Bab 8

1388 Words
Setelah mengunci pintu ruanganku, aku bergegas untuk membersihkan tempat penginapan yang kian terasa sesak itu. Aku memulainya dengan menghabiskan lima belas menit berdiri di depan bak pencuci piring. Aku membuang botol-botol alkohol yang kosong ke dalam plastik. Setelah memastikan porselen itu berjejer rapi di rak penyimpanan, aku bergerak untuk membersihkan bekas muntahan di atas lantai kemudian mencuci pakaian dan karpetku yang hampir usang. Aku melepas tirai jendela kamarku, mengepakkan baju-baju kotor dan mencucinya. Tidak lupa aku juga mengganti sepraiku yang mulai berbau apak dengan seprai yang baru. Kini tidak ada lagi sampah yang berserakan di atas meja kerjaku. Layar monitorku tidak lagi berdebu. Tidak ada botol bekas alkohol di atas meja, tidak ada sepatu kotor di kaki ranjang dan semuanya sudah terlihat bersih. Sore sekitar pukul lima aku memutuskan untuk berendam. Saat aku membenamkan tubuhku ke dalam air, aku merasa seolah baru dilahirkan kembali. Sisa kotoran dan bau tidak sedap kini luntur dari kulitku, yang ada wewangian citrus yang menyenangkan. Nick meninggalkan sabunnya di kamar mandiku, jadi aku bisa menggunakannya. Sabun itu beraroma sedap. Aku segera menyukainya dan kuputuskan untuk membeli sabun itu nanti. Berendam selama hampir satu jam nyatanya membuat buku-buku jariku mengeriput. Namun, hal itu tidak menggoyahkankanku untuk tetap berada di sana. Aku menatap tirai putih dan daun pintu yang terbuka dari bak berendamku. Dari sana, aku bisa melihat cahaya lampu di ruang tengah yang memantul lembut. Aku menatap kakiku untuk beberapa saat. Aku terlalu hanyut hingga tanpa sadar, pikiran itu kembali menggerogotiku. Aku mengingat wajah Nicole. Rasanya itu baru saja terjadi. Aku belum bisa mengingat dengan jelas apa yang kukatakan padanya, atau apa yang kami bicarakan jika aku benar-benar bertemu dengannya. Mengingatnya selalu membuat kepalaku terasa sakit. Aku merasa perlu untuk menyesap anggur dan pergi tidur. Namun, aku mengingat Nick dan dengan cepat niat itu terurung. Ketika hawa dingin mulai menggerogoti tubuhku, aku bergerak keluar dari dalam bathup. Aku mengenakan jubah mandiku dengan cepat kemudian berjalan ke kamarku dan duduk di depan layar monitor dalam kondisi tubuh yang lembab dan rambut yang masih basah. Aku membuka halaman surat kabar yang ditunjukkan Nick tadi. Aku melihat foto wajahku dalam gambar itu dan menelitinya. Jelas sekali bahwa aku mabuk, tapi apa yang mendorongku untuk memicu keributan di tempat umum itu. Pastinya, ada sesuatu yang benar-benar menggangguku – aku tidak bisa mengingatnya. Begitu layar monitornya menyala, aku langsung mencari sejumlah artikel online yang menampilkan beritaku di surat kabar. Aku memulainya dengan harian times. Beberapa artikel yang sama langsung bermunculan. Aku membukanya satu persatu, membacanya dengan teliti kemudian membuka artikel lain. Semua dari artikel itu menyampaikan maksud yang sama hanya saja mereka berasal dari sumber yang berbeda-beda. Artikel itu memberitahuku kejadian di bar dan di stasiun saat seorang wanita ‘pemabuk’ menyebabkan keributan akibat tindakannya. Seorang pemilik bar yang merasa tidak terima dengan tindakanku berharap aku dijatuhkan hukuman setara atas kekacauan yang sudah kutimbulkan. Begitu pula dengan wanita yang – mungkin, secara tidak sengaja menjadi sasaran pukulanku. Aku tidak ingat aku memukul seseorang, aku tidak pernah tahu apa yang bisa kulakukan saat mabuk, tapi aku berani bertaruh kalau itu ada di luar kehendakku. Pikiranku semakin kacau saat aku mengklik sebuah foto yang ditangkap oleh sejumlah kamera. Foto-foto yang sama yang memperlihatkan wajah mengerikanku. Hatiku terasa pilu. Sekarang aku menjadi bulan-bulanan para pembaca berita. Mereka yang menyaksikanya langsung, tentunya sudah berpikir kalau aku hanyalah wanita kacau, si tukang mabuk yang suka berbuat onar. Mereka pasti menganggapku demikian. Lalu apa hubungannya dengan Nicole? Kenapa aku masih mengingatnya? Kau mabuk dan kau tidak mengingat apapun! Aku mendengar suara Nick berbisik di telingaku. Kupejamkan mataku. Rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitik perutku. Aku ingin bicara dengan Tom. Aku ingin mendengar suaranya. Aku ingin bertanya padanya apa yang kulakukan semalam - apa yang dia pikir mungkin kulakukan semalam. Kuseret langkahku menuju jendela kamar. Mataku memandang keluar. Aku menunggu selama beberapa saat, Tom tidak menjawab panggilanku. Dimana Tom? Aku mulai resah. Aku mencobanya sekali lagi, hasilnya nihil. Tom.. kemana kau? Aku membutuhkanmu sekarang. Aku benar-benar membutuhkanmu. Bicaralah denganku! Tidak ada jawaban. Aku melihat potret kesibukan kota dari jendela kamarku. Bangunan-bangunan bertingkat, apartemen di seberang. Sekilas aku melihat seorang perempuan, cantik dan mungil, keluar menuju balkon di lantai sebelas. Aku melihatnya berdiri di depan pagar pembatas besi, dia sedang memandang ke jalanan lepas. Wajahnya tampak berseri-seri, rambut pirangnya berkibar saat tertiup angin. Rambut itu ikal bergelombang dan membingkai wajah bulatnya dengan anggun. Aku bisa membayangkan matanya berwarna biru cerah. Ia memiliki tulang wajah yang bagus dan senyuman yang lebar. Wanita itu mengenakan pakaian tipis dan jeans pendek hari ini. Tubuhnya langsing dan ia memiliki sepasang kaki jenjang yang indah. Ia sedang tersenyum menatapku. Aku tidak mungkin salah lihat, wanita itu sedang menatap ke arah jendela kamar lantai tiga di penginapanku. Dia tampak begitu bahagia. Aku bisa melihat senyumnya terus mengembang, dia menggerakkan bibirnya, aku pikir dia mencoba bicara padaku. Aku mendekati jendela itu, berpikir kalau wanita itu benar-benar berbicara denganku hingga kemunculan seorang laki-laki di belakangnya menghentikanku. Aku menatap pria itu dengan mulut kering. Wajahnya tampan, senyumnya lebar dan menawan. Ia tidak mengenakan apapun kecuali jeans longgar yang melingkar di bawah pinggang rampingnya. Kulitnya berwarna kecoklatan dan setiap jengkal tubuhnya berotot. Aku menyaksikan pria itu lebih jelas, ia memiliki rambut hitam yang bagus, rahang yang keras juga mata gelap yang sempurna. Si pria tampan - si wanita cantik, itu nyaris terdengar seperti kisah yang ada dalam dongeng anak-anak. Tapi kisah itu nyata, dan aku melihatnya di depanku sekarang. Si pria berjalan mendekati wanita itu. Ia mengatakan sesuatu, si wanita menanggapinya dengan senyum lepas. Si pria kemudian melingkari sepasang tangannya yang besar di atas pinggul si wanita. Gerakannya tampak menggoda. Ia memeluk kekasihnya dari belakang kemudian menunduk untuk menguburkan wajahnya di atas bahu si wanita. Si wanita tersenyum lebar, ia membalikkan tubuhnya, melingkari lengannya yang kecil di atas pundak sang pria kemudian menciumnya. Tubuhku bergetar. Aku tidak bisa bergerak. Kusaksikan sepasang kekasih itu saling berpelukan. Herpaan angin yang lembut membelai wajah mereka. Sang pria membelai wajah kekasihnya, kemudian menariknya masuk kembali. Aku menyaksikan mereka menghilang di balik pintu. Aku langsung bereaksi, kucondongkan tubuhku ke arah jendela, kuletakkan kedua tanganku di atasnya. Mataku mencari-cari, aku menunggu seolah berharap sepasang kekasih itu akan keluar dari pintu yang sama. Aku ingin melihat mereka sekali lagi. Aku ingin tahu siapa nama si pria dan siapa wanita itu. Aku ingin membayangkan mereka sebagai aku dan Tom. Penantianku sia-sia. Pasangan kekasih itu tidak pernah keluar dari balik pintu yang sama. Aku mulai membayangkan apa yang mungkin terjadi di balik pintu. Mereka tampak seperti kekasih yang tergila-gila satu sama lain. Aku melihat mereka begitu sempurna. Aku bertanya-tanya mungkinkah mereka telah menikah dan memiliki anak? Aku bertanya-tanya bagaimana mereka bertemu, bagaimana mereka bisa jatuh cinta. Selama satu jam aku menunggu dan hanya berdiri di depan kaca jendelaku, aku tidak melihat siapapun keluar dari pintu yang sama. Aku merasa putus asa. Kuseret langkahku menjauhi jendela itu, aku kemudian berjalan menuju meja kerjaku. Aku meraih pensil dan buku, aku mulai melukis. Aku tidak ingin melupakan pasangan itu. Tom.. Kurasakan bibirku bergetar, peluh membasahi dahiku. Aku tidak berhenti untuk menyelesaikan lukisan itu. Ketika langit malam menggantung luar sana, aku menyaksikan gemerlap kota di bawahku. Mobil-mobil bergerak cepat meninggalkan jalanan. Orang-orang berjalan di sepanjang trotoar, mereka berhenti di toko buku, dan restoran kecil di jalanan. Beberapa di antaranya menghilang di gang-gang kecil dan di dalam bangunan bertingkat. Sementara itu pintu apartemen di lantai sebelas masih tertutup. Aku menunggu selama beberapa saat, masih berharap pasangan itu memunculkan diri di jendela, tapi lampu ruangannya bahkan telah dipadamkan. Tidak ada orang yang menempati ruangan itu. Aku tertegun. Mungkinkah aku mulai berhalusinasi lagi? Mungkinkah apa yang kulihat hanyalah gambaran yang ingin kulihat karena aku begitu merindukan Tom? Mungkinkah? Aku melihat lukisan mereka yang terpajang di papan merah. Mereka terlihat nyata. Aku tidak mabuk dan aku tidak sedang berhalusinasi. Kulangkahkan kakiku meninggalkan jendela kamarku. Aku berjalan menuju dapur, membuka lemari penyimpanan bir dan mendesah saat tidak menemukan satupun botol yang tersisa. Aku sempat tergoda untuk mengetuk pintu kamar Nate dan memintanya untuk berbagi segelas bir. Kemudian aku mengingat Nick dan kemarahannya. Aku menggigit bibirku. Dengan putus asa, aku melangkah menuju pintu. Aku memutar kenop pintu - pintunya tidak terbuka. Aku terkunci. Nick benar-benar mengurungku. Tubuhku merosot di pintu kayu. Tidak ada yang dapat kulakukan malam ini. Aku pikir aku harus pergi tidur untuk melewati hari lebih cepat.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD