Bab 11

1808 Words
Lexington, Manhattan, New York City Selasa, 14 November 2017    -- Hari ini aku duduk di atas bangku taman dan menunggu kemunculan Anne. Sekitar satu jam yang lalu, aku telah tiba disana dengan tas, buku catatan dan kameraku. Aku memastikan semua yang kubutuhkan tersedia. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memotret wajah Anne - aku menulisnya dalam catatanku semalam. Pagi tadi Nick menghubungiku, dia mengatakan kalau bibi Martha akan berkunjung malam nanti dan menginap. Aku tidak berkata apa-apa. Ketika orangtua kami meninggal dalam kecelakaan yang terjadi bertahun-tahun silam, Nick dan aku tinggal bersama adik perempuan ibu kami yang sudah menikah. Kami memiliki sepupu perempuan yang baru berusia dua belas tahun ketika itu dan sepupu laki-laki yang berusia tujuh tahun. Dalam masa berkabung yang kualami, bibi Martha tidak keberatan untuk menampung aku dan Nick juga mengurus kami. Itu berlangsung selama tiga tahun hingga aku dan Nick mulai mendengar suaminya mengeluh tentang berapa banyak pengeluaran yang harus ia tanggung karena kehadiranku dan Nick dalam rumah itu. Aku tidak begitu memusingkannya, Nick menjadi satu-satunya orang yang tersinggung. Meskipun kami memiliki rumah peninggalan orangtua kami dan ayahku memiliki asuransi untuk kedua anaknya, kami tidak bisa tinggal sendirian. Penyakit itu menggerogotiku dan aku tidak hanya bisa bergantung pada Nick. Nyatanya, setahun setelah kami menjadi terlalu sering mendengar perdebatan bibi Martha dan suaminya, Nick membawaku keluar dari rumah itu. Dia melakukan segalanya sendirian. Usianya bahkan masih terbilang muda saat ia mulai mengelola uang asuransi milik ayah kami dan menjadikannya modal sekolahnya. Aku merasa lemah dan bodoh. Aku terus bergantung pada adikku. Bahkan hingga Nick lulus sebagai sarjana hukum dan dia mendapatkan posisi di kantor kepolisian Manhattan, yang bisa kulakukan hanya duduk dan menatap orang-orang di sekitarku. Bahkan hingga sekarang. Terlepas dari semua itu, kami berutang pada bibi Martha. Dalam beberapa tahun yang terasa panjang, wanita itu telah menjadi ibu pengganti untuk kami. Kondisiku selalu membuatnya prihatin. Bibi Martha adalah sosok yang baik dan lemah lembut, bahkan ketika aku dan Nick menyusahkannya, dia tidak akan pernah mengatakan hal itu pada kami. Suaminya adalah pribadi yang benar-benar berbeda. Aku mengingat cara laki-laki itu memandangku - dia selalu terlihat jijik dan marah. Seolah kehadiranku dan Nick di rumahnya adalah sebuah bencana. Dua sepupuku juga demikian. Mereka tidak pernah menyukaiku dan Nick. Aku tidak bisa berbohong kalau aku merasa senang saat mengetahui aku akan mengangkat kaki dari rumah itu dan kembali ke rumah orangtua kami. Rasanya seperti dibebaskan dari penjara. Meskipun rumah kami terasa lebih dingin dan sepi, itu adalah sebuah tempat yang paling nyaman untuk ditinggali. Hari ini, mendengar kabar kalau Bibi Martha akan berkunjung untuk menjengukku telah menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam diriku. Aku merasa bersalah karena berharap dia tidak akan tinggal lama. Aku sudah terbiasa hidup sendirian, aku hanya tidak ingin seseorang mengacaukan rutinitasku. Bagaimanapun, aku akan menyimpan masalah itu untuk kupikirkan nanti. Yang kulakukan sekarang adalah duduk diam dan menunggu. Beberapa menit ketika aku merasa pandanganku mulai kabur, aku melihat Jane berjalan dengan tas merahnya yang tidak asing. Dia menatap ke arahku, wajahnya tampak tidak senang. Ketika aku melambaikan tangan ke arahnya, langkahnya terhenti. Dia berbalik dan bergerak pergi. Aku merasa terdorong untuk mengejarnya. Dia tampak akrab dalam beberapa foto terakhir yang kuambil tentangnya. Aku ingin tahu apa yang terjadi hingga membuat Jane begitu marah. Aku ingin bertanya mungkinkah Jane tahu apa yang terjadi pada tanggal 8 November - hari yang tiba-tiba hilang dalam hidupku. Mungkinkah dia tahu tentang Nicole? "Jane!" Aku mendengar suaraku yang serak menyerukan namanya. Kakiku tersuruk-suruk ketika mengejarnya. Dia tidak berhenti, ketika aku semakin dekat, dia mempercepat langkahnya. "Tolong.. berhenti! Aku ingin berbicara denganmu." Anehnya wanita itu benar-benar berhenti. Dia kemudian berbalik. Sepasang mata biru gelapnya kini menatapku tajam. Wajah keriputnya ditekuk. Tidak ada senyum di wajahnya, tapi Jane tetap menarik. Diusia lanjutnya, dia masih berpakaian rapi dan mengenakan riasan wajah. Aku pikir Jane wanita yang sangat cantik di masa mudanya. "Berhenti di sana, Sara! Aku tidak ingin bicara dengan seorang pemabuk." Aku ingin mengaku kalau aku sedang tidak mabuk saat itu, tapi kupikir dia tidak akan memedulikannya. Jadi aku mengabaikan sarkasme itu dan balik bertanya. "Bisakah aku bicara denganmu sebentar?" Jane menyatukan kedua alisnya dan menatapku seolah sedang menilai. Sementara itu, aku masih berdiri di tempatku, gugup dan kebingungan. Tampaknya ini bukan hari yang cukup baik untuk Jane. Jelas sekali kalau ia tidak berharap akan bertemu denganku di taman. "Apa yang terjadi padamu? Kita berbicara beberapa hari yang lalu kemudian kau lupa dengan siapa kau bicara dan sekarang kau ingin berbicara denganku. Untuk apa? Untuk kau lupakan dihari kemudian?" Jane mengangkat satu jarinya yang gemuk tepat di depan wajahku dan memeringati. "Aku tidak ingin mendengar basa-basi ini. Aku sudah tahu siapa kau. Aku melihatmu di surat kabar. Kau wanita pemabuk yang membuat kekacauan itu. Kau benar-benar kacau. Aku tidak ingin bicara denganmu. Berhenti memanggilku dan jangam coba-coba mendekatiku lagi." Amarah Jane melutup-letup hingga aku bisa melihat urat-urat muncul di pelipisnya. Aku masih kebingungan, apa yang telah kulakukan hingga dia menjadi begitu tersinggung. Apapun itu, rasanya dia sudah mengenalku cukup baik. "Aku punya saran untukmu Sara. Kau masih muda dan kau punya masa depan. Saat aku seusiamu aku mengharapkan sesuatu dan aku bekerja keras untuk mendapatkannya. Jadi pulanglah, pikirkan apa yang kau inginkan dan mulailah menyibukkan dirimu dengan hal itu. Kau membuat dirimu tidak berguna dengan mabuk. Kau tahu itu." Jane tidak bicara lagi. Ia tidak berpamitan atau sekadar menatapku. Jane hanya berbalik pergi dan menghilang dengan cepat. Wanita itu menghentikan sebuah bus besar, saat seorang petugas membukakan pintu untuknya, Jane bergerak masuk. Sekilas aku melihat ia mengawasiku dari jauh hingga pintu itu ditutup dan bus bergerak pergi. Aku merasa kosong. Disaat aku berniat pergi, aku melihatnya. Wanita dengan jaket merah yang sama. Anne sedang berjalan melintasi jalur taman dengan tas tangan yang berbeda. Kali ini warnanya putih. Ia mengenakan blus hitam di balik jaketnya. Rambutnya dibiarkan tergerai. Kini aku menyadari rambutnya lebih panjang dari gambar yang ditangkap kameraku kemarin. Rambut ikal bergelombang itu tampak lembut di bawah pantulan sinar matahari. Sepasang mata birunya yang cerah memandang ke depan. Ekspresinya tampak serius seperti biasa. Ia masih Anne yang sama - wanita cantik bertubuh ramping yang mengenakan sepatu berhak tinggi juga jins ketat. Anne bergerak mendekatiku. Aku memandangnya. Selama sesaat aku lupa apa yang hendak kulakukan. Aku tidak mengangkat kameraku, mataku terus memandanginya - ia berbalik menatapku. Kurasakan darah berdesir cepat naik ke kepalaku. Dia semakin dekat. Kini kami hanya berjarak satu meter. Aku bisa mencium aroma wangi parfumnya yang menyenangkan. Aku melihat kerutan tipis di dahinya, bentuk wajahnya yang bulat sempurna, sepasang mata besarnya yang menatap ke arahku juga tulang hidungnya yang kecil. Aku melihat Anne menggerakkan bibirnya, ia berniat mengulas senyum tapi tidak dilakukan secara terang-terangan. Anne menatapku dengan penuh penilaian. Caranya memandangiku berbeda dari orang lain. Aku tidak melihat rasa simpati di wajahnya, yang kulihat adalah perasaan lain. d******i antara rasa penasaran dan keinginan untuk berteman. Aku ingin berbicara dengannya - menghentikannya, tapi dia terus berjalan melewatiku. Rambut panjangnya mengayun di belakang pundak. Aku masih menatapnya saat ia bergerak semakin jauh, nyaris menghilang dari taman. Saat itulah kuputuskan untuk mengikutinya.    -- Bangunan dua lantai yang dikunjungi Anne selama dua hari ini adalah sebuah tempat praktek psikiater. Nama Dokter Kateherine Bernice tercantum pada papan di depan bangunan itu. Aku melihat ia bergerak ke arah meja penerima tamu. Seorang petugas wanita berkulit gelap dan bertubuh gemuk tersenyum padanya. Dia mengatakan sesuatu pada petugas itu, aku tidak bisa mendengarnya dari tempatku berdiri. Aku hanya melihat petugas itu mengangguk, kemudian Anne masuk ke dalam pintu kecil. Yang membuatku terkejut adalah kehidupan Anne nyatanya tidak sempurna seperti yang kubayangkan. Dia mengunjungi seorang psikiater hari ini - mungkin dia ingin bercerita masalah kekasihnya, atau dia memiliki masalah keuangan, masalah dengan keluarganya, dan yang terburuk mungkin dia memiliki masalah dengan dirinya. Aku bisa melihat itu dari wajahnya. Sebagian dari diriku tidak bisa menerimanya, tapi sebagian yang lain merasa senang mengetahui kalau mungkin kami memiliki masalah yang sama. Mungkin kami hanyalah dua orang dengan nasib sama yang dipertemukan secara tidak sengaja. Keinginanku untuk berbicara dengan Anne semakin besar. Aku ingin tahu siapa namanya sehingga aku bisa berbicara dengannya. Aku ingin tahu apa yang dialaminya, mungkin kami bisa saling berbagi cerita - mungkin dia orang yang tepat untuk kuceritakan tentang Tom. Tapi aku mendapati diriku hanya berdiri diam di sana, mataku menatap ke balik kaca, menunggu dan menunggu. Aku bertanya-tanya apa yang dikatakan Anne pada psikiaternya. Aku ingin tahu dimana dia tinggal. Aku ingin melihat seperti apa kehidupan yang berputar di sekelilingnya. Selama beberapa jam aku menunggu, aku tidak melihat Anne keluar dari pintu itu. Aku mulai resah. Itu adalah hal yang selalu kulakukan: menunggu dan membuat diriku tersiksa. Tiba-tiba aku ingin anggurku, aku ingin bicara dengan Tom. Aku ingin menulis kejadian yang kualami hari ini di buku catatanku. Aku akan mengikuti Anne besok. Aku akan mencaritahu dimana tempat tinggalnya, dengan begitu akan lebih mudah bagiku untuk tahu siapa namanya. Atau mungkin aku bisa memilih jalan cepat dengan bertanya pada petugas yang berjaga di klinik praktek itu. Tapi aku menduga kalau mereka pasti merahasiakan identitas pasien sebagai standar bodoh yang selalu diberlakukan. Itu tidak masalah, aku akan mencarinya sendiri. Aku punya begitu banyak waktu luang untuk melakukan itu. Besok, pikirku. Aku harus mencatat semuanya sehingga aku tidak melupakannya besok.  -- Tanganku bergetar saat aku memasuki tempat penginapanku. Kala itu, langit senja menggantung di atasku sedang suara deru mesin kendaraan yang memasuki area penginapan terdengar di belakangku. Aku melewati keributan yang terjadi di lantai dasar. Seorang penghuni tampaknya sedang membicarakan sesuatu dengan pertugas kebersihan. Aku tidak menghentikan langkahku untuk sekadar menyaksikan keributan mereka. Aku berjalan dengan tenang menyusuri lorong. Pria tinggi bertubuh kurus yang berjaga di belakang meja penerima tamu saat itu menyapaku. Aku hanya mengangguk ke arahnya kemudian bergerak cepat meninggalkannya. Lift sedang dalam perbaikan sehingga aku terpaksa harus menaiki tangga untuk sampai di lantai tiga. Dari kejauhan aku melihat dua orang wanita berbicara di depan pintu ruanganku. Aku sudah bisa menebak siapa mereka. Suara Nate terdengar hingga ujung lorong saat ia menyadari kehadiranku. Bibi Martha berbalik, wanita itu tersenyum dan langsung berlari menghambur ke arahku. Dia memelukku begitu erat hingga aku merasa sesak. "Nah, ini dia yang kita tunggu." Bibi Martha melepas dekapannya dan aku merasa seolah udara kembali mengisi paru-paruku. Ia berterima kasih pada Nate dan dengan cepat Nate berpamitan pada kami. Aku menyaksikan Nate meninggalkan kami berdua di lorong itu, saat itu aku mengeluarkan kunci dari tasku dan mengarahkannya ke dalam lubang untuk membuka pintu. Bibi Martha tidak berhenti berbicara sedang aku terus mengabaikannya. Dia berdiri terlalu dekat dan aku bisa mencium aroma parfumnya yang berbau menyengat. "Aku menghubungimu sejak kemarin, tapi kau tidak menjawab. Jadi aku menghubungi Nick dan mengatakan soal kunjungan ini. Dia sudah mengatakannya padamu, bukan?" Aku mengangguk kemudian kukatakan padanya bahwa aku ingin pergi ke toilet. Aku meninggalkannya menuju kamar, kututup pintu kamar itu dengan rapat kemudian kuletakkan tas dan kameraku di atas meja.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD