Kecewa

1738 Words
Mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas meja. Sudah dari satu jam dia menunggu kedua orang tuanya pulang. Sayang, yang ditunggu tidak kunjung menampakkan diri. Melirik ke arah jam dinding yang tepat berada di depannya. Mendesah saat menyadari sekarang sudah pukul delapan malam. Satu jam dari yang orang tuanya janjikan untuk pulang. "Lagi-lagi mereka terlambat." Dengan bahu terkulai, meninggalkan ruang keluarga yang menjadi tempatnya duduk satu jam ini. Suara ketukkan pintu menghentikan langkahnya. Berbalik mendekati akses masuk rumah itu dengan semangat. Apa orang tuanya sudah pulang? Huh, lagi-lagi kecewa. Bukan ayah dan ibunya yang datang, tapi tetangga yang hampir seharian ditemuinya. Kevin. "Ada apa lagi sih, Vin? Perasaan ke rumah gue mulu deh," ucap Anna malas. Delapan jam sudah dia habiskan bersama Kevin di dalam kelas. Dan sekarang, pria itu sudah ada di hadapannya lagi. Anna bosan. Menyelonong masuk tanpa memedulikan raut wajah sahabatnya. Dengan santai mendudukkan diri di sofa sambil menaikkan kaki. "Duduk dulu sini Na. Enggak usah ngomel-ngomel enggak jelas." Menepuk ruang sampingnya yang kosong. Masih dengan menggerutu, Anna mendudukkan diri. "Perasaan ini rumah gue deh, kok jadi elo yang kaya tuan rumah sih. Ngeselin banget. Kalau bukan temen dari bayi ya, udah gue usir." Namun tak urung, Anna mendudukkan diri juga. Bukan di tempat yang tadi Kevin tunjuk. Memilih duduk di sofa lainnya. Saking lamanya berteman, Kevin sudah tidak sungkan lagi. Dia tidak menganggap bertamu di rumah Anna, melainkan menempatkan diri sebagai tuan rumah. Kadang tingkah pria itu terlalu seenaknya sampai membuat Anna menepuk dahi. "Ada apa sih? Gue ngantuk tahu, pengin bobo cantik." Anna tidak berbohong mengatakan dirinya mengantuk. Dia sudah lelah di sekolah, di tambah menunggu kedatangan orang tuanya. Tidur lebih baik, daripada bertahan menunggu dengan hasil yang belum pasti, 'kan? Nasib baik kalau yang ditunggu datang. Kalau tidak? Sudah membuang waktu percuma, kecewa juga makin besar dia rasa. Memutar bola matanya malas. "Lagak lo bobo cantik. Lo itu enggak ada cantik-cantiknya kalau tidur," cibir Kevin. Dengan santai mengangkat kakinya ke atas sofa. Bersantai selayaknya di rumah sendiri. Memelototkan mata sambil menyilangkan kedua tangan di depan d**a. "Kok lo bisa tahu?" teriaknya histeris. Jangan-jangan Kevin mengintipnya saat tidur. Menggelengkan kepala keras, mengusir pikiran buruk itu. "Gue aduin ke bunda sama ayah, ya," ancam Anna. Dia tidak main-main akan hal itu. Walau mereka berteman dekat, tetap ada batasan antara perempuan dan laki-laki. Dan itu tidak boleh dibantah. Baik orang tua Anna atau orang tua Kevin sudah mewanti-wanti keduanya. Sebagai orang tua, tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada anak mereka. Jika bisa mencegah, kenapa tidak, 'kan? "Heh, heh." Mencekal pergelangan tangan Anna dengan cepat. Gadis itu sudah berniat keluar rumah. Kemungkinan besar mendatangi rumahnya dan mengadukan apa yang ada di pikirannya. "Heh, mana ada gue ngintip lo tidur. Lo enggak ingat pernah tidur di rumah gue? Di sofa ruang keluarga saat gua dan lainnya nonton?" Tidak, Kevin tidak seburuk yang Anna pikirkan. Dia tidak sendiri saat melihat cara tidur Anna yang luar biasa. Dan menurut Kevin, itu tidak ada cantik-cantiknya. Anna menggali ingatannya. Tertidur di sofa ruang keluarga Kevin saat yang lain sibuk menonton. Ah, Anna ingat. Awalnya memang satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga anaknya menonton film terbaru yang kebetulan telah rilis di salah satu aplikasi. Anna yang kesepian di rumah, memilih gabung. Yang tidak mereka tahu, sejak awal, Anna sudah mengantuk. Menahan sekuat tenaga agar bisa ikut menikmati. Entah berapa lama dia menahan, pertahanannya runtuh juga. Anna tidak ingat apa yang terjadi saat dirinya jatuh tidur. Yang dia ingat, begitu bangun hari sudah berganti malam. Ruang keluarga yang tadinya ramai tinggal dirinya dan Kevin di sana. Ah, salah satu kejadian memalukan yang tentu tidak mudah dia lupakan. Walau berlalu sudah lumayan lama, dia masih dengan jelas mengingatnya. Rasanya dari hari ke hari, malu itu makin bertambah. Apalagi kalau Kevin sudah mulai menyinggung masalah itu. "A... ah, mana ada kaya begitu. Lo jangan ngada-ada deh Vin. Udah deh mending balik aja sana." Mengusir keberadaan sahabat tujuh belas tahunnya itu. Anna sudah berusaha melupakan, tapi kenapa Kevin malah selalu mengingatkannya kembali? Apa pria itu tidak tahu bahwa Anna tidak nyaman dengan pembahasan itu? Dia malu. "Sana, keluar ih. Udah malem, enggak baik bertamu. Nanti tuan rumahnya terganggu. Kan mau istirahat." Mendorong tubuh Kevin agar berhasil keluar dari rumah. Tenaga Anna yang tidak sebanding dengan Kevin membuat tubuh pria itu tidak bergeser sedikit pun. Masih di tempat dengan Anna yang terus memberikan dorongan. "Lo percuma dorong gue kaya gini. Enggak bakal ngefek juga kali, Na. Yang ada lo malah capek. Dan gue lagi yang bakal kena marah. Salah mulu ya perasaan jadi gue mah. Jadi tempat sasaran kekesalan elo. Belum lagi kalau udah marah. Ya gue lagi yang kena." Menjadi teman Anna, juga sepaket menjadi samsak gadis itu. Entah berapa kali dia menjadi pelampiasan kekesalan dan kemarahan sahabatnya itu. Mungkin tak terhitung. Untung saja tenaga Anna tidak ada apa-apanya. Jadi ya, bisa aman hidupnya sampai saat ini. "Makanya jadi orang itu jangan ngeselin. Elo tuh, kaya setiap hari enggak pernah capek buat masalah. Kan gue kesel. Jadi sahabat bukannya buat gue seneng, eh malah kebalikannya. Untung lo punya sahabat kaya gue. Udah cantik, sabar lagi. Kalau gue enggak sabar, udah pergi cari sahabat baru," cibir Anna. Hubungan persahabatan keduanya tidak ada manis-manisnya. Tiada hari tanpa bertengkar. Anna dan Kelvin seperti bukan sahabat, tapi lebih mirip seperti musuh. Melotot tidak terima. "Bukannya kebalik? Gue mah selalu baik sama elo. Tapi elo yang enggak tahu diri selalu berulah. Nih kaya sekarang aja deh. Niat gue dateng ke sini padahal baik loh. Eh malah disambut dengan amat sangat dan teramat tidak ramah. Gue kasih bintang satu." Kalau Anna menyambutnya dengan baik, dia sudah berhasil menyampaikan tujuannya dan sekarang sudah kembali ke rumah. Mengerutkan alisnya tidak terima. "Mana ada kaya begitu. Semua ini awalnya dari elo ya. Lo dateng aja enggak ada sopan-sopannya. Bukan kaya bertamu. Main masuk dan duduk padahal belum disuruh. Kalau mau gue sopan, ya minimal lo juga harus sopan sama gue. Ingat? Hidup itu timbal balik, sebab akibat." Tidak terima dengan ucapan Kevin, Anna membalikan keadaan. Enak saja, di sini, yang paling bersalah ya Kevin. Bukan Anna. Mengembuskan nafasnya pasrah. "Ya, ya, ya. Terserah tuan putri aja. Nih gue dateng cuman mau kasih tahu kalau lo suruh buka handphone sama nyokap lo. Kalau punya handphone ya minimal di bawalah. Jangan main tinggal aja. Kan enggak tahu kalau ada pesan atau telepon yang masuk. Dan gue yang jadi susah," keluh Kevin. Ingin marah rasanya, saat hampir memenangkan game, orang tua Anna malah menelepon. Awalnya memang mengirimkan pesan. Dua kali dan sama sekali tidak dia buka. Kevin tidak bermaksud mengabaikan, sungguh game nya hampir selesai. Niatnya baru akan membuka usai memenangkan permainan online itu. "Tahu enggak sih? Tadi gue udah mau menang, eh malah nyokap lo malah telepon," desah Kevin yang masih tidak terima dengan kekalahannya. Membolakan matanya. "Apa? Lo marah sama nyokap gue? Enggak terima? Awas aja, gue aduin," cecar Anna. Enak saja, Anna tidak terima jika ibunya dianggap mengganggu Kevin. Pasti Kevin mengabaikan, makanya sang ibu langsung menelepon. Jadi, kesalahan awal pasti ada pada Kevin, 'kan? Kevin menghela nafas pasrah. "Enggak, mana ada. Gue itu kesel dan marah sama elo. Kalau tuh handphone dibawa, enggak bakal sampai nyokap lo telepon gue," sanggah Kevin. Mana mungkin Kevin berani menyalahkan orang tua Anna secara langsung di depan wajah anaknya. Apalagi si anak macam Anna yang terlau menyeramkan. Kevin memilih cari aman saja. "Ya udah, terus kenapa masih di sini?" sinis Anna. "Sana balik. Enggak usah cari alasan biar bisa lebih lama sama gue, ya," sambungnya dengan memasang wajah yang sangat menjengkelkan. Mengusap dadanya sambil menggelengkan kepala dramatis. "Perasaan gue udah dengan baik hati kasih tahu, eh malah dapet pengusiran. Enggak ada makasihnya lagi. Untung gue sabar," gerutu Kevin yang masih bisa Anna dengar dengan jelas. "Makasih banyak ya, Kevin yang paling ganteng. Terganteng sejagat raya," puji Anna yang dia niatkan sebagai ejekan. Memasang senyum selebar mungkin. Sangat jelas terlihat bahwa itu dipaksakan. "Sekarang, sana pulang. Gue mau tidur, menjernihkan pikiran dari sesuatu yang keruh ini." Dengan sengaja menekan kata keruh sambil menatap Kevin. Memutar bola matanya malas. "Enggak usah ngusir juga gue bakal pulang, kali. Mending di rumah, rame. Enggak kaya di sini yang sepi. Hati-hati aja Na, kali aja ada yang dateng tanpa diundang." Kabur sebelum mendapatkan balasan. Anna suka sekali melemparkan barang di dekatnya jika marah. Hanya yang ringan. Anna menutup pintu dan menghela nafas berat. Dia tahu Kevin hanya berniat bercanda, tapi mungkin karena sedang tidak dalam perasaan yang baik, kali ini Anna sedikit tersentil. Menatap sekelilingnya. Kevin benar, rumahnya sangat sepi. Di rumah besar ini hanya ada dia dan dua asisten rumah tangga yang sudah berada di kamar mereka. Anna sendiri. "Gue juga berharap rumah ini bisa ramai, Vin. Kaya rumah elo. Tapi bakal sulit sih. Gue malah ragu itu bakal terjadi." Tersenyum sendu. Melangkahkan kakinya menaiki anak tangga sampai tiba di lantai dua. Membuka pintu berwarna putih dengan beberapa stiker yang terpasang. "Tanpa perlu buka handphone juga gue tahu, pasti mereka enggak jadi pulang cepet. Mereka lagi-lagi ingkar." Lagi, Anna menghela nafas dengan berat. "Harusnya gua biasa aja, bukan kali pertama juga mereka begini. Tapi kenapa gua harus kecewa?" Menatap potret keluarga bahagia yang terpajang di sudut dinding kamar. Menatap dalam sampai tidak menyadari air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk luruh. "Ma, Pa, kenapa selalu seperti ini? Katanya kalian sayang banget sama aku, tapi apa yang kalian lakukan malah menunjukan sebaliknya. Kalian enggak tahu kalau aku kesepian di rumah besar ini, 'kan? Kalian terlalu sibuk dengan dunia yang kalian ciptakan sendiri. Apa aku salah kalau mengharap perhatian kalian? Aku enggak butuh semua uang yang kalian jadikan alasan. Persetan dengan semuanya, aku cuman mau kalian di sini." Meraung tanpa peduli jika ada orang lain yang mendengar. Ah, kemungkinan yang sangat kecil mengingat kamar asisten rumah tangganya berada di lantai bawah dan ujung, dekat dengan dapur. Melampiaskan semua rasa kecewanya dengan menangis sampai puas. "Seorang anak sangat wajar menginginkan keberadaan orang tuanya di sini, 'kan? Ma, Pa, anakmu ini rindu." Membekap mulutnya dengan bantal. Menangis kencang di sana. Anna ingin melepaskan semuanya. Berharap setelah itu tidak ada lagi rasa kecewa yang tertinggal. Tidak ada rasa sakit yang masih bertahan. Tertidur dengan sendirinya, masih dengan pipi yang basah menunjukkan sisa tangis. Mengabaikan perutnya yang lapar belum sempat diisi. Tersenyum dalam tidur, mimpinya yang lebih indah dari kenyataan membuat Anna ingin lebih lama menghabiskan waktu di dalam sana. Merasakan kebahagiaan yang jarang dia dapatkan. "Ma, Pa, ayo kita jalan-jalan," gumamnya dalam tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD