Bab 16 | Pergi Begitu Saja

1654 Words
Fayez membuka pintu dan terkejut bukan main yang datang adalah Zahra dengan wajah yang bersimbah air mata dan raut yang putus asa. “Gus … Tolong … Tolong saya … Abi … Abi saya kecelakaan dan hanya Gus Fayez yang bisa menyelamatkannya. Tolong saya Gus.” Zahra bahkan langsung berlutut dengan tangisan yang menyayat hati. “Zahra, tenangkan dirimu, apa maksudmu? Kamu datang dengan keadaan seperti ini aku tidak mengerti.” Fayez juga terlihat panik, melihat Zahra yang menangis dengan putus asa memunculkan rasa iba dan tidak tega pada pria itu, bagaimana pun cintanya pada Zahra masih ada, melihat wanita itu menangis tersedu-sedu membuat hatinya ikut terhenyak. “Tolong ke rumah sakit dulu, Gus. Tolong … Ini darurat sekali. Abi saya sangat membutuhkan Gus.” Zahra merintih pilu, bertepatan dengan itu sebuah mobil datang di depan rumahnya, Uminya datang, wajahnya secemas Zahra, dan itu semakin membuat Fayez bertanya-tanya. “Fayez, kita ke rumah sakit dulu, Umi ceritakan di mobil. Ayo sayang.” Umi Ainun langsung memapah Zahra. “Umi, Fayez bilang dulu ke Hasna dia sedang …” “Astaghfirullah, Fayez. Ini hidup dan mati seseorang, istrimu bisa mengurus dirinya sendiri dan kamu tidak memerlukan ijinnya untuk pergi. Tolong cepat Fayez.” Uminya memohon dengan nada yang tinggi. Melihat situasi yang sangat genting membuat Fayez berlari ke arah mobil, pria itu mendecak karena tidak membawa ponsel, namun dia langsung meminjam ponsel Uminya untuk menghubungi Alif, meminta Alif datang dengan istrinya untuk menjaga dan menemani Hasna, walaupun demam Hasna sudah turun dan kondisinya lebih baik, tetap saja dia mengkhawatirkan wanita itu. “Ck, kamu ini, jangan berlebihan, dia hanya ditinggal sebentar dan masih dekat dari rumah, kenapa harus menyuruh Alif dan istrinya datang, kamu terlalu memanjakan istrimu, Fayez.” Uminya menggerutu, sedangkan Zahra masih menangis terisak-isak dengan nada yang begitu pilu. “Hasna sedang sakit Umi.” Ucap Fayez dengan nada yang lembut, dia melirik Zahra yang terus menangis terisak-isak di pelukan Uminya. Ada yang mengganjal di hatinya dan ada rasa sedih melihat wanita itu menangis terisak-isak, andai saja dia jadinya menikah dengan Zahra, pasti dia yang akan menenangkan wanita itu dan memeluknya. “Astaghfirullah.” Fayez buru-buru beristighfar dan mengusap wajahnya kasar saat hatinya kembali berandai-andai padahal dia tau Allah telah menggariskan takdirnya untuk berjodoh dengan Hasna, dan Allah Maha Baik membantunya untuk membuka hatinya untuk Hasna dengan menunjukkan kebaikan-kebaikan yang dimiliki Hasna, namun kenapa hatinya masih begitu sulit menerima dan masih tertaut kuat pada Zahra? “Ada apa sebenarnya, Umi?” Tanya Fayez pada akhirnya. “Abi Zahra kecelakaan dan Zahra sedang murojaah bersama Umi, lalu Uminya mengabari jika Ayahnya kritis dan membutuhkan donor darah, sedangkan stok darah yang dibutuhkan sedang kosong, lalu saat Umi menanyakan golongan darahnya, ternyata golongan darah itu cocok denganmu dan Abi, tidak mungkin Abi yang mendonorkannya mengingat usianya lagi pula Abi juga saat ini sedang di luar kota, hanya kamu satu-satunya harapan, golongan darah Zahra sama dengan Uminya, sedangkan Abi Zahra adalah anak tunggal dan tidak ada lagi kandidat lain selain kamu. Kamulah satu-satunya yang bisa diharapkan pertolongannya.” Ucap Umi Ainun masih menenangkan Fayez. “Innalilahi, yang sabar ya Zahra, Insya Allah aku bisa membantu dengan sebaik-baiknya atas ijin Allah, tenangkan dirimu dan serahkan semuanya kepada Allah, Insya Allah Abi kamu masih diberi umur panjang oleh Allah.” Ucap Fayez mencoba menenangkan, namun Zahra tetap menangis dalam pelukan Umi Ainun. Tidak lama setelah itu mereka tiba di rumah sakit, Fayez langsung menerima tindakan dan mengikuti semua prosedur dengan tenang berharap usahanya bisa membuahkan hasil yang diharapkan semua orang. Mereka masih menunggu Abi Zahra ditangani, Fayez melihat di ruang tunggu jika Zahra telah dipeluk oleh Uminya sendiri dan Umi Fayez. “Fayez, tolong kamu belikan air mineral ya untuk Zahra, kasihan Zahra.” Pinta Uminya membuat Fayez mengangguk lalu menuju ke kantin untuk membeli air mineral dan roti. Umi Ainun kembali melirik ponselnya yang bergetar dan sudah ada tiga panggilan tidak terjawab dari Alif, namun sekali lagi Umi Ainun kembali menolak panggilan itu. Tangis Zahra berangsur mereda saat dia telah mendapat kabar dari dokter jika Abinya telah melewati masa kritisnya, dia masuk ke ruang IGD itu dan melihat keadaan Abinya yang begitu lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit. “Abimu akan segera pulih sayang, kamu tenang ya, kita pindahkan Abimu ke ruang rawat dulu ya, kamu harus menjadi wanita yang kuat untuk Umimu.” Bisik Umi Ainun merangkul Zahra. Fayez menunggu di luar kamar perawatan bersama Uminya, tadi perawat di IGD mengatakan jika Abi Zahra telah dipindahkan ke ruang rawat. Begitu Zahra keluar, Uminya berdiri dan mengatakan ingin menemani Uminya Zahra. Zahra duduk di samping Fayez, dia duduk berjarak satu kursi dari Fayez, Fayez membuka tutup botol air mineral itu dan memberikannya pada Zahra. “Minum dulu, Ra. Menangis sepilu itu pasti membuatmu kehausan.” Ucap Fayez membuka suaranya. Zahra menerimanya dengan senyum tipis walau wajah sedihnya masih tampak jelas. “Terima kasih ya, Gus. Sudah menyelamatkan Abi saya.” “Allah yang menyelamatkan, bukan aku.” Ucap Fayez lalu melirik jam dan menghitung, sudah hampir tiga jam dia meninggalkan rumah, entah kenapa tiba-tiba hatinya dipenuhi dengan rasa gelisah memikirkan keadaan Hasna. “Saya tau, Gus. Namun melalui perantara Gus Fayez dan kelapangan hatimu mendonorkan darah untuk Abi, Abi bisa selamat.” “Allah juga yang menggerakkan hatiku untuk lapang membantu Abimu.” Ucap Fayez lagi, dia melihat pada Zahra yang wajahnya terlihat lelah dan sayu. “Istirahatlah, Ra. Kamu butuh banyak istirahat, Insya Allah nanti Umi akan mengirim orang untuk stand by menjaga Abimu, kamu bisa pulang dengan Umimu malam ini.” “Keluarga kalian baik sekali.” Lirih Zahra dengan nada yang pilu. “Andai keluarga kita jadi bersatu, betapa indahnya ya Gus? Andai kita jadi menikah, sudah pasti aku akan merasa lebih tenang dan terlindungi karena ada kamu yang selalu siaga di sampingku dan pasti menenangkanku.” Bisik Zahra dengan tangis yang kembali terdengar. “Istighfar, Ra. Jangan berandai-andai, itu bisikan setan.” Fayez mengingatkan dan menarik napasnya dalam. “Tapi memang itu harapan paling menyakitkan dalam hidupku yang tidak pernah menjadi kenyataan. Aku mencintaimu, Gus. Sedari dulu! Aku menjaga hati ini hanya untukmu, semuanya berjalan indah dan kita akan segera menuju pada hubungan yang halal, namun perjodohan itu mengacaukan segalanya. Aku hancur, Gus. Duniaku hancur, hatiku luluh lantak tak terperi, kamu tidak tau bagaimana hari-hariku menjadi begitu gelap. Tidak ada satu laki-laki pun yang selalu kudoakan untuk menjadi suamiku selain dirimu, Gus.” Zahra menutup wajahnya dan kembali menangis tersedu, entah untuk yang ke berapa, wanita itu kembali kalah dengan perasaan dan hawa napsunya, setan berhasil membisikkan ke dalam hatinya hal-hal yang kotor itu. “Istighfar, Ra. Kamu terlalu jauh. Ini takdir Allah, bagaimana kamu bisa mengatakan kata-kata tidak pantas seperti itu, di mana kalam-kalam Allah yang melekat di hatimu itu? Bagaimana mungkin kamu menyandingkan kalam-kalam Allah di hatimu dengan kebencian dan penyesalan akan takdir yang tidak berpihak padamu? Ingat Allah, Ra. Ingat Allah.” Ucap Fayez lagi berusaha mengingatkan Zahra, namun justru tangisan wanita itu semakin keras. “Ini terlalu menyakitkan, Gus. Tolong beri tahu aku bagaimana caranya agar aku bisa ikhlas sedangkan hanya kamu yang aku cinta dan aku harapkan menjadi suamiku bertahun-tahun lalu hingga detik ini? Apakah kamu tidak mencintaiku Gus? Kamu mencintaiku juga sudah sejak lama kan? Ayo kita wujudkan pernikahan kita yang tertunda itu, Gus. Aku rela menjadi istri kedua asalkan menjadi istrimu, suami yang aku dambakan. Wallahi.” Ucap Zahra menatap Fayez dengan tatapan putus asanya. “Kamu benar-benar butuh istirahat, Ra. Aku pulang. Istriku menunggu di rumah.” Ucap Fayez lalu berdiri dan meninggalkan Zahra yang justru semakin kencang. *** Hasna tertatih menuju ke pintu, menutupnya dan menguncinya lalu tubuhnya luruh ke lantai begitu saja, bersandar di balik pintu dengan tangis yang menyayat hati. Kenapa rasanya sesakit ini, padahal dia telah mencoba untuk mengantisipasi hatinya dan mengingatkan jika Fayez tidak mencintainya dan masih mencintai wanita lain, namun dia tidak pernah menyangka, rasanya sesakit ini seperti tertikam pisau berkali-kali, begitu ngilu dan tak terperi. “Ya Allah … Astaghfirullah ….” Hasna menepuk-nepuk dadanya dengan kuat, kenapa Fayez begitu tega meninggalkannya yang sedang sakit? Bahkan tidak berpamitan padanya, apalagi tetap membiarkan pintunya terbuka. “Apakah tidak ada sedikit pun rasa khawatirmu kepadaku, Mas? Meninggalkanku sendirian dengan keadaan pintu terbuka sedangkan kamu tau aku sedang sakit?” Hasna menggumam pilu, semakin memeluk dirinya sendiri, lalu beranjak untuk kembali ke kamarnya. Namun baru beberapa langkah perutnya langsung bergejolak dan dia muntah di lantai dengan rasa yang pahit di mulutnya, kakinya terasa begitu lemah, tubuhnya gemetar lalu dia memilih untuk menuju ke sofa dan merebahkan dirinya di sana. Masih dengan air matanya dan napasnya yang terasa berat dan panas, Hasna kembali memeluk dirinya sendiri dan meringkuk di sofa itu dengan hati yang merintih pilu. Sekitar tiga jam kemudian Hasna terbangun dari tidurnya karena rasa tidak nyaman di tubuhnya, tubuhnya terasa sangat panas, kepalanya juga sangat pusing, dia menempelkan punggung tangan ke lehernya dan merintih saat merasakan rasa panas itu, rasanya lebih panas dari tadi sore. Dengan tenaga yang limit dan badan yang rasanya sudah tidak karuan, Hasna mencoba untuk kembali menuju ke kamarnya, dia ingin menelpon Mahira untuk menolongnya, dia sadar dia membutuhkan seseorang di saat seperti ini. “Ya Allah, kuatkan aku …” Bisik Hasna tanpa tenaga, langkahnya gemetar dan saat sudah berdiri, pening langsung menyerangnya, seperti dia diputar-putar dengan cepat dan kencang. “Allahuakbar.” Bisik Hasna lagi, pening itu menyerangnya semakin kuat, hingga Hasna kehilangan keseimbangannya dan tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang basah dan panas membasahi bibirnya. Hasna menyentuhnya dan melihat darah di tangannya. “Ya Allah …” Bisik Hasna menyadari dirinya mimisan, bertepatan dengan itu kepalanya seperti dipukul-pukul dan dunianya terasa berputar, hingga kesadaran terakhir yang dia ingat adalah rasa sakit saat kepalanya membentur meja kaca ruang tamu sebelum tubuhnya jatuh ke lantai. “Allah … Ya Rabb …” Bisik Hasna saat menyentuh keningnya dan lagi-lagi dia mendapati darah di sana, pelan-pelan matanya tertutup dengan segala rasa sakit yang dia rasakan di tubuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD