"Na, itu muka biasa aja dong. Enggak usah dijelek-jelekin juga udah jelek," cibir seorang pria yang menggunakan seragam putih abu-abu. Pria bernama Kevin itu bahkan tidak memedulikan si lawan bicara yang memelototkan matanya marah. Menatap penuh permusuhan padanya. "Enggak usah begitu, makin jelek tahu enggak sih?" cibir Kevin.
Mengusap dadanya naik turun. "Untung gue cantik, baik hati, dan juga sabar. Jadi, enggak usah pedulikan apa pun yang orang dengki ucapkan. Yang ada malah jadi gila bareng. Ayo, Anna, fokus sama apa yang lo lihat sekarang, enggak usah dengarkan omong kosong setan di samping lo." Bermonolog sekaligus menyindir pria yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Lagian, yang bilang gue jelek pasti punya kelainan sama matanya. Orang cantik maksimal gini, kok." Mengibaskan rambut panjangnya sampai mengenai mata Kevin.
Kevin tersenyum paksa. Senyum yang menunjukkan betapa dia harus ekstra sabar menghadapi sahabat sedari embrionya itu. Menghadapi Anna, tidak semudah kelihatannya. Lebih sulit dari soal matematika berjumlah seratus sekali pun. Jadi, jangan tanya bagaimana tingkat kesulitannya. "Yang ada gue yang bisa gila kalau ngadepin elo," gumam Kevin pelan. Teramat pelan sampai hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya. Tidak mau mencari gara-gara atau masalah akan makin panjang.
Meringis merasakan lengannya yang diremas dengan tenaga super. Siapa pelakunya? Jelas Anna. Apa yang bisa Kevin lakukan? Mengalah, merelakan lengannya menjadi korban. "Sabar, Vin. Semua ujian berat ini akan berlalu kok." Batin Kevin bersua.
"Kenapa sih jadi orang centil banget? Enggak inget umur apa gimana? Udah tahu lebih tua juga, masih aja mepet. Ih, enggak tahu diri banget," cibir Anna masih dengan pandangan mata yang tidak lepas menatap pada dua orang berbeda jenis kelamin yang tengah asyik mengobrol.
Di depan sana, pak Rian, guru incarannya tengah mengobrol asyik dengan guru perempuan. Bukan hal aneh melihat keduanya akrab seperti itu. Banyak desas desus yang mengatakan jika guru wanita itu menaruh rasa. Itu berarti menjadi saingan Anna dalam mendapatkan Rian. Tidak akan Anna biarkan. Apa pun yang terjadi, Rian hanya untuknya seorang. Dia akan berusaha semaksimal mungkin demi mendapatkan apa yang dia inginkan.
Menengok ke sampingnya dan mengernyitkan kening. "Lo kenapa deh, Vin? Gue lagi kesel kok malah diem aja, mana sambil senyum-senyum enggak jelas lagi. Jangan bilang, lo seneng kalau gua sakit hati ya?" tuduhnya dengan mata memicing curiga. "Enggak setia kawan banget sih. Sahabat lo ini lagi sakit hati loh. Kasih penghibur atau apa kek," lanjutnya masih dengan nada kekesalan yang tinggi.
"Na, plis deh, ini gue lagi nahan sakit juga." Kalau tidak ingat Anna adalah perempuan dan juga sahabatnya, Kevin tidak akan tanggung memberikan pelajaran. Sepertinya rasa yang Kevin rasakan melebihi sakit yang Anna elu-elukan sedari tadi.
Melototkan matanya. Menatap Kevin horor. "Lo suka sama bu Riri? Demi apa, Vin? Sadar Kevin, sadar. Dia lebih tua dari elo. Jauh banget jaraknya. Malah ada gosip yang bilang dia itu janda. Lu suka sama tante-tante? Enggak habis pikir deh gue. Nyokap lo harus tahu tentang ini. Biar dia bertindak." Menggelengkan kepalanya dramatis. Sekarang Anna menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia tidak pernah menyangka sahabatnya menyukai wanita yang usianya jauh di atas mereka. Memang tidak ada masalah, tapi, ah sudahlah.
Kevin ikut melotot. Menjitak kepala Anna cukup keras. Kenapa juga pikiran bocah itu sampai sangat jauh? "Heh b**o. Gue sakit bukan karena cemburu. Siapa juga yang suka sama bu Riri. Asal lo tahu, di sini, di hati gue, udah ada seseorang yang nempatin. Sumpah ya, gue kadang enggak bisa ngerti apa yang ada di otak lo itu." Menunjuk bagian dadanya yang sudah berpenghuni. Yang jelas, bukan bu Riri seperti yang Anna ucapkan. "Gila aja, gue masih suka yang muda. Walau kata orang janda lebih menggoda, pilihan gue tetep yang muda."
"Ya kan kali aja, Vin. Terus lo sakit kenapa? Heh, kok gue makin takut ya." Anna berpikir buruk mengenai kemungkinan yang paling dia hindari. "Lo suka sama pak Rian juga ya?" bisiknya di telinga Kevin. Bergidik ngeri sambil menatap Kevin horor. Ini lebih menakutkan dari kemungkinan Kevin yang menyukai bu Riri. Ya Tuhan, kenapa Anna harus berteman dengan Kevin?
Mendorong kepala Anna menjauh. Menyentil kening gadis itu sampai meninggalkan bekas kemerahan. "Pikiran lo terlalu jauh, b**o. Ini lihat, gue sakit karena tangan lo dengan enggak tahu dirinya buat mahakarya ini. Lo enggak sadar kalau dari tadi udah remes tangan gua? Mana pake tenaga kuli lagi," sembur Kevin. Menunjukkan tangannya yang masih meninggalkan jejak kemerahan.
Mengusap keningnya yang terasa sakit. "Kenapa enggak bilang langsung aja sih. Enggak perlu juga lo nyentil jidat gue. Tangan enggak tahu diri lo itu udah menyakiti kepala berharga gue, b**o. Sakit nih, padahal lo tahu kalau kepala gue cuman satu. Mana di toko enggak ada yang jual. Kalau kepala gue kenapa-napa, mau diganti pake kepala lo memangnya?" Menggerutu sebal. Mengusap sayang kepalanya yang menjadi korban. "Lo itu udah melakukan KDP, kekerasan dalam persahabatan. Biar enggak gue laporin ke komnas perlindungan anak baik, sini gue bales, biar impas juga." Tangannya terangkat hendak menggapai kening Kevin. Tidak berhasil karena Kevin sudah melarikan diri lebih dulu.
Jadilah, Anna mengejar Kevin sambil berteriak. "Kevin, sini lo! Tanggung jawab, jangan cuman mau berbuat aja. Sini gue bales. Awas aja, gue buat kepala lo jadi merah karena sentilan maut."
Teriakan Anna yang awalnya ambigu membuat beberapa orang yang mendengar mengalihkan pandang. Menatap intens pada dua orang yang memang terkenal suka sekali berkelahi. Dua orang sahabat yang sering bertengkar, namun juga kadang sangat akur melebihi orang pacaran sekaligus.
"Gue kira berbuat apa, tahunya cuman sentilan aja. Memang ya, dua orang itu selalu aja ribut," ucap seorang gadis yang memang satu kelas dengan Anna dan Kevin. Ucapan yang diangguki setuju oleh lainnya.
"Lo enggak kesel satu meja sama bocah kaya dia, Fir? Dia freak banget, 'kan. Mana lo baik banget juga lagi. Mau aja ngasih jawaban ke si Anna. Enak di dia, rugi di elo." Satu orang lagi angkat suara. Bertanya pada teman satu meja Anna yang terkenal pintar dan baik. Gadis pendiam yang sayang nasibnya begitu buruk.
Fira hanya tersenyum. "Kenapa harus kesel? Anna itu baik kok. Dia memang kelakuannya kaya gitu, tapi aslinya beneran deh, baik banget. Kalau kalian lebih jauh kenal dia, kalian juga bakal ngerti. Dia baik ... banget," jawab Fira yang membantah semua tuduhan temannya. Anna, gadis itu memang benar baik. Hanya kadang dia berulah dan membuat orang di sekitarnya menepuk dahi.
"Iya deh yang selalu bela temen baiknya," cibir lainnya. Para perempuan sedang duduk sambil mengobrol di depan kelas. Sedang Anna memilih mengikuti ke mana guru favoritnya pergi. Dengan Kevin yang ikut membuntuti di belakang. Lelaki itu merasa bertanggungjawab akan sahabatnya. Tingkahnya yang ajaib membuat dia harus ekstra sabar mendampingi.
Kembali pada Anna dan Kevin. Gadis dengan bando berwarna merah muda itu memilih duduk di tempatnya. Meneguk air mineral yang dia bawa dari rumah. Membiarkan Kevin kabur makin jauh. Anna tidak kuat lagi mengejar. Daripada dia akan berakhir mengenaskan, mending menyerah saja. Ingat, menyerah bukan berarti kalah.
"Na, bagi minumnya dong, gue haus nih. Yang buat gue haus kan elo. Jadi, harus tanggungjawab." Kevin mendudukkan diri di meja yang Anna tempati. Meminta belas kasihan agar Anna mau memberikan minum walau hanya seteguk saja. Kevin sangat haus. Dia tidak membawa minum seperti yang gadis itu lakukan. Dan untuk ke kantin, Kevin terlalu malas.
Anna melengos. Memunggungi Kevin tanpa merespons. Terus meneguk air minumnya. Membuat gerakan yang sangat menggoda. Anna akan puas jika Kevin benar-benar tergoda namun tidak bisa menuntaskan hausnya. Anna memang jahat, tapi melihat Kevin tersiksa, membuat kesenangan dalam dirinya sendiri. "Enak banget sih, siang-siang gini minum air putih. Selain menyembuhkan dahaga, juga sehat pastinya."
Kevin mulai paham, Anna berniat mempermainkannya. "Pelit banget sih jadi orang. Lo tahu kan kalau pelit itu kuburannya sempit? Lo mau kalau kuburan lo nanti sempit? Gue sih ogah." Mulai menakut-nakuti. Biasanya, Anna akan termakan kalimat yang dia ucapkan.
"Gue tahu kok. Asal lo tahu, buat temen kesel dan kesakitan juga bukan perbuatan yang baik. Lo tahu kan kalau semua perbuatan buruk bakal dapat balasannya? Apalagi yang udah lo sakiti cewek lemah lembut macam gue ini. Tuhan pasti bakal marah banget sama elo." Membalikan kalimat Kevin. Biar saja, Anna masih kesal dengan Kevin. Keningnya bahkan masih terasa sakit. Sehebat itu tenaga Kevin. Memang tidak tahu diri. Padahal Anna kan perempuan.
"Ya udah iya, gue minta maaf. Nih, kalau lo mau bales nyentil gue, nih jidat gue." Menaikkan rambut yang menutupi keningnya. Memberikan kemudahan akses pada Anna. Akhirnya, Kevin yang akan selalu mengalah.
Anna dengan senang berbalik. Mengangkat tangannya mendekat ke arah kening Kevin. Pria itu menatap penuh waspada. Meneguk ludahnya susah payah menyadari wajah Anna yang sangat penuh dendam. Gadis itu pasti akan melakukannya dengan sangat keras. Lebih keras saat Kevin melakukannya tadi. Apa sakit yang dia rasa akan lebih parah?
Mengernyit bingung ketika gadis itu menurunkan kembali tangannya tanpa menyentuh sedikit pun. "Loh, kenapa Na? Ini bales, biar lo bisa puas." Mendekatkan kepalanya.
"Gue udah enggak kepengin bales. Jadi ya, kapan-kapan aja deh. Jangan kaget kalau gue kasih lo pelajaran suatu waktu. Siap-siap aja ya, Vin." Tersenyum lebar mengabaikan wajah Kevin yang melongo. "Dan oh iya, tadi lo pengin minta minum, 'kan? Gue sih mau aja kasih, tapi sayangnya udah habis. Maaf ya." Menaikkan botol berwarna merah muda itu di hadapan Kevin. Menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri.
Kevin menghela nafas lelah. Berlalu meninggalkan Anna, mendudukan diri di kursinya. Menelungkupkan kepala pada lipatan tangan. Kevin harus segera menjauh dari Anna, atau dia bisa lepas kendali. Anna benar-benar memancing emosinya. Dia takut akan menyakiti gadis itu.
Tertawa melihat Kevin yang menjauh dengan lesu. Suruh siapa main-main dengan Anna. Jadi ya, terima sendiri akibatnya. "Kasihan juga sih tapi. Dia pasti haus. Ya mau bagaimana lagi, minum gue aja udah habis. Sorry ya, Vin. Lo harus tahan rasa haus lo sampai balik. Nanti kalau sampai rumah gue kasih deh," gumam Anna.
"Untung sayang, coba kalau enggak, udah gue kasih pelajaran itu bocah."