Bab 13

1380 Words
Lexington, Manhattan, New York City Rabu, 15 November 2017    -- Pagi ketika matahari menembus masuk melalui celah jendela di kamarku, aku terbangun di atas sofa. Sekujur tubuhku terasa pegal dan mataku kelelahan. Ketika aku berusaha bangkit, aku nyaris terjatuh. Sikutku tanpa sengaja menubruk meja kayu di sebelahku dan aku langsung mendesis saat rasa sakitnya menyebar begitu cepat. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi semalam hingga aku menemukan sebuah catatan kecil diletakkan oleh seseorang di atas meja. Catatan itu bertuliskan: Maaf aku harus pergi sebelum berpamitan denganmu, tapi pamanmu menghubungiku sejak semalam dan dia ingin aku pulang pagi ini juga. Ada urusan mendadak yang harus kami tangani. Catatan itu tertuliskan atas nama Martha. Beberapa ingatan menyerbu kepalaku seperti sekumpulan lebah yang mengerubungi sarang madu. Meskipun begitu aku masih tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Menimbang dari catatan itu, bibiku mungkin datang sejak semalam dan memutuskan untuk pergi sebelum aku bangun. Aku menolak untuk memusingkannya. Dengan langkah kaki yang masih goyah, aku berjalan menuju kamarku. Kubuka beberapa catatan dalam buku agenda yang kubiarkan tergeletak di meja kerjaku bersama peralatan lainnya. Aku membaca catatan itu baik-baik. Foto wanita berambut pirang yang kuberi nama Anne memunculkan diri di halaman catatanku berikutnya. Aku menatapnya selama sesaat, mengingat-ingat kemudian memutuskan untuk mencaritahunya hari ini.  -- Langit cerah di atas kepalaku. Jalanan tampak ramai seperti biasanya. Aku berdiri di depan stasiun dan memerhatikan belasan orang menunggu giliran untuk menyebrangi jalan. Kedai-kedai kopi diramaikan oleh puluhan pengunjung. Stasiun tampak padat, ratusan pekerja bergelombolan memasuki area itu. Aku menatap dedauanan kering yang berserakan di jalanan beraspal. Anak-anak sedang bermain sepeda di dekat jalur taman. Seorang wanita berdiri di depan kotak telepon umum. Ia memasukkan koin ke dalam lubang mesin itu kemudian mendekatkan gagang telepon ke telinganya. Kuperhatiakan sejumlah bus yang berjalan melaluiku. Mataku mencari-cari hingga aku menemukan sebuah plang yang bertuliskan Dr. Katherine Bernice - papan nama yang sama seperti yang tertangkap di kameraku. Aku menunggu seseorang memasuki bangunan dua lantai itu. Seorang wanita berkulit gelap dan bertubuh gemuk duduk berdiri di belakang meja penerima tamu. Ia berbicara pada seorang pasien dan memintanya untuk menunggu. Aku menunggu lebih lama lagi, seseorang yang kucari belum juga memunculkan dirinya. Aku sempat berpikir untuk kembali ke taman dan menunggu Anne di sana, tapi yang kulakukan justru berjalan memasuki klinik praktek psikiater itu dan berbicara pada si petugas yang langsung tersenyum saat aku datang. "Apa yang bisa kubantu?" tanyanya. Aku berdiri dengan kebingungan tapi hanya sebentar sebelum kuputuskan untuk bertanya, "apa aku bisa tahu siapa nama pasien yang kemarin datang ke klinik ini?" Wanita itu mengernyitkan dahinya dan aku segera memperbaiki kata-kataku. "Umm.. maksudku, kemarin sekitar pukul sebelas. Aku melihat seorang pasien, dia.. dia kurus, cantik, rambutnya pirang.. dia.." aku memejamkan mata, berusaha mengusir ketegangan saat petugas itu menatapku. "Dia menggunakan jaket merah dan jins gelap. Dapatkan kau memberitahuku siapa nama pasien yang kemarin berkunjung ke sini?" Aku bicara melantur. Aku bisa melihatnya dari reaksi petugas itu. Ia tampak tidak menyukai gagasan untuk apa yang kuinginkan. Apapun itu, aku bodoh karena berpikir usaha ini akan berhasil. "Mungkin aku bisa membantumu, apa kau sudah menjanjikan pertemuan dengan Dokter Katherine pagi ini, Ma'am? Boleh kutahu siapa namamu?" "Tidak, tidak, tidak.. aku hanya.. aku hanya ingin tahu siapa pasien yang berkunjung kemarin." "Maaf, tapi kami menjamin kerahasiaan identitas pasien demi kenyamanan bersama. Dan jika kau ingin menjanjikan pertemuan dengan dokter Katherine, kau bisa mengisi daftar yang kosong hari Kamis Minggu depan. Bagaimana?" Aku menggeleng, bergerak mundur disaat pintu depan di geser terbuka dan Anne menyeruak masuk dari arah yang sama. Aku membatu di tempatku. Wanita itu tersenyum saat menatapku, sang petugas kemudian menyambutnya. Anne berjalan melewatiku kemudian berjabat tangan dengan sang putugas. Ia mengatakan sesuatu dan aku mendengar petugas itu memanggilnya dengan nama Dokter Katherine. "Dokter, aku meminta pasienmu menunggu lima belas menit, aku akan memanggilnya begitu kau siap." Dokter Katherine tersenyum dan berbicara dengan suaranya yang tegas dan lembut - suara yang tidak pernah kubayangkan dimiliki wanita secantik Anne. "Aku siap dalam lima menit." Petugas itu mengangguk, sang dokter kemudian bergerak menuju ruangannya di ujung lorong. Dua orang pasien yang sedang menunggu kini menatapku heran. Aku bergerak meninggalkan klinik itu dan kembali ke kursiku. Seisi kepalaku berputar. Aku memikirkan segalanya tentang Anne - atau Dokter Katherine Bernice. Namanya Katherine Bernice dan dia adalah seorang psikiater muda yang cantik. Aku salah tentang satu hal: kami tidak sama - setidaknya, dia bukanlah orang dengan ganggan psikologis serius sepertiku, dia adalah seorang dokter. Dia cantik dan aku rasa dia memiliki kehidupan yang sempurna, kehidupan yang ingin kumiliki.   ***   Aku menunggu hingga sore ketika Anne - sang dokter - akhirnya keluar dari klinik itu. Dia berjalan cepat di atas trotoar. Ketika melihatnya, aku bangkit berdiri, kulangkahkan kakiku dengan cepat untuk menyusulnya. Aku melihatnya menyebrangi jalan dan bergerak menghilang di blok D. Untuk menyusulnya, aku harus setengah berlari. Ia menghentikan sebuah bus dan kami menaiki bus yang sama. Anne - Katherine, duduk di bangku depan, aku memilih untuk mengawasinya dari belakang. Kami berhenti di sekitar jalur melandai, melewati terowongan sempit dan rawa. Anne bergerak semakin cepat, aku menjaga jarak sejauh mungkin sehingga dia tidak akan menyadari keberadaanku. Aku memilih jalur melandai beralaskan tanah basah dan dedaunan kering sembari terus mengawasinya menuju sebuah bangunan kayu dua lantai. Aku bisa melihat berandanya yang nyaman dari tempatku berdiri, sebuah jendela kayu yang menganga terbuka, balkon yang sempit juga pekarangannya yang ditumbuhi sejumlah tanaman. Aku melihat Katherine memasuki rumah kayu itu. Dia membuka kunci pintunya dan menghilang di dalam sana. Langkahku terhenti seketika itu juga. Rumah kayu itu letaknya jauh dari keramaian, disana terasa dingin tanpa suara tawa anak-anak, dan juga seorang suami yang hangat. Aku bertanya-tanya bagaimana Katherine menjalani kehidupan sehari-harinya. Mengapa dia belum menikah dalam usianya yang cukup matang? Benarkah dia tinggal di rumah besar itu sendirian? Itu bukanlah kehidupan yang kubayangkan tentangnya - sejak mengetahui semua ini, aku tidak yakin kalau aku mengenalnya. Tapi aku penasaran. Aku ingin berbicara dengannya. Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya.    -- Malam ketika aku menaiki kereta terkahir menuju Lexington untuk kembali ke rumahku, aku mabuk di sepanjang perjalanan. Pikiranku terus berputar di antara Katherine dan pondoknya yang dingin. Ada sejumlah pertanyaan yang belum terjawab di dalam pikiranku, aku melihat sebuah mobil merah terparkir di depan rumahnya, dan kusadari kalau Katherine tidak pernah menggunakan mobil itu untuk pergi bekerja. Aku ingin melihat seisi rumahnya. Aku bertanya-tanya apa dia menggantung foto seseorang di dinding kamarnya? Apa dia memiliki kekasih yang akan datang mengunjunginya malam nanti? Apa dia tidak pernah merasa kesepian? Kusimpan pertanyaan itu di dalam buku catatanku. Aku ingin mengingatnya esok hari dan aku ingin dia menjawab semua pertanyaan itu. Aku terus memikirkan cara untuk dapat berbicara dengannya. Aku bisa saja menjadwalkan konsultasi dengannya, tapi petugas itu mengatakan kalau jadwal kosong ada pada hari kamis minggu depan, aku rasa aku tidak bisa menunggu selama itu. Jadi, ketika aku akhirnya sampai di rumah sekitar pukul sebelas, aku langsung menyambar komputer dan mencari semua informasi tentangnya melalui google. Profil wajahnya muncul di layar ketika aku mengetikkan nama Dokter Katherine Bernice, ahli psikologi. Usianya tiga puluh tahun sejak bulan lalu. Di sana tidak disebutkan status pernikahannya, blog itu terlalu umum. Mereka hanya menyebutkan nomor alamat klinik dan nomor yang dapat kuhubungi untuk tersambung ke sang dokter. Aku mencetak beberapa gambar wajahnya yang muncul di layar, kemudian aku menempelnya di papan merah. Tepat di bawah gambar itu, aku menuliskan catatan khusus yang akan mengingatkanku tentang sang dokter. Kini, aku dapat menatapnya tersenyum ke arahku. Tulang wajahnya yang kecil tampak berkedut, tubuhnya ramping dan luwes dan dia memiliki rambut ikal panjang yang indah juga sepasang mata biru yang cerah. Dia sangat cantik. Aku duduk di atas kasurku sembari menggenggam ponsel. Peringatan baterai yang hampir habis muncul di layar utama. Aku menekan tombol abaikan kemudian mengetik nomor yang kucatat di kertas kecil. Panggilan itu masuk ke mesin penjawab otomatis. Suaranya memberitahuku kalau aku baru dapat menghubungi dokter Katherine besok sekitar pukul sebelas. Terlalu lama. Aku mendesah. Aku tidak sabar untuk menunggu. Hasilnya, aku duduk di atas kasur dengan gelisah. Kutegak anggur dan obat-obatku secara bersamaan. Layar ponselku kemudian berkedip, sebuah panggilan dari Nick masuk, aku memutuskan untuk mengabaikannya, layar kemudian berubah menjadi hitam dan ponselku benar-benar mati. Jika Nick memprotes tentang hal itu besok, aku akan menggunakan alasan baterai habis sehingga tidak dapat menjawab panggilannya.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD