"Pak, kata mama saya, kalau mau jago matematika itu harus suka sama pengajarnya dulu. Bener enggak sih Pak?" tanya gadis berkucir kuda itu sambil menopang dagu. Menatap intens orang yang dia panggil Pak itu.
"Iya mama kamu benar. Kalau mau bisa mata pelajaran, apa pun ya. Bukan cuman matematika. Yang pertama, sukai dulu pengajarnya. Soalnya habis suka pengajarnya enggak lama bakal suka sama pelajarannya dan setelah itu kamu bakal bisa. Paham kan?"
"Jadi yang harus saya lakukan pertama itu suka sama Bapak kan? Kalau itu sih, saya sudah khatam Pak." Berseru semangat, tidak memedulikan teman satu kelasnya yang lain.
"Bukan begitu juga maksudnya," desah sang guru muda yang mulai lelah menghadapi satu siswa ajaibnya.
Namanya Arianna atau lebih sering dipanggil dengan nama Anna. Gadis berambut sepunggung itu awalnya membenci matematika setengah mati. Memiliki tugas yang dianggap mulia untuk menghapuskan matematika dari muka bumi ini. Arianna berpikir bahwa pelajaran paling memusingkan itu ditakutkan akan merusak kemampuan masa depan bangsa. Huh, seperti dirinya ini. Lagi pula, memang matriks, integral, dan teman lainnya itu akan berguna di kehidupan sehari-hari? Kan tidak. Lalu kenapa dia harus mempelajarinya? Apa tidak tahu kalau kepala Anna hampir meledak tiap melihat angka-angka itu? Jangan lupakan matanya yang otomatis rabun. Sepertinya, di dunia ini Anna lah yang memiliki kadar kebencian paling besar.
Semua kebencian perlahan dipaksa sekuat tenaga untuk pergi. Dengan cara jitu yang menurut mamanya sangat mujarab. Sukai dulu pengajarnya. Sebenarnya bukan baru-baru ini Anna mendengar nasihat itu dari sang ibu. Sudah sedari dulu, tapi masa iya Anna harus menyukai guru matematikanya yang kalau tidak wanita ya pria yang kebanyakan sudah berumur dan pastinya sudah bersistri? Yang benar saja. Nasib baik menghampiri kala pengajar lamanya yang berkepala botak dan berperut plontos itu pensiun. Guru baru yang tampan dan muda datang menggantikan. Kalau bentuknya seperti itu, Anna tidak keberatan untuk menyukai. Bahkan mencintai juga mau-mau saja.
"Pak, Bapak tahu enggak sih kalau setiap saya dekat Bapak itu rasanya enggak pernah tenang? Jantung saya ini Pak, kenceng banget geraknya. Saya sampai takut kalau bakal jatuh ini jantung." Memegangi bagian jantungnya sambil memasang raut serius.
Mendengar ucapan Anna yang sarat akan gombalan, membuat satu kelas berseru. Menyoraki keberanian atau kegilaan temannya yang tidak berujung. Sahutan-sahutan yang meminta Anna meneruskan usahanya terdengar.
"Gas aja Na, buruan. Sebelum jalur kuning melengkung."
"Terus Na, gua dukung sampai nanti di pelaminan."
"Gila, pepet terus Na. Nanti juga ujungnya bakal luluh. Batu juga bakal kebelah kalau air yang netesin enggak berhenti."
Anna menoleh ke arah teman-temannya. Menangkupkan tangan sambil menarik lebar kedua bibirnya berlawanan. "Makasih ya kawan-kawan ku yang pengertian. Kalian memang pendukung nomor satu gue dalam mendapatkan pak Rian. Kalian bakal dapet undangan VIP kalau kita nikah. Iya enggak Pak?" Menaik turunkan alisnya menggoda. Anna masih belum lelah menggoda guru favoritnya itu.
Menolehkan kembali kepalanya ke arah depan. "Tuh, Bapak dengar kan kata mereka? Mereka sudah mendukung kita sepenuhnya loh Pak. Tinggal kesediaan Bapak aja. Kalau iya, ayo lanjut. Kalau enggak, ya harus lanjut. Kata mama saya memang cinta enggak bisa di paksa, tapi kalau saya mah pengecualian Pak. Boleh paksa sampai dapat." Tersenyum sangat lebar sampai terlihat deretan giginya. Anna mengatakan kalimatnya dengan enteng tanpa merasa bersalah atau malu sedikit pun.
"Sudah, diam. Karena kalian ribut, saya berikan tugas. Kerjakan halaman dua puluh. Nomor satu sampai sepuluh. Sebelum bel istirahat, kumpulkan di meja saya di kantor. Ketua kelas, kamu yang kumpulkan. Tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun." Rian, pria berusia seperempat abad itu ingin segera meninggalkan kelas. Dia akan makin gila jika lebih lama berada di dalam kelas itu. Kelas yang baginya seperti neraka.
"Pak, kok tega banget sih sama saya, padahal tadi saya menyatakan perasaan saya yang suci itu dengan jujur dan sangat manis. Tapi balasan Bapak malah seperti ini. Bapak tega sekali, saya terluka dan kecewa loh Pak." Memasang raut terluka sambil menggelengkan kepalanya dramatis. Anna, dan acting-nya.
Rian di depan sana tersenyum manis, hal yang ditakutkan hampir seluruh siswa di kelas ini. Namun tidak dengan Anna yang malah balas tersenyum, terlalu percaya diri bahwa gurunya akan mengubah keputusan. "Ya sudah, saya tambah halaman berikutnya juga. Harus selesai sebelum istirahat. Yang tidak mengumpulkan, akan mendapatkan nilai nol. Paham kalian?" Meninggalkan kelas mengabaikan sorakan protes yang dilayangkan siswanya. Rian hanya ingin segera menjauh dari gadis bernama Arianna itu.
Bahu Anna terkulai lemah. Dia kira, senyum manis itu mengandung keputusan yang manis pula. Pembatalan pemebrian tugas, misalnya. Ternyata malah sebaliknya. Bukannya dibatalkan, malah ditambah. Tugasnya, jadi lebih banyak.
"Ah gara-gara elo sih Na." Hampir seluruh penghuni keras menyalahkan Anna sebagai penyebab mereka diberikan tugas. Padahal sebelumnya mereka ikut berteriak untuk mendukung usahanya.
Membalikkan badan dan mengacungkan jari tengah. "Enak aja main nyalahin gue. Kalau kalian tadi enggak pada berisik, ya enggak bakal di kasih tugas ini kali. Ngaca sana," bersungut kesal. Kesalahan bukan sepenuhnya berada di tangan Anna kok. Mereka juga turut andil. Tapi malah seenaknya menuduh.
"Udah, enggak usah diurusin. Kaya enggak tahu mereka kaya gimana aja sih. Ayo buruan kerjain Na." Fira, teman sebangku Anna menenangkan. Gadis itu sebenarnya sedikit kesal dengan Anna. Huh, kalau dia tidak banyak bicara, tidak mungkin mereka akan diberikan tugas yang jumlahnya tidak manusiawi ini.
"Tapi, gua liat punya lo ya Ra." Mengedipkan matanya berkali-kali. Berharap Fira si juara kelas akan kembali luluh memberikannya jawaban. Sudah hal biasa bagi Anna meminta jawaban pada Fira. Makanya kalau nilai tugas, dia masih bisa mencapai di atas KKM. Kalau ulangan harian, jangan tanya lagi. Nilai Anna tidak pernah jauh dari satu, dua, tiga, dan empat. Mencapai lima saja sudah luar biasa. Anna dan otaknya yang pas-pasan.
Memutar bola matanya malas, namun tak urung mengangguk juga. "Sudah tahu enggak bisa, bukannya belajar malah liat jawaban punya gue mulu. Sebenernya gue salah tahu Na, gue harusnya enggak kasih jawaban ke elo secara cuma-cuma. Tapi kalau suruh ngajarin elo, gue nyerah sih. Pak Rian aja enggak berhasil, gimana gue," gerutu Fira. Ya, Fira sangat menyadari bahwa dia yang selalu memberikan jawaban adalah salah besar. Hal itu malah makin membuat Anna kesulitan nantinya. Fira harusnya mengajari atau memberitahu bagaimana rumus dan langkah apa yang harus Anna ambil. Sayang, Fira tidak sesabar itu. Mengajari Anna sama saja dengan menipiskan kesabaran. Fira sudah menyerah dari lama.
"Iya Ra, iya. Gue juga enggak ada niatan buat belajar sama elo. Ini kepala rasanya sudah berasal, kalau lo maksa buat belajar, bisa-bisa hangus kebakar." Menopang dagunya dengan satu tangan sedang tangan lainnya mencoret abstrak buku dengan bolpoin. Coretan bebas yang hasil akhirnya mampu membuat siapa saja melongo.
Fira lagi-lagi menghela nafas pasrah. Hampir tiga tahun satu kelas dan satu bangku dengan Anna, dia jadi diajarkan apa itu sabar. Kalau dia tidak sabar, sudah dari lama mencari teman baru. Bentukan seperti Anna ini sangat jarang ditemui, dan Fira juga tidak bisa membayangkan jika ada orang lain seperti Anna di sekitarnya. Satu Anna saja berhasil membuat dia mengelus d**a berkali-kali, apalagi ada Anna lainnya. Fira sepertinya pilih menyerah saja.
Anna itu, ceroboh, tidak tahu malu, dan juga sedikit bodoh. Ah bukan bodoh, hanya saja gadis itu membutuhkan sedikit waktu yang lebih lama untuk mencerna. Arianna sangat ajaib, dia tidak malu untuk mengungkapkan apa yang sedang dia rasa. Begitu mudah mengekspresikan diri. Percaya diri yang tinggi, dan satu lagi, Anna sangat keras kepala.
"Na, lo kapan mau berubah sih? Kita sudah mau kelulusan loh. Lo mau kalau enggak lulus? Pasti enggak kan?" Yang Fira takutkan satu, saat ujian dia tidak bisa membantu temannya itu untuk mengerjakan. Bagaimana jika nanti Anna tidak bisa?
Memiringkan kepalanya menatap Fira. "Gue harus berubah jadi apa? Jadi power rangers? Eh tapi ya Ra, gue jadi penasaran. Power rangers itu bisa matematika enggak ya? Apa mereka sama begonya kaya gue? Gue harus cari tahu di mana ya? Apa gue samperin ke markas mereka aja?"
Satu lagi kelakuan Anna yang membuat orang di sekitarnya menepuk dahi. Pertanyaan absurd sangat sering gadis itu ajukan. Pertanyaan yang sama sekali tidak penting.
"Terserah elo deh Na, capek gue lama-lama." Fira menyerah meladeni teman ajaibnya. Mending berpusing ria menghadapi soal demi soal yang harus dikerjakan. Itu lebih baik daripada harus berurusan dengan Anna.
Mencebikkan bibirnya. "Lo mah gitu Ra, padahal gua cuman nanya aja. Eh, tapi elo tahu enggak sih di mana markas mereka?" Menatap Fira dengan pandangan serius. Demi Tuhan, Anna sangat penasaran. Di mana dia bisa menemukan tempat yang dijadikan markas para power rangers itu. Dia ingin datang dan melihat apa saja yang ada di dalamnya.
"Sumpah ya, pertanyaan lo enggak jelas banget. Padahal umur sudah tua, tapi pikiran masih aja kaya bocah. Mana ada power rangers beneran Na, itu cuman film aja. Semuanya fiktif. Lo kayanya enggak boleh sering main sama tetangga lo yang masih bocah itu deh." Fira tahu jika Anna sering bermain dengan tetangganya yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Anna juga merupakan anak tunggal di rumah. Orang tuanya sibuk bekerja, jadi jarang mengajari anaknya sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masa remaja. Gadis itu terlalu polos, atau bodoh.
"Ribut mulu kalian berdua," tegur seorang pria yang berjalan mendekat ke arah bangku yang Anna dan Fira tempati. Dia Kevin, sahabat Anna sedari kecil yang kebetulan mereka menempati kelas yang sama.
"Vin, gue pesen ya sama lo. Si Anna jangan biarin main sama adek lo terus. Otak dia ketularan kaya bocah soalnya. Kesel gue." Bocah yang Fira maksud adalah adik bungsu Kevin. Bukan hanya bersahabat, mereka juga bertetangga. Rumahnya tepat bersebelahan. Bahkan terdapat pintu penghubung di antara tembok tinggi rumah masing-masing. "Noh, sahabat lo tanya di mana markas power rangers, kali aja lo bisa jawab." Melemparkan tanya yang Anna ajukan tadi. Barangkali karena saking lamanya mereka berteman, Kevin bisa menjawab atau sekedar memberi tahu bahwa apa yang ada di kepala Anna tidak semuanya bisa di jawab.
Menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kevin sudah kenyang dengan pertanyaan tidak jelas yang Anna ajukan. "Kayanya bener kata Fira deh Na, lo jangan kebanyakan main sama si bocil. Kan bisa tuh main sama Rena, ya walau masih di bawah lo umurnya, tapi enggak jauh banget lah selisihnya." Rena, adik Kevin yang sekarang berusia 12 tahun. Selisih lima tahun lebih mending daripada dengan Arkan yang terpaut sepuluh tahun.
Memelototkan matanya tidak terima. "Ih, kalian kok ngatur-ngatur gue sih. Terserah gue dong mau main sama siapa aja. Lagian, Arkan seru kok. Daripada Rena, dia lebih suka coret-coret muka. Kan gatel, mana aneh lagi. Sama Arkan gue bisa main apa aja."
"Terserah lo aja Na," ucap Kevin dan Fira bersamaan.
Anna bersorak riang. Bertepuk tangan beberapa kali. "Cie, barengan, jangan-jangan kalian jodoh."