Lexington, Manhattan, New York City
Jumat, 8 Desember 2017
--
Aku sedang menunggu Kate di jembatan Brooklyn pagi itu. Semalam dia berjanji akan menemuiku di sana. Namun hingga siang, dia tidak penah datang. Aku membaca agendaku berkali-kali, berpikir kalau ada yang salah tentang janji pertemuan itu, nyatanya tidak. Disana tertulis jelas: di jembatan Brooklyn, temui Kate.
Orang-orang yang berlalu lalang memandangiku, aku berusaha mengabaikan mereka. Hingga pagi berganti siang dan Kate belum juga datang, aku memutuskan untuk mengunjungi kliniknya.
Aku menunggu hingga sore, namun Kate tidak memunculkan dirinya dari balik pintu. Kutatap papan nama yang tertulis: Dokter Katherine Bernice, ahli psikologi, sekali lagi. Tidak ada yang berubah, klinik itu tampak kosong. Pintu depannya terkunci dan hanya ada seorang petugas yang berjaga di sana. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Ketika aku mengetuk pintu kaca, petugas pria yang berjaga saat itu keluar dari sana.
"Permisi, aku mencari Dokter Katherine. Apa dia ada di dalam?"
"Kau pasiennya?"
"Bukan. Aku temannya. Aku hanya ingin tahu apa dia ada di dalam?"
Pria itu menatapku dengan kedua mata menyipit. Gelagatnya mengatakan kalau dia tidak suka menjawab pertanyaanku.
"Dokter tidak masuk hari ini."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu, aku hanya petugas kebersihan. Mungkin kau bisa menghubungi bagian resepsionis atau menghubungi temanmu langsung."
Pria itu tidak menungguku berbicara dan segera menutup pintu. Aku melangkah meninggalkan tempat itu dengan cepat. Aku melewati jalur di seberang rel, berharap menemukan Kate di sana. Tapi tidak ada siapapun. Aku berdiri melawan angin yang bergerak dari arah utara. Kutatap hamparan rumput setinggi lutut yang bergerak di bawah sana. Aku duduk dan memandangi riak air di pinggiran jalan, bertanya-tanya dimana Kate. Apa yang sedang dilakukannya?
Malam ketika aku duduk di sofa dan memandangi tumpukan buku di rak yang tersusun acak, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku pikir itu Nate, jadi aku membiarkannya. Ketukan selanjutnya kemudian menyusul. Tidak ada suara dan Nate pasti sudah berteriak memanggilku jika aku tidak membukakan pintu untuknya. Jadi, aku berjalan membuka gerendel pintu dan menariknya hingga terbuka.
Yang mengejutkanku, wajah Kate muncul di depan pintuku. Dia tampak pucat dan kedua matanya memerah. Kate hanya mengenakan sweter yang menutupi baju tidurnya. Rambutnya berantakan dan dia tampil kacau. Aku membuka pintu lebih lebar, nyaris tidak bisa menemukan kata-kata. Kemudian, wanita itu menyentak tubuhnya ke arahku. Kate memelukku erat dan menumpahkan tangisannya di bahuku.
Kami duduk dan berbicara sepanjang malam. Selama beberapa menit, aku membiarkan Kate larut dalam kesedihannya. Aku hanya menunggu hingga ia siap untuk menceritakan segalanya. Untuk meredakan kesedihannya, aku mengusap lengan Kate. Rasa simpatiku muncul begitu saja saat melihatnya. Entah mengapa, namun aku punya firasat buruk tentangnya.
"Apa yang terjadi?" Aku berbisik dan dia berusaha keras meredakan tangisannya.
"Anthony datang ke rumahku hari ini. Dia marah, dan dia memukulku."
Aku ingin tahu mengapa. "Kenapa kau tidak melaporkan tindakannya pada polisi?"
"Tidak aku takut, Sara. Aku takut dia akan membalikkan fakta dan mengatakan apa yang kulakukan pada Missy. Dia manipulatif, dia licik."
"Tapi kenapa? Kenapa dia memukulmu?"
Kate bergetar, tangisnya kembali tumpah dan dia menolak untuk mengatakannya.
"Aku benar-benar menyesal. Aku tidak bermaksud melakukan itu pada putriku. Itu insiden yang tidak terduga. Itu.. itu diluar kehendakku."
"Aku tahu, aku tahu. Tidak apa-apa. Lupakan saja."
"Aku ingin bercerai dengannya. Surat perceraian itu belum sampai ke tanganku hingga detik ini. Aku tidak mau terlibat lagi dengannya, tapi dia datang dan mengatakan kalau perceraian itu tidak akan terjadi hingga aku menandatangi surat penjualan rumah atas namaku. Aku menolaknya, dan dia marah. Dia ingin menjual rumah kami dan mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Dia bilang rumah itu selalu mengingatkannya tentangku dan Missy dan dia tidak tahan. Tapi rumah itu juga milikku. Aku berhak untuk sebagian tempat di rumahku. Dia mengusirku dari rumahku dan sekarang dia bermaksud merebutnya dariku. Aku tidak akan membiarkannya."
"Mungkin kau harus melaporkan tindakannya. Polisi tidak akan mendengar Anthony.."
"Tidak, dia punya bukti. Dia satu-satunya orang yang mengetahui kejadian itu.."
"Kau bilang itu sebuah insiden yang tidak disengaja.."
"Ya, tapi aku takut. Aku sangat mengenal Anthony. Dia tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan."
Aku tertegun. Tidak ada yang dapat kulakukan untuk membantunya, aku merasa bersalah. Jadi, aku hanya memberi apa yang dapat kutawarkan padanya: tempat, kehangatan. Lebih dari apapun, itu yang dibutuhkannya saat ini.
--
Beritahu saya tanggapan kalian..