Bab 15 | Tamu yang Mengusik

1342 Words
“Enghh …” Rintihan Hasna menyadarkan Fayez dari lamunannya atas kejadian hari ini, tadi setelah pulang dari makan siang, dia meminta Hasna untuk tidur siang karena wajah wanita itu terlihat sedikit pucat, benar saja tidak lama setelah berbaring dia mendapati Hasna sudah terlelap. Fayez juga ingin tidur siang, namun begitu naik ke ranjang dan melihat bagaimana tenangnya Hasna dalam tidur membuat pria itu lalu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang dan menatap Hasna dalam, memikirkan tentang alasan dia mengunjungi Hasna dan mengajak wanita itu makan siang. “Kenapa dengan begitu banyak keindahan akhlakmu yang coba Allah tunjukkan padaku, masih begitu sulit bagiku untuk mencintaimu?” Fayez menggumam begitu lirih. “Ya Allah, mudahkan jalanku menumbuhkan cinta untuknya.” Fayez kembali menggumam lirih. “Dingin Ya Allah…” rintih Hasna dengan tubuh yang menggigil, matanya masih terpejam, membuat Fayez tersentak dengan wajah khawatir. “Na …” Panggil Fayez menyentuh pipi Hasna, namun detik itu juga dia terkejut.” Ya Allah, kamu demam, Na.” Ucap Fayez panik, dia mencoba membaringkan tubuh Hasna dengan posisi yang sempurna karena tadi Hasna meringkuk. “Na, kamu bisa mendengarku?” Tanya Fayez masih berusaha membuat Hasna membuka matanya, dan pelan-pelan wanita itu membuka matanya dan tersenyum tipis pada Fayez di tengah sakitnya. “Mas .. Jam berapa ini?” Tanya Hasna dengan begitu lemah. “Jam empat, kamu demam, Na. Kita ke dokter ya?” Ucap Fayez dengan nada khawatirnya, sekali lagi Hasna tersenyum dan menggeleng. “Tidak usah, Mas. Aku minum paracetamol saja, sepertinya hanya kelelahan karena memang sedang sibuk launching model abaya couple, Mas.” Ucap Hasna berusaha menenangkan. “Kamu yakin? Ya sudah jika sampai nanti malam demam kamu belum turun aku panggil Dokter ya?” Ucap Fayez mengambil jalan tengahnya, Hasna lalu mengangguk. “Aku cek suhu kamu dulu, sebentar ya …” Ucap Fayez lalu keluar kamar dan mengambil first aid dan obat untuk Hasna. Fayez datang tidak lama kemudian, dia dengan cekatan mengecek suhu tubuh Hasna, pria itu juga membawa sepotong bolu pisang untuk dimakan Hasna sebelum meminum paracetamol. Dengan telaten Fayez membantu Hasna untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang. “Makan roti ini dulu ya, Na, baru minum obatnya.” “Maaf ya Mas, aku jadi merepotkan.” Ucap Hasna dengan nada sedih dan bersalah, Fayez menggeleng dan mengusap lembut punggung tangan Hasna. “Kamu itu bicara apa, kamu tidak merepotkan sama sekali.” Ucap Fayez lalu menyuapkan rotinya kepada Hasna dengan lembut dan pelan-pelan hingga Hasna menghabiskan sepotong roti itu. “Katakan kepadaku apapun yang kamu rasakan, oke?” Fayez mengusap lembut puncak kepala Hasna yang masih tertutup jilbabnya. Hasna memang belum pernah membuka jilbabnya secara utuh di depan Fayez, jika tidur biasanya dia mengenakan jilbab kaos, rasanya masih malu dan canggung, apalagi Fayez juga belum pernah mengajaknya untuk melakukan ibadah suami istri. “Jika kamu merasa tidak nyaman, kamu bisa membuka hijabmu, Na. Kita suami istri sekarang jika kamu lupa.” Ucap Fayez melihat Hasna yang terlihat tidak nyaman masih mengenakan jilbab panjangnya. “Apa? Mas tidak keberatan?” Tanya Hasna yang kaget, mendengar itu Fayez mengernyit bingung. “Apakah aku pernah mengatakan keberatan melihatmu tanpa jilbab?” Tanya Fayez, dan Hasna menggeleng. “Lalu kenapa kamu terus mengenakan hijab hingga detik ini?” Tentu saja itu karena prasangka dia sendiri, yang takut jika Fayez keberatan dan menolaknya atau menganggap Hasna agresif padahal pria itu dengan terang-terangan mencintai wanita lain dan belum bisa menerimanya. “Aku … Aku takut Mas menjadi tidak nyaman dan risih, padahal kita masih baru saling mengenal dan aku pun tahu jika Mas mencintai wanita lain, maafkan aku ya, Mas. Aku sudah berprasangka buruk padamu.” Ucap Hasna dengan nada menyesal, mendengar itu membuat Fayez ikut merasa bersalah. “Tidak, Na. Kamu tidak bersalah, aku yang salah dalam hal ini, karena kelakuanku yang membuatmu memiliki prasangka itu. Mulai saat ini, apapun yang ingin kamu lakukan, selama itu bukanlah sesuatu yang dibenci Allah, maka kamu boleh melakukannya dan Insya Allah aku mengijinkannya.” Ucap Fayez kini menggenggam kedua tangan Hasna dengan erat namun lembut. Lalu pelan-pelan tangan Fayez menyentuh hijab Hasna dan membukanya, tersenyum menenangkan jika semuanya baik-baik saja. Lalu saat hijab Hasna terbuka sempurna, untuk sepersekian detik Fayez terpana, melihat betapa cantiknya Hasna tanpa hijabnya, membuat hatinya begitu penuh, wajah wanita itu yang terlihat bercahaya dan kulitnya yang putih, lehernya yang jenjang dan rambutnya yang hitam berkilau membuat kecantikannya bertambah berkali-kali lipat. Itulah kecantikan yang selama ini wanita itu sembunyikan dibalik hijabnya. Fayez yakin, dengan kecantikan Hasna ini, sembilan dari sepuluh pria akan terpana dan jatuh hati padanya. “Islam itu indah ya, Na? Pun bagaimana Allah yang memuliakan wanita dan menjaganya dengan cara yang menakjubkan. Bahkan dari cara berpakaian pun Allah yang mengaturnya, dan jika perempuan menyadarinya, aturan yang dibuat oleh Allah itu adalah bentuk cinta dan perlindungannya Allah kepada para wanita, karena wanita begitu dimuliakan.” Ucap Fayez memulai pembicaraannya, mendengar itu Hasna mengangguk dengan air mata yang membasahi wajahnya. “Benar sekali, Mas. Aku pun menyadarinya setelah aku belajar dan belajar, karena memang sekali pun kita terlahir sebagai seorang muslim, kita tetap harus menemukan islam dalam diri kita.” “Kamu benar sekali, di jaman sekarang, banyak orang muslim yang kehilangan keislamannya karena banyak faktor. Semoga kita selalu berada pada jalan yang dicintai Allah ya, Na.” “Aamiin … Mas …” Hasna menyunggingkan senyumnya, Fayez lalu berdiri dan membantu Hasna untuk kembali berbaring, menyentuh puncak kepala Hasna dan merasakan betapa lembutnya rambut wanita itu. “Istirahatlah, aku akan menemanimu di sini.” Bisik Fayez menaikkan selimutnya hingga d**a Hasna, tidak lupa dengan senyum pria itu yang selalu menenangkan Hasna. Hasna terjaga dua jam kemudian dan waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, bertepatan dengan itu Fayez datang membawa tray makan dan tersenyum pada Hasna. “Sudah enakan? Aku cek suhu kamu dulu ya, aku membuat bubur ayam. Semoga rasanya masuk dan bisa dimakan.” Fayez tersenyum dan meletakkan tray yang berisi bubur ayam dan teh manis hangat itu di nakas samping ranjang. Tadi suhu Hasna 38.5 derajat. “Alhamdulillah sudah 37.5, Na.” Ucap Fayez yang lanjut mengecek kening Hasna yang memang masih hangat. “ Makan dulu ya …” Fayez lalu membantu Hasna untuk duduk dan bersandar dengan nyaman di kepala ranjang. “Mas tidak ke masjid?” Tanya Hasna yang justru fokus pada hal lain. “Aku solat di rumah saja, menemanimu. Insya Allah menemani dan merawatmu juga memiliki pahala di sisi Allah.” Ucap Fayez lagi yang kini mengambil mangkuk bubur lalu menyuapkannya pada Hasna. “Bagaimana? Apa enak?” Tanya Fayez dengan nada cemas, dia sebenarnya ingin membeli saja, namun jam segini menemukan tukang bubur cukup sulit. “Enak, Mas. Aku menyukainya.” “Kamu tidak berbohong kan, Na?” Tanya Fayez dengan mata memicing. “Tidak, Mas. Sungguh, memang benar-benar enak.” Ucap Hasna dengan tatapan yakinnya, membuat Fayez terkekeh dan mengangguk. “Aku percaya,jika begitu habiskan ya.” Ucap Fayez dan Hasna mengangguk semangat. Hasna berbaring dengan nyaman memperhatikan Fayez yang sedang mengaji dengan suara yang begitu merdu, indah dan menenangkan setiap jiwa yang mendengarnya, rasanya dia ingin bisa terus mendengar suara merdu Fayez yang melantunkan kalam-kalam Allah, betapa beruntungnya dia mendapatkan sosok suami seperti Fayez. Sebuah bel rumah yang dipencet dengan tidak sabaran membuat Fayez mengehentikan ngajinya dengan tiba-tiba dan menatap pada Hasna. “Aku buka dulu ya, Na. Siapa yang bertamu maghrib-maghrib begini?” Ucap Fayez penuh tanya, pun dengan Hasna, apalagi memencet belnya dengan tidak sabaran. Fayez keluar dengan tergesa, sedangkan Hasna di kamar menunggu dengan penuh tanya, siapa yang bertamu di waktu yang kurang tepat dan terdengar tergesa-gesa? Dari kamarnya yang tidak tertutup dengan sempurna, Hasna bisa mendengar suara wanita membuat kening Hasna mengernyit semakin dalam, pelan-pelan dia mencoba untuk beranjak dan keluar untuk melihat siapa yang datang. Namun begitu dia sampai di ruang tamu, dia melihat pintu rumah yang masih terbuka, membuatnya berjalan dengan tergesa untuk melihat ke mana Fayez pergi dengan terburu-buru, tanpa menutup pintu? Tanpa berpamitan padanya? Hingga saat Hasna mencapai pintu, rasanya hatinya luluh lantak melihat Fayez yang masuk ke mobil bersama dengan Zahra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD