebih berguna dengan melakukan hal sederhana ini. Arjuna tahu betul, Aluna belum memiliki kepercayaan atas keberadaannya. Selalu bersikap seolah baik-baik saja. Padahal si perempuan sering kali merasakan beragam emosi yang tidak bisa ditanggungnya sendiri. "Gue baru sadar kalau bos gue gila." Arkan memasuki ruangan Arjuna dengan membawa banyak berkas. Menghempaskan berkas itu dengan seenak jidat dan terduduk santai di hadapan Arjuna. Arjuna berdecih, meletakkan lembaran kertas yang sebelumnya menyita perhatiannya penuh. Beralih memeriksa berkas-berkas yang sudah menumpuk di meja. "Lo emang nggak tahu sopan santun antara bos dan bawahan ya?" Arjuna berujar kesal. Sudah mulai membaca berkas-berkas itu. Arkan tertawa ringan. Mengambil bingkai foto yang selalu bertengger di meja kerja Arjuna. Memandang foto perempuan dengan pipi berisi itu, yang sedang tersenyum lebar ke arah kamera. Arkan menghela napasnya. Mengetahui perjalanan keduanya sampai sebatas ini. "Kalian masih belum ada perkembangan?" tanyanya. Arjuna melirik ke arah Arkan dan langsung paham dengan pertanyaan dari sahabatnya itu. "Udah, bentar lagi tunangan," jawab Arjuna santai. Arkan melotot kaget. Yang tadinya bersandar nyaman pada kursi, sekarang laki-laki itu menegakkan punggungnya. "Lo seriusan?" Arjuna mengangguk mengiyakan. "Wah ngegas bro." "Mumpung dianya lagi mode pasrah." "Kapan acaranya, Jun? Kok Yelen nggak cerita ke gue. Biasanya Aluna curhat apa diceritain semua ke gue," ucap Arkan mengingat bagaimana cerewetnya tunangannya itu jika menceritakan sosok Aluna. Yelena sampai berkeinginan memiliki anak secantik Aluna yang membuat Arkan terheran-heran. Bagaimana bisa, wajah Arkan dan Yelena digabungkan jadi mirip Aluna? Tunangannya itu memang memiliki pemikiran di luar nalar manusia kebanyakan. "Aluna belum tahu, memang rencana gue sama Ayah." Arkan melotot. "Lo maksain pertunangan? Astaga, Jun, bucin sih bucin tapi nggak gini juga." "Diem aja lo dan jangan ceritain ke cewek lo itu. Sampai ke telinga Aluna, bisa batal semuanya." "Asal gaji gue naik aja." Kali ini gantian Arjuna yang melotot tajam. Arkan tertawa pelan. "Dateng reuni nggak lo?" Arkan mengalihkan pembahasan mereka. Arjuna mengangguk-angguk, masih fokus dengan berkas yang dibacanya. "Aluna?" "Nggaklah, nggak bakal gue izinin dia ketemu orang-orang itu." "Kali aja udah pada tobat, Jun." Arjuna menggeleng tegas. Masih sibuk membaca berkas-berkas itu, sesekali Arjuna menandatanganinya. "Aluna ketemu Yeri kemarin." Arjuna menjeda kegiatannya. Mengingat cerita Aluna tentang perempuan berambut pirang yang bertemu dengannya di rumah. Perempuan itu bermaksud bertemu Arjuna tapi karena Arjuna di luar kota, Yeri hanya bertemu Aluna. "Aluna nggak apa-apa?" tanya Arkan setelah keterkejutannya. Arjuna menggeleng dengan raut tidak yakin. "Dia bilang Yeri buru-buru balik, dan nggak ngomong apa-apa." "Luna lupa sama cewek itu, ‘kan?" Arjuna mengangguk pelan, otaknya tiba-tiba memikirkan semua kemungkinan pertemuan kedua perempuan itu. Arjuna dibuat khawatir. Apalagi Aluna teramat polos, semakin membuat Arjuna tidak tenang. "Apa masalahnya? Kalau Aluna lupa, Yeri juga nggak bisa sebebas itu manfaatin dia." "Gue cuma khawatir ada dampak buruk setelah pertemuan mereka?" "Menurut gue sih, selama lo jagain Aluna, semua bakal baik-baik aja. Apalagi sekarang Aluna dikenal jadi bagian dari keluarga lo. Santai aja, Jun. Aluna juga udah dewasa, dia bakalan lebih bisa jaga diri," ucap Arkan menyemangati sahabatnya itu. Walau bagaimanapun, Arkan adalah saksi dari perjalanan Arjuna dan Aluna sejak lama. Laki-laki ini tahu betul bagaimana perjuangan Aluna tumbuh semakin dewasa dengan beban rasa sakit yang ditanggungnya, dan itu berefek pada Arjuna yang masih harus menunggunya lebih lama lagi. Arjuna menghela napasnya, mengangguk-angguk setuju. Masih dengan otaknya yang mencoba berpikir positif. Benar kata Arkan, Aluna sudah dewasa. Selama pertumbuhannya, Aluna mengalami hal-hal baik. Ditambah keluarganya yang sangat menyayangi perempuan itu, dua sahabatnya yang juga selalu ada di samping Aluna, serta Yelena yang siap menampung keluh kesah Aluna. Ada Arjuna juga yang akan selalu menemani perempuan itu sampai nanti, dan Arkan yang siap membantunya. Arjuna menyerahkan berkas-berkasnya yang sudah selesai ditanda tangani. Arkan meraih itu, dan beranjak keluar dari ruangan bosnya. Laki-laki itu sempat berhenti di depan pintu. "Gue mau ke butik, ikut nggak lo?" tanyanya. "Ngapain?" "Ukuran baju nikah. Tahu nggak, Bro, nanti Aluna yang ngukur badan gue langsung," ucap Arkan sedikit memanas-manasi Arjuna. Arkan langsung keluar dari ruangan Arjuna sebelum menerima omelan dari bosnya. Arjuna yang memang posesif ditambah godaan Arkan yang menyebalkan, langsung mengambil jas dan kunci mobilnya, beranjak pergi. Urusan pekerjaan bisa ia urusi lagi nanti, tapi urusan kesterilan tangan Aluna tidak bisa ditunda. Arjuna tidak akan membiarkan perempuan mungil itu yang mengukur Arkan. Aluna hanya boleh mengukur dirinya. Aluna tidak boleh menyentuh dan disentuh laki-laki lain, karena Aluna hanya miliknya. Arjuna bertemu Arkan di parkiran. Sahabatnya sejak SMP itu sudah tertawa geli, karena Arjuna merespon pancingannya seserius ini. Arkan geleng-geleng kepala dan mengikuti mobil Arjuna yang sudah pergi terlebih dahulu. Benar-benar heran, sosok Arjuna yang dikenal berwajah dingin dengan kepala sekeras batu bisa menunjukkan sisi cemburunya hanya dengan pancingan murahan ala Arkan. *** Butik sedang sepi saat Arjuna dan Arkan sampai. Arjuna menerobos masuk diikuti Arkan yang masih geleng-geleng kepala keheranan. Di sana ada Aluna, Yelena, dan Mina yang sedang bersantai ria. Mengobrol dan sesekali saling tertawa. Ketiga perempuan itu menghentikan obrolan saat Arjuna tiba-tiba menarik Aluna ke pelukannya. Semuanya memandang Arjuna dengan tatapan kaget, hanya Arkan yang semakin cekikikan. "Kenapa Jun?" tanya Yelena heran, Mina juga sama herannya. Sedangkan Arkan semakin tertawa menyebalkan membuat Arjuna melotot sebal. "Mina, lo yang ngecek ukuran baju Arkan!" ucap Arjuna tegas. Yelena yang sudah paham langsung tertawa bersahutan bersama tunangannya. Sedangkan Mina sedikit lama memproses ucapan Arjuna, setelah sadar Mina langsung tersenyum menggoda ke arah Arjuna dan Aluna yang masih berpelukan. Aluna mulai merasa tidak nyaman, mencoba melepaskan diri dari pelukan Arjuna, tapi laki-laki itu tidak mengizinkan. Malah menyeret Aluna keluar butik. "Mau ke mana, aku masih kerja?" protesnya masih berusaha melepaskan diri. Tapi Arjuna tidak mengizinkan itu. "Makan siang, kamu belum makan, ‘kan?" Kalimat tanya yang lebih terdengar seperti paksaan. Aluna pasrah mengikuti langkah Arjuna. Menyisakan tiga orang yang masih senyum-senyum sembari terheran-heran dengan sifat posesif Arjuna yang semakin parah setiap harinya. *** "Kamu ngajak makan nggak perlu tarik-tarik begitu, ‘kan?" protes Aluna saat keduanya sudah berada di salah satu restoran. Arjuna menatap Aluna di hadapannya, yang masih menampilkan wajah sebal. Laki-laki itu meraih kedua tangan Aluna yang bertengger di atas meja. Menggenggamnya erat, sesekali diusap lembut. Dengan mata elang Arjuna yang menatap Aluna tepat di manik indahnya. Membuat pipi menggembung itu memerah. "Janji sama aku, jangan pernah ukur laki-laki yang mesen baju di butik," ucap Arjuna tegas. Aluna kebingungan dibuatnya. "Apa sih, kalau mau mesen baju ya harus diukur supaya bajunya pas dan sesuai pesanan," ucap Aluna. Masih belum mengerti dengan kecemburuan Arjuna. "Iya tapi kamu nggak usah ngukur yang laki-laki." "Kenapa Arjuna, ‘kan mereka mesen di VB otomatis aku yang ukur." "Masih ada Mina atau teman-teman kamu yang lain, nggak harus kamu!" Aluna semakin mengerutkan keningnya. "Kenapa sih Arjuna, kamu ngomong yang jelas!" "Aku nggak suka kamu pegang-pegang laki-laki lain, kamu cuma boleh pegang aku bukan laki-laki lain!" Aluna membulatkan mulutnya, kaget dengan penuturan Arjuna. Sedetik kemudian semburat kemerahan menghiasi pipi Aluna. Perempuan itu menampilkan senyuman malunya membuat Arjuna yang tadinya cemburu perlahan meluntur, dan ikut tersenyum bersama Aluna. Tanpa Arjuna ketahui, Aluna merasakan hangat memenuhi hatinya. Merasa tenang dan bahagia saat mengetahui fakta bahwa Arjuna cemburu. Arjuna memang tukang paksa, tapi Aluna baru mengetahui jika laki-laki itu bisa cemburu seperti ini. Aluna sempat heran dengan kehadiran Arjuna di butik. Apalagi Arjuna sampai menariknya paksa. Setelah tahu alasannya Aluna benar-benar merasa disayangi. "Udah jangan liatin terus, katanya mau makan." Aluna menyadarkan Arjuna yang masih terpaku. Arjuna tertawa gemas. Sempat mengusak rambut Aluna sebelum beralih memesan makanan untuk mereka berdua. Keduanya makan dalam diam, hanya sesekali Arjuna menanyakan kegiatan Aluna selama setengah hari ini di butik. Selebihnya kedua manusia ini sibuk dengan makanannya sendiri, apalagi Aluna yang memang doyan makan. Setelah acara makan siang yang sebenarnya hasil paksaan Arjuna, laki-laki itu kembali mengantar Aluna ke butik. "Aku jemput jam empat nanti." Aluna mengangguk patuh, sedang tidak berminat untuk beradu mulut dengan Arjuna. Karena nantinya ia juga yang mengalah. Arjuna menahan tangan Aluna saat perempuan itu baru saja akan membuka pintu mobil. Aluna menatap Arjuna keheranan. Arjuna tidak mengatakan apa-apa, hanya menarik si perempuan ke pelukannya. Aluna tersentak dengan perlakuan Arjuna. Masih diam dalam pelukan Arjuna. Mencerna tindakan Arjuna yang terbilang tiba-tiba. Tangannya terulur, membalas pelukan Arjuna yang semakin mengerat. Aluna bisa merasakan napas hangat Arjuna yang menerpa kulit lehernya, karena laki-laki itu sedang menenggelamkan kepalanya di leher Aluna. Aluna memejamkan matanya erat dan sedikit meremas jas Arjuna saat merasakan pergerakan Arjuna. Mencerna sensasi yang baru kali ini ia rasakan. Rasanya sama seperti di pagi itu, tapi yang ini lebih menggetarkan. Jantungnya berdebar kencang seolah memenuhi rongga d**a. Dan hal itu justru membuat Aluna nyaman juga merasa aneh dalam satu waktu. Aluna menggigit bibir bawahnya saat dirasakan Arjuna semakin gencar dalam pergerakannya. Aluna tidak tahu harus melakukan apa. Perempuan ini hanya semakin mengeratkan remasan di ujung jas kerja Arjuna. Mencoba menyalurkan perasaan asing yang baru saja ia rasakan. "Jun!" Aluna mendorong bahu Arjuna menjauh saat laki-laki itu mulai menurunkan sweaternya. Arjuna sempat menolak, tapi saat kesadarannya hadir, laki-laki itu menjauhkan diri. Mengatur napasnya yang memburu. "Maaf," ucap Arjuna, mencium kening Aluna lembut. Arjuna baru saja melepaskan Aluna saat perempuan itu mengangguk. Walau tidak bisa dipungkiri, wajah Aluna memerah padam. "Aku turun sekarang," pamitnya dengan suara terbata. Perempuan itu sedang menahan rasa malunya. Arjuna mengusap puncak kepalanya lembut dan mengiyakan. Masih menunjukkan senyumannya sampai Aluna turun dan memasuki butik. Arjuna merasakan jantungnya berdebar kencang. Selanjutnya laki-laki itu tertawa nyaris tidak waras saat mengingat kegiatannya tadi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD