Bab 31

1025 Words
Lexington, Manhattan, New York City Minggu, 10 Desember 2017    -- Aku di kelilingi oleh pohon-pohon tinggi. Kutatap riak air yang mengisi lubang-lubang kecil di tanah. Aku terjatuh dengan lutut menghantam tanah. Telapak tanganku kotor dan basah. Aku mengangkatnya, itu tidak tercium seperti bau tanah - melainkan darah. Darah yang banyak di tanganku.  Kepalaku terasa berdenyut-denyut, pandanganku kabur, kabut tebal mengelilingiku. Aku tidak bisa mengingat apapun, semuanya menjadi gelap. Apa yang terjadi? Tom?!   Aku tersentak bangun. Nafasku tercekat dan aku terburu-buru kerita menyeret tubuhku turun dari atas kasur. Tenggorokanku tercekik dan aku memuntahkan seisi perutku di atas lantai kayu. Sebagian sisi wajahku terasa berdenyut-denyut, ketika aku menyentuhkan telepak tangan ke keningku, aku merasakan sesuatu yang basah. Darah. Kepalaku berdarah. Aku menoba mengingat-ingat, apa yang terjadi semalam? Mungkin aku jatuh. Mungkin aku mabuk – aku pasti mabuk. Aku menatap wajahku di cermin. Ada luka membiru di bawah rahangku, semacam luka benturan atau pukulan yang keras. Sudut bibirku terasa perih, ujungnya sobek dan mengeluarkan sedikit darah. Aku mengangkat kedua telapak tanganku yang kotor, bekas tanah dan lumpur masih menempel di sana. Rambutku berantakan, pakaianku basah oleh keringat, dan kedua kakiku terasa keram. Tubuhku berbau keringat dan darah. Buku-buku jariku mengeriput dan satu kuku jariku patah. Aku mendesis saat menyadarinya. Bau apak dari bekas muntahan dan udara panas yang menggantung di kamar itu membuat kepalaku terasa pening. Kini aku bisa merasakan sesuatu seakan telah menonjok perutku. Aku tersuruk-suruk saat membawa tubuhku bangkit. Tanganku berpegangan pada kaki ranjang, aku menyeret tubuhku, memaksakannya untuk bergerak bangkit. Ketika akhirnya aku berhasil berdiri, kekacauan yang terjadi di sekitar menghentikanku. Sisa-sisa kertas yang disobekkan terhampar di atas lantai. Sebuah coretan melintang terlihat di papan merah yang memiring itu. Sebagian fotonya menghilang. Aku melihat ke arah kaca rias yang retak, sesuatu yang keras telah membenturnya dan beberapa barang berserakan di sana. Sebuah kursi kayu jatuh dan tergetak di dekat lemari pakaian. Mantel hitam besar itu menggantung di sembarang arah. Sepatuku yang kotor tidak berada di tempatnya. Tapi yang benar-benar menarik perhatianku adalah papan merah yang tiba-tiba terlihat kosong. Sebagian foto telah disobek. Buku catatanku tergeletak di antara hamparan kertas-kertas sampah itu. Isinya bertebaran keluar. Album fotonya tampak kosong dan aku lupa dimana aku meletakkan kameraku. Apa yang terjadi semalam? Apa yang kulakukan? Aku bergidik ketika mengangkat sebuah foto yang disobek hingga berkeping-keping. Wajah dalam foto itu tidak bisa terlihat jelas dan aku tidak juga menemukan potongan sobekannya. Hal serupa terjadi pada potongan gambar lainnya. Aku mengacak tumpukan kertas itu seolah sedang mencari jarum di dalam jerami. Aku membaca sobekan kertas dalam buku catatanku, semuanya tidak ada yang berguna, aku tidak bisa mengingat apapun. Aku melihat sisa foto yang masih terpajang di papan merah. Papan itu nyaris jatuh, bagian bawahnya patah. Siapa yang melakukan itu? Kulihat nama yang kutulis di bawah foto itu: Annette, Danny, Jane.. Ada sesuatu yang hilang. Aku tidak ingat tapi aku bisa merasakannya. Ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Aku tidak yakin tentang banyak hal. Aku tidak tahu siapa yang membuat semua kekacauan ini. Mungkinkah aku? Tapi mengapa aku melakukannya? Apa yang membuatku melakukannya? Sesuatu hilang.. benar-benar hilang. Aku tidak bisa mengingatnya. Aku kacau. Apa yang terjadi semalam? Pertanyaan itu terus bergelayut di kepalaku. Aku menatap lampu alarm di atas meja yang menunjukkan pukul sebelas siang. Sinar matahari telah menembus masuk melalui celah jendela di kamarku. Suara keributan lalu lintas menggantung di luar sana. Orang-orang berlalu lalang seolah tidak ada sesuatu yang terjadi. Aku tidak dapat duduk dengan tenang. Sesuatu yang salah telah terjadi dan aku tidak bisa mengingatnya. Aku bergerak dengan cepat menuju wastafel. Aku memutar keran dan membersihkan bekas darah dan lumpur di tanganku dengan air yang mengalir dari sana. Aku mengusap wajahku dan perlahan membasuh luka di keningku. Kini, aku bisa melihat bekas luka membiru di seputar rahangku dan luka sobekan yang terbuka di keningku. Ketika air dingin itu menyentuh lukaku, aku mendesis, merasa sakit dan disatu waktu merasa takut. Ketakutan itu menguasaiku. Aku menatap wajahku di depan cermin, melihat lingkaran hitam di bawah mataku yang semakin jelas. Bibirku pucat, luka di sudut bibir itu kian terasa berdenyut-denyut. Kutatap wajahku sekali lagi. Aku membersihkan sisa darah di tanganku dengan cepat. Beberapa helai rambutku berjatuhan di atas wastafel ketika aku berusaha membersihkan luka di kepalaku. Aku melakukannya secepat mungkin seolah ketakutan jika seseorang melihatnya. Aku bergerak kembali ke kamarku dimana kekacauan itu terjadi. Aku mencari-cari ponselku, mungkin ada petunjuk yang bisa kudapatkan dari sana. Namun, setelah memeriksa semua tempat, aku tidak menemukan kotak hitam kecil itu. Aku memijat kepalaku, berusaha untuk mengatur nafasku. Aku tahu itu tidak akan berhasil, ingatanku tidak baik saat aku sedang panik. Aku frustrasi, panik dan ketakutan. Bagaimana jika Nick melihat semua ini? Bagaimana jika Nate tahu? Aku mencari-cari ke bawah kasurku, ke dalam laci dan lemari pakaian hingga akhirnya aku menemukan ponsel itu tergeletak di bawah lemari pakaianku. Aku menekan tombol merah untuk menyalakaannya, tapi ponsel itu telah kehabisan daya. Sembari menggerutu, aku bergerak cepat ketika mencari kabel charger yang kusimpan di dalam lemari. Aku langsung menghubungannya ke ponselku dan layar perlahan hidup kembali. Aku memeriksa beberapa pesan yang masuk ke sana – semuanya kosong. Aku melihat catatan panggilan selama satu minggu terakhir, hasilnya nihil. Aku beralih pada daftar kontak di dalam ponsel itu, tidak ada yang berarti. Aku hanya menemukan kontak milik Nick, Nate dan Doter Lou, juga beberapa kontak milik orang-orang yang ikut tergabung dalam acara sosial. Tidak ada pesan yang masuk, tidak ada catatan panggilan. Panggilan terakhir dilakukan sekitar tiga minggu yang lalu. Ada dua panggilan masuk dari Nate yang tidak terjawab dan lebih dari sepuluh panggilan masuk dari Nick yang kuabaikan. Semua catatan panggilan itu masuk pada bulan oktober. Merasa bahwa usaha itu sia-sia, aku meninggalkan ponselku dan kembali pada tumpukan kertas di atas lantai. Aku memeriksanya satu-persatu, berusaha menemukan petunjuk yang berarti, tapi aku tidak menemukannya. Semua itu hilang meski aku tidak yakin apa yang benar-benar menghilang. Aku butuh anggur pinotku sekarang. Aku perlu menangkan diri untuk mengingat semuanya. Bau tubuhku tercium tidak sedap, dan perutku terasa perih. Aku perlu makan, aku ketinggalan keretaku hari ini. Aku melupakan agendaku tapi semua itu tidak penting sekarang. Aku hanya butuh jawaban atas kekacauan yang terjadi. -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD