Bab 32

1292 Words
Lexington, Manhattan, New York City Selasa, 12 Desember 2017    -- Itu sudah dua hari berlalu ketika aku terbangun dalam keadaan kacau. Aku harus membereskan kekacauan yang terjadi di kamarku sebelum Nick atau Nate melihatnya. Aku menumpuk semua kertas-kertas sampah itu dan menyimpannya. Aku masih berusaha menyusunnya - berharap menemukan petunjuk baru. Kameraku menghilang bersama dengan buku catatan harian dan agenda yang selalu kuletakkan di dalam tas hitam. Aku meninggalkan tas itu di suatu tempat - aku tidak bisa mengingatnya. Aku tidak memiliki petunjuk apapun, aku masih bertanya-tanya apa yang harus kulakukan sepanjang hari itu. Luka di kepalaku masih terasa berdenyut-denyut dan aku menghabiskan sepanjang hari itu dengan mabuk semalaman. Setelah dua hari berlalu, aku memutuskan untuk mengakhiri kegilaan itu. Aku menaiki kereta menuju City Hall pagi ini. Aku ingin melihat orang-orang dan memikirkan kembali semuanya. Hari yang hilang itu – hari Jumat di bulan Desember. Aku rasa aku pernah mengalami hal yang sama dimana aku terbangun di pagi hari dan tidak memiliki catatan atau petunjuk apapun tentang apa yang kualami di hari sebelumnya. Aku pikir yang baru kualami adalah yang terburuk. Aku terbangun dengan darah bersimbah di tangan dan pakaianku. Kepalaku terluka dan aku tidak yakin apa darah di tanganku benar-benar milikku atau milik orang lain. Tapi siapa? Jika darah itu milikku, pertanyaannya adalah mengapa? Apa aku terlalu mabuk untuk menyakiti diriku? Tapi aku tidak pernah melakukan sesuatu seperti itu – aku tidak yakin. Aku tidak yakin tentang apapun. Nick mengatakan kalau aku selalu lepas kendali saat mabuk. Dia pernah menjumpaiku di suatu malam dalam keadaan mabuk dan aku membuat kekacauan. Aku nyaris melukai seseorang. Kali ini aku melukai diriku – benarkah? Semua pertanyaan itu menggelayuti kepalaku. Aku duduk bersandar di kursi kereta dan menatap keluar. Ketika keretaku melewati jejeran rumah bergaya Victoria dan lahan yang luas, sesuatu seakan menggelitik perutku. Aku menatap sebuah bangku kayu panjang di jembatan kayu tua, melihat danau yang mengalir tenang di bawahnya dan hamparan rumput luas juga pagar kawat yang membatasi lahan itu dengan jalur kereta. Aku mengingat sesuatu. Rasanya aku pernah berada di sana dan aku merasa akrab dengan suasananya. Aku tahu tak jauh di sana ada sebuah dermaga. Aku membayangkan diriku berjalan di atas pantai dengan kedua kaki telanjang. Pasir putih itu mengisi sela-sela jariku. Aku bisa merasakan suara yang muncul di kepalaku. Aku yakin itu bukan sekadar bayanganku saja. Aku tidak sedang berhalusinasi. Aku yakin aku pernah berjalan di pantai bersma seseorang, tapi siapa? Mungkinkah Tom? Tapi itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu – aku rasa aku baru mengalaminya kemarin. Terlalu cepat. Keretaku tiba lebih cepat. Aku bergerak bersama puluhan penumpang yang turun dari kereta yang sama. Kami bergerak bersisian menuju pintu keluar. Langkah kakiku membawaku menaiki tangga dan begitu aku sampai di luar, udara segar membelai rambutku dan sinar matahari menerpa wajahku. Aku merasa seperti lilin yang akan meleleh. Rasanya sudah lama aku tidak mengalami hal ini: merasakan kehangatan sinar matahari di setiap jengkal kulitku, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang di jalur yang sama, mendengar suara tawa anak-anak dari arah taman, mencium aroma kopi hangat yang familier dari sebuah kedai di dekat sana. Aku berjalan menyusuri jembatan Brooklyn dan meresapi setiap langkahnya. Jari-jariku menyusuri lempengan besi yang terasa dingin. Aku berhenti di satu titik, kutatap langit yang cerah juga kebisingan lalu lintas di bawah sana. Sungai yang panjang melintang di bawah jembatan itu, anginnya berembus kencang menerpa wajahku. Aku memejamkan kedua mata, aku mengingat langkah kaki seseorang yang bergerak mendekatiku, aku mengingat cengkraman lembut seseorang di lenganku. Itu bukan Tom, atau Nike maupun Nate. Cengkraman itu terasa hangat dan bersahabat. Saat kubuka kedua mataku, aku dibanjiri oleh suatu perasaan asing yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar merasa kesepian. Aku kehilangan sesuatu, aku tidak bisa mengingatnya tapi aku merasakannya..   ***   Bus yang bergerak di hadapanku melaju pesat menuju kota Manhattan. Bus itu berhenti di suatu halte kemudian menghilang di tikungan. Dari tempatku di bangku taman, aku menatap sejumlah orang yang berjalan di depanku. Mereka mengelilingi jalur di sekitar taman dan aku menatap sejumlah wajah yang terlihat familier. Wajah yang fotonya masih terpajang di papan merah itu. Annate dan putrinya Joanah. Di sana juga ada Jane. Wanita itu menatapku, dia tidak berlama-lama kemudian dengan cepat meninggalkan jalur itu. Aku menunduk menatap lukisan patung di atas buku catatanku. Lukisan itu menjadi semakin buruk, aku memutuskan untuk melemparnya ke tong sampah. Siang ketika aku berjalan mengitari pancuran air di kota, aku menatap genangan air yang bergilir di atas kolam. Airnya tampak keruh. Orang-orang memutuskan untuk mengabaikannya. Aku rasa aku satu-satunya orang yang memerhatikan hal itu. Jalanan di Brooklyn menjadi semakin sempit. Aku melewati jejeran bangunan-bangunan tinggi, toko-toko pakaian dan apartemen baru di pinggiran kota. Aku menatap ke lantai tujuh dimana sebuah kaca di tempat penginapan mengayun terbuka. Seseorang keluar dari sana, ia mengintip di balik jendela, menikmati udara selama beberapa menit sebelum masuk dan menutup kembali jendela itu rapat-rapat. Aku tertegun, berpikir bahwa aku pernah mengalami kejadian yang sama ketika aku melihat seorang wanita keluar dari kamarnya, berdiri di atas balkon dan menatapku. Aku ingat rambut pirangnya, dan sepasang bola mata berwarna biru langit yang terarah padaku. Ingatan itu berakhir di sana. Ketika sore bergulung di atasku dan langit malam memunculkan dirinya, aku menaiki kereta untuk kembali ke penginapanku di Lexington. Tidak banyak petunjuk yang kudapat hari ini. Segalanya terasa hambar. Benar-benar hambar. Aku seperti seseorang yang baru saja kehilangan tujuannya. Aku tidak memiliki rencana setelah ini. Aku hanya ingin mabuk, aku ingin berbicara dengan Tom. Malam itu aku berdiri di depan cermin dengan sebotol anggur kosong di satu tanganku. Aku menatap pantulan wajahku dan mengingat-ingat. Jari-jariku menyentuh luka yang membiru di wajahku dan bekas luka yang masih menganga di kening. Aku merasakan sesuatu menggerogoti pikiranku dan aku kehilangan kendali. Tanganku terayun, aku melempar botol itu hingga membentur cermin di depanku. Botol kosong itu jatuh berguling di atas lantai. Ujungnya pecah dan seripihan keramik itu kini memenuhi lantai kayu. Sementara itu, cerminnya retak dan wajahku terlihat buram dari sana. Aku menjambak rambutku, bergerak mengitari ruangan sempit itu sembari mengingat-ingat. Aku merasa setiap detik, setiap menit yang bergilir, aku menjadi semakin kacau. Tubuhku mendarat jatuh di atas karpet merah dan aku mulai berteriak. Jari-jariku mencengkram dengan kuat hingga aku merasa kesakitan. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengendalikan tubuhku dan aku tidak bisa mencegah atau menghentikannya. Ingatan itu terus berputar di kepalaku dan yang kulakukan hanya duduk beringsut di sudut dinding kamarku sembari merasakan air mata membasahi wajahku. Aku bergerak menuju dapur sekitar pukul sebelas. Aku menggeledah seisi lemari untuk menemukan anggur pinot yang masih tersisa, nyatanya minuman itu tidak ada di sana. Lidahku terasa gatal dan tenggorokanku kering – aku rasa aku telah kecanduan. Terpaksa aku harus menelan liur malam itu. Kubuka beberapa pesan yang masuk di mesin penjawab telepon otomatis dan suara Nick muncul setelah alarm pemberitahuan pertama terdengar. Sara, kau dengar aku? Segera hubungi aku jika kau mendengar pesan suara ini. Kau baik-baik saja? Aku tidak ingin kau melakukan hal bodoh seperti kemarin.. Seketika jantungku bergerak melambat. Aku bisa merasakan cairan empedu naik hingga ke tenggorokanku dan aku menelan liur dengan susah payah. Aku mensenyapkan pesan yang masuk berikutnya, bergerak menuju laci dimana aku meletakkan buku telepon. Aku mencari nama Nick dalam daftar itu kemudian dengan cepat menghubunginya. Nada deringnya segera tersambung, namun Nick tidak juga menjawab hingga panggilannya masuk ke pesan suara. Aku mencoba sekali lagi dan hasilnya nihil. Kuputuskan untuk meninggalkan pesan. Aku berlari cepat ketika menyambar catatan kecil di atas lemari pendingin. Setelah menuliskan "kunjungi Nick di rumahnya dan tanyakan apa yang terjadi", aku segera menempel catatan itu di pintu lemari pendingin. Aku tidak tahu apa itu akan berhasil, namun Nick satu-satunya harapanku karena sepertinya dia orang yang tahu apa yang terjadi hingga aku terbangun dalam keadaan kacau dua hari yang lalu.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD