Bab 7

1666 Words
Lexington, Manhattan, New York City Kamis, 9 November 2017    -- Aku mendengar suara berat Nick yang berbicara dari ruang sebelah. Kemudian dua suara lain menyusul. Mereka mendebatkan sesuatu, tapi Nick menolak untuk mengalah. Ia telah dilatih untuk bersilat lidah. Aku tidak tahu apa yang terjadi semalam hingga aku berakhir di dalam ruangan sempit dengan tembok bercat putih yang mengelilingiku. Aroma jeruji besi dan bangku kayu yang sudah tua berpadu di ruangan itu. Tidak ada televisi, perapian yang hangat, maupun karpet merah di dalam sana. Yang ada hanya dua bangku kosong yang menatap ke arahku dan sebuah meja panjang juga papan tulis putih. Aku memijat jari-jariku. Aku dapat mencium bau busuk tubuhku. Aku rasa aku perlu mandi. Sekilas, aku melirik arloji di tanganku. Pukul sepuluh lewat delapan menit – sudah terlambat untuk memulai perjalanan dengan kereta. Aku ingin segera pergi dari sana, tapi aku terjebak. Nick memintaku untuk menunggu di ruangan itu. Aku sudah menunggu berjam-jam, aku rasa mereka mengabaikanku. Aku hanya ingin pulang dan berbaring di kasurku – pertama-tama aku ingin berendam. Aku semakin tidak tahan dengan bau tubuhku, rambutku yang kusut dan berantakan juga nafasku yang berbau alkohol. Aku mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. Aku ingin tahu apa yang membuatku sampai di kantor polisi lokal. Aku ingin tahu bagaimana perjalananku kemarin. Apa aku bertindak bodoh? Apa aku mabuk di tengah jalan hingga polisi membawaku? Apa aku bertemu seseorang yang baru? Samar-samar aku mengingat Nicole, tapi aku tidak bisa mengingat apa-apa selain itu. Aku perlu berbicara dengan Tom, itu akan membuatku merasa lebih baik. Mungkin dia bisa membantuku mengingat apa yang terjadi semalam – mungkin dia akan mengejekku. Oh, sial.. pemabuk. Kau mulai lagi, ya? Nah kan, apa kubilang. Jangan coba-coba mabuk di jalanan, sekarang kau lihat akibatnya! Aku bisa menebak apa yang akan dikatakannya. Rasanya aku ingin menangis. Ruangan itu terasa semakin sempit dan panas. Dinding-dindingnya seolah menghimpitku. Mereka menatapku dengan kasihan kemudian mengejekku. Inilah yang pantas kau dapatkan, tukang mabuk. Kau payah! Sebelum aku sempat bangkit dari kursi itu, seseorang muncul dari balik lorong. Ia seorang pria bertubuh besar, tegap dengan tinggi yang hampir mencapai dua meter. Seorang wanita mengekor di belakangnya, wanita itu sama tingginya, wajahnya tampak masam dan rambut coklat gelapnya dipangkas seatas bahu. Aku memperkirakan usianya sekitar empat puluh tahun, ia tampak lebih tua dari itu. Tubuh kurusnya dibalut oleh seragam lengkap dan tepat di atas d**a kirinya, aku melihat papan nama kecil yang bertuliskan: Riley Chauncey. Yang pria bernama Jose Woodrow, tampangnya lebih bersahabat di banding si polisi wanita. Aku merasa takut hingga kemunculan Nick membuatku kembali bernafas lega. Tidak diragukan lagi Nick menatapku tajam, dia mengisyaratkan sesuatu dalam tatapannya yang terlihat seperti: tutup mulutmu dan jangan bertindak bodoh! "Kau harus mengurungnya atau dia akan menyakiti orang lain," kata si polisi wanita. Matanya menatap ke arahku dengan rasa simpati yang nyaris membuatku kesal. Keputuskan bahwa aku tidak menyukai wanita ini. Ia bukan seseorang yang diajarkan untuk mengatakan kata-kata lembut. Nick saat itu maju hingga sampai di depanku. Bahunya yang lebar menutupi pandanganku dari dua polisi itu. Saat itulah aku bangkit berdiri. Aku mendekati Nick, aku ingin mengatakan padanya untuk membawaku pergi dari sana. "Dia sakit. Hal-hal seperti itu selalu mengganggunya. Biasanya dia tidak seperti ini.." "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi atau mungkin dapat dia lakukan. Semalam buktinya." Nick mengangguk. "Aku akan mengingatnya. Bisakah aku membawanya pulang sekarang?" Dua polisi itu bergeser, mereka memberi ruang bagiku dan Nick untuk melangkah keluar. Aku meraih lengan Nick, berlindung di belakangnya. Kami bersama-sama melangkah keluar dari ruangan itu. Sekilas aku melihat tatapan petugas Riley yang mengecam ke arahku. Aku harap aku memiliki cukup keberanian untuk menjambak rambutnya. Aku harap aku mabuk sehingga aku tidak akan berpikir duakali untuk meninju wajahnya yang jelek. Nick seolah menyadari hal itu karena sekarang aku bisa merasakan tangannya mencengkramku dengan kuat. Ia menarikku, nyaris seperti menyeretku untuk sampai lebih cepat di mobil. Setelah Nick memastikan aku duduk dengan tenang di kursi penumpang, ia mengitari mobil dan duduk di kursi kemudi. Nick membawa mobil itu dengan cepat meninggalkan kantor polisi. Aku menatap bangunan tua itu melalui jendela yang tertutup. Tembok-temboknya mengelupas dan pagarnya yang berkarat seolah memerlukan perbaikan khusus. Ada sebuah kolam di dekat taman yang tidak lagi berfungsi. Patung batunya tampak mengering dan daun-daun kering bekas musim gugur telah mengisi kekosongan kolam itu. Kami tidak berbicara di sepanjang perjalanan. Aku hanya duduk diam sembari menggigiti bibirku. Sesekali aku melihat Nick yang memandangiku melalui spion dalam mobil. Dia tampak marah dan kelelahan. Aku memilih untuk mengabaikannya. Nick dan aku sampai di tempat penginapan sekitar pukul sebelas siang. Aku langsung menatap cahaya matahari yang jatuh di atas karpet merah begitu Nick membuka pintu. Ketika kulangkahkan kakiku memasuki ruangan seluas dua puluh meter itu, bau alkohol dan obat-obatan yang mengumbar di sekitar ruangan tercium tajam. Nick menjadi orang pertama yang menyadarinya karena begitu ia menutup pintu, Nick langsung melangkahkan kakinya menuju dapur. Aku melihat sisa-sisa botol alkohol di atas meja dapur, obat-obatan yang berserakan, peralatan makan di bak pencuci piring. Sampah berserakan di mana-mana, bekas muntahan di atas lantai belum dibersihkan. Nick menggerutu ke arahku, ia meraih botol-botol itu untuk kemudian mengangkatnya di depan wajah ini. “Apa ini? Kau mabuk saat aku tidak disini. Astaga, Sara! Apa yang kau pikirkan? Apa yang kukatakan padamu?” nada suaranya meninggi, aku tidak pernah melihat Nick semarah ini sebelumnya. Urat-urat muncul di pelipisnya, wajahnya tampak memerah. “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?” “Aku minta maaf..” kurasakan tubuhku bergetar dan aku terus menatap lantai di bawah kaki Nick seolah aku dapat melubanginya. “Kenapa kau tidak melepon balik? Harus berapakali kukatakan padamu, berhenti melakukan hal-hal bodoh! Kau tidak mendengarkanku. Kau benar-benar kacau..” Nick mengembuskan nafasnya. Dadanya bergerak naik turun dan aku bisa merasakan emosinya yang muncul kepermukaan. Ia masih berseragam lengkap ketika menjemputku di kantor polisi. Aku cukup yakin Nick telah rela meninggalkan pekerjaannya untuk itu. Dia tampak kacau dan pastinya aku telah membuat Nick malu. Hal itu terlihat jelas ketika ia berbicara dengan petugas Riley dan Jose Woodrow. Wajah Nick tampak memerah dan ia tidak pernah terlihat kehilangan kepercayaan dirinya seperti itu. “Aku lelah sekali,” kata Nick setelah menarik nafas panjang. “Kau tidak tahu kekacauan apa yang sudah kau perbuat.” “Apa?” aku terkejut mendengar diriku menanyakan hal itu, tapi tidak kuhentikan. “Apa yang kuperbuat?” Aku penasaran tentang apa yang membawaku ke kantor polisi. Aku hanya ingat stasiun, aku ingat aku mabuk dan aku ingat keretaku yang bergerak menuju City Hall. Aku ingat Nicole, tapi aku tidak ingat persis apa yang kulakukan pada Nicole. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan sahabatku yang hilang selama belasan tahun? “Apa yang terjadi?” Nick mengeluarkan sebuah koran dari balik saku jaketnya. Ia membentangkan surat kabar itu dan mempelihatkan sejumlah gambar yang ditangkap oleh wartawan ketika aku membuat kekacauan di bar. Tulisan yang dicetak dengan huruf tebal di atasnya memberitahuku: seorang wanita mabuk dan membuat kegaduhan di sebuah bar. Kemudian, gambar lain memperlihatkan ketika aku mengayunkan tas hitam ke arah seorang wanita di stasiun. Di belakangku, tiga orang petugas berusaha menghentikan aksiku. Aku terlihat kacau: rambutku berantakan, wajahku tampak kelelahan. Aku terlihat seperti baru saja menangis. Apa yang membuatku menangis? Mengapa aku memukul seorang wanita di stasiun? Apa yang terjadi? “Kau lihat?! Ini kau Sara! Kau mabuk dan kau melakukan hal bodoh lagi. Harus berapakali kukatakan padamu..” “Aku minta maaf..” bibirku bergetar, kedua mataku terasa menyengat. Aku merasa bersalah pada Nick. “Aku tidak tahu apa yang kulakukan.” “Tentu saja tidak! Kau lupa, kau mabuk dan kau lupa. Kau terus berkhayal! Itulah yang kau lakukan. Dan ini..” Nick meraih tas hitam yang kuletakkan di atas meja. Ia membuka album foto dan menunjukkannya di depan wajahku. “Ini adalah apa yang kau lakukan! Menghabiskan waktumu dengan percuma. Semua orang-orang di foto ini..” dia membalik setiap halaman itu, melihat setiap gambar sembari menyipitkan kedua matanya. “.. aku tidak tahu siapa mereka. Kau juga tidak tahu! Karena kau lupa dan kau kebingungan! Kau tidak bisa mengingat apapun. Itu percuma!” Nafas Nick tidak beraturan. Aku melihatnya berusaha keras untuk mengendalikan diri. Ia menutup album itu, membantingnya di atas meja kayu kemudian mengusap wajahnya. Sekarang, ia tidak lagi berteriak. “Kenapa kau tidak mendengarkan aku? Kenapa kau tidak mendengarkan apa yang dikatakan psikiatermu?” Aku tidak punya jawaban untuk itu. Aku merasa takut dan aku merasa sudah terlalu jauh untuk menghentikan semuanya. Jadi, aku diam mematung, menunggu Nick menyelesaikan kata-katanya sembari terus menunduk. Aku seperti anak kecil yang dituding karena mencuri balon. Aku ketakutan dan tangannya bergetar. “Oh ayolah.. aku tahu kau kebingunan. Kau tidak bisa mengingat apapun yang terjadi semalam. Aku juga tidak. Aku tidak hadir di sana untuk mencegahmu. Aku mendapat kabar pagi ini dan aku langsung meninggalkan pekerjaanku untuk menjemputmu..” “Aku minta maaf..” Nick mengabaikanku. Ia berbalik dan berjalan ke arah dapur. Dalam beberapa detik, Nick telah kembali padaku. Satu tangannya menjulurkan sejumlah pil sementara di satu tangannya yang lain ia mengenggam segelas penuh air mineral. “Aku hanya ingin semua ini berakhir. Kau harus segera sembuh. Ayolah..” Aku meraih tiga butir pil itu dan memasukkannya ke dalam mulutku dengan cepat. Setelah melihatku meneguk air dan menelan pil itu, Nick meraih ponselnya yang bergetar di dalam saku. Aku melihatnya saat ia berjalan memunggungiku sembari mendekatkan ponsel ke telinganya. Nick berbicara dengan suara pelan, tapi aku tahu apa yang sedang dibicarakannya. Dugaanku segera terbukti begitu Nick menutup panggilan itu dan meraih mantelnya. Ia berjalan hingga sampai di ambang pintu kemudian berbalik ke arahku. “Hari ini tidak ada perjalanan apapun. Aku akan kembali besok.” Dia tidak berkata-kata lagi. Kekecewaan yang dirasakannya terhadapku masih tersisa. Nick kemudian menghilang di balik pintu kayu itu. Aku bisa mendengar suara langkah kakinya yang berat ketika menyusuri lorong di lantai tiga. Suara bedebum tangga ketika Nick bergerak menuruninya terdengar jelas. Aku tidak mendengar suara musik atau seruan Nate pagi ini. Itu cukup baik. Aku hanya ingin duduk dengan tenang malam ini dan memikirkan segalanya.  -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD