Bab 12

1043 Words
Aku membiarkan tamuku sendirian di ruang tengah selama satu jam. Tidak ada yang dapat kulakukan untuk mengusirnya. Aku hanya menunggu hingga suara ketukan pintu dari arah depan terdengar. Aku tahu siapa yang datang. Melalui lubang kunci di pintu kamarku, aku melihat Nick masuk. Bibi Martha yang sedang berdiri di depan perapian langsung berjalan ke arahnya. Wanita itu memberi Nick pelukan yang tidak kalah eratnya seperti yang dia berikan padaku. Aku merasa lega, setidaknya aku mengalihkan tugas untuk menemani wanita itu pada Nick. Aku hanya berharap mereka tidak tinggal lebih lama. Sekitar pukul delapan, bibi Martha telah menyiapkan makan malam untuk kami. Harus kuakui kalau aku merindukan masakannya. Sama seperti ibuku, dia sangat pandai memasak. Mencicipi masakannya terasa sama seperti mencicipi masakan ibuku. Kami duduk berhadap-hadapan di atas meja makan dan menikmati hidangan. Nick kelihatan tidak begitu menyukai suasana itu, dia lebih banyak diam di sepanjang acara makan malam. Sedangkan bibi Martha - seperti yang selalu dia lakukan, dia berbicara sepanjang saat. Sementara aku hanya diam, sesekali aku menanggapinya hanya ketika ia bertanya. "Apa semuanya baik-baik saja?" Nick tidak menjawab, ia masih sibuk dengan makanannya hingga aku menyadari kalau wanita itu sedang bertanya padaku. Aku segera mengangguk. "Kenapa kau tidak pernah menghubungiku lagi?" "Tidak, aku.." "Dia disibukkan dengan urusannya," Nick menjawab pertanyaan itu untukku. "Bukan begitu, Sara?" "Tidak apa-apa," bibi Martha meraih satu tanganku di atas meja dan menggenggamnya erat. "Kau bisa menghubungiku kapanpun kau ingin. Jika kau membutuhkan sesuatu, katakan saja." Aku tidak menanggapinya - Nick terus mengawasiku. Ia menatapku dari balik cangkirnya dan berdeham ketika aku balik menatapnya. "Bagaimana terapinya? Apa itu berhasil?" "Ya," aku berbohong. Aku tidak akan mengatakan padanya kalau aku masih tidak bisa mengingat apapun. "Itu bekerja. Aku merasa lebih baik." Bibi Martha tersenyum lebar. Saat aku melihatnya, ia tampak mirip dengan ibuku. "Aku ikut senang mendengarnya. Kau harus mendengarkan apa yang disarankan doktermu. Yang terpenting, kau harus percaya kalau kau dapat sembuh. Aku percaya padamu, sayang.. jangan biarkan masa lalu menghancurkanmu." Genggaman bibi Martha di tanganku terasa hangat. Aku bisa melihat rasa simpati di matanya: sebuah perasaan yang membuatku merasa tidak nyaman saat berada di dekat seseorang. Di seberang, Nick terus memandangiku. Ia melakukannya persis seperti yang selalu dilakukan dan kami tahu apa yang sama-sama kami pikirkan, hingga Nick memutuskan untuk berdeham dan memecah keheningan itu, aku baru sanggup menghela nafas lega. "Kau tahu, aku penasaran tentang Ben dan Sam. Bagaimana dengan mereka?" Aku masih tidak bisa mengingat dengan jelas siapa Ben dan Sam, tapi aku cukup yakin kalau Nick sedang membicarakan sepupu kami. Ben dan Sam - begitulah kami sering memanggilnya dulu. Sam.. mungkinkah nama panjangnya Samantha? Dan aku penasaran, mengapa bibiku memilih nama Benjamin untuk anak laki-lakinya. Apapun itu, ia terlihat tidak begitu senang. Wajahnya murung. Kedua bahunya terangkat saat ia menjawab. "Ben dikeluarkan dari sekolahnya karena narkoba." Itu bukan kabar baru untukku dan Nick. Kami tahu bagaimana perangai Ben - dan aku tahu, Sam tidak kalah buruk dari adiknya. Samar-samar aku mengingat wajahnya yang masam, lubang bekas tindikan di hidungnya yang mancung, juga gelang-gelang hitam aneh yang melingkari pergelangan tangannya yang kurus. Wanita itu terlalu kurus - dia terlalu angkuh dan suka berpikir kalau dia dapat melakukan segala hal. Kami tidak pernah menjadi begitu akrab. Satu-satunya yang menghubungkan kami adalah bibi Martha, terlepas dari itu, aku harap aku tidak pernah mengenalnya. ".. dan Samantha.." bibi Martha melanjutkan dengan suaranya yang bergetar. Nick mencondongkan tubuhnya saat menyadari kalau ia telah menyinggung topik yang terlalu sensitif. Sementara aku merasakan dorongan kuat untuk berbalik menggenggamnya. Itu adalah hal yang aneh ketika aku benar-benar meremas tangannya dengan lembut dan berusaha menenangkan bibi Martha yang mulai menangis. "Dia.. kacau. Aku tidak tahu apa aku benar-benar memiliki anak. Dia tidak pernah mau berbicara denganku. Pamanmu selalu bertengkar dengannya. Itu seperti sebuah kekacauan yang tidak bisa kami hindari." Nick masih diam dan menilai. Ia duduk di kursinya dengan tenang seolah tidak ada yang benar-benar terjadi. Kemudian, bibi Martha menegakkan tubuhnya sembari mendorong kursinya ke belakang. "Aku minta maaf.." ia sudah berdiri ketika mengatakannya. "Aku perlu ke kamar mandi sebentar." Pandangan Nick mengikuti ke arah wanita itu pergi. Aku menatap santapan di atas piringku yang nyaris tidak tersentuh. Masakan itu terlalu enak untuk diabaikan. Aku merasa bersalah. Sejak pagi tadi, aku belum menyentuh alkohol dan mulutku terasa kekeringan sekarang. Satu-satunya hal yang kuinginkan hanyalah pergi ke kamarku dan mabuk. Aku ingin menyusun jadwal rencana untuk mengikuti Anne besok. Aku ingin berbicara dengan Tom, hanya kami berdua. Aku ingin membaca pesan yang masuk di jejaring sosialku. Aku ingin membalas semua e-mail yang masuk dan yang terpenting aku perlu tidur sehingga aku tidak akan bangun terlambat esok hari.   Acara itu selesai sekitar lima belas menit yang lalu. Nick hanya tinggal sebentar kemudian pergi. Dia hanya tinggal untuk memastikan aku menelan obat-obatku dan tidak mabuk. Setelahnya, Nick pergi dengan alasan untuk bertugas. Bibi Martha duduk pada sofa di ruang tengah dan telah memutuskan untuk membaca sejumlah buku yang masih tersimpan di lemariku. Dia juga membuka beberapa album lama milik ibu dan ayahku. Dulu, kami sering bernostalgia tentang ibuku. Dia menikah diusianya yang masih sangat muda dan meninggal dalam kecelakaan tragis yang terjadi beberapa tahun silam. Mobil yang ditumpanginya bersama ayahku masuk ke dalam jurang dan hingga saat ini, jasad mereka tidak pernah di temukan. Itu adalah sebuah kejadian yang tidak bisa kuingat. Untunglah aku memiliki Nick untuk mengingat semuanya. Dan setiap kali dia menceritakan tentang bagaimana orangtua kami meninggal, aku merasa ngilu mendengarnya. Dari balik pintu kamarku, aku mendengar suara tangis samar-samar dari ruang tengah. Wanita itu sedang duduk di perapian ketika aku mendatanginya. Ia menatap wajah ibuku di dalam album coklat itu dan mengatakan sesuatu dengan suara yang tidak jelas. "Dia sangat cantik," katanya. "Terkadang aku sangat iri padanya. Ibu kami juga lebih menyayanginya. Aku selalu menjadi nomor dua." Aku terenyuh saat mendengarnya. Tanpa kusadari, aku telah bergerak mendekatinya. Lenganku melingkari bahunya yang berguncang ketika ia menangis dan aku membiarkannya bersandar di tubuhku. Aku bisa merasakan kedua tangannya bergetar, nafasnya yang hangat, juga irama detak jantungnya yang bergerak melambat. Selama sesaat aku merasa tenang. Selain Nate, aku tidak pernah merasa lebih berguna untuk seseorang. Malam ini aku merasa lebih baik. Aku merasa seolah penyakit itu tidak pernah menggerogotiku. Hal terkahir yang dapat kuingat malam itu, kami tertidur di atas sofa. -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD