Aku menatap keluar jendela ketika keretaku bergerak menuju Manhattan. Deretan rumah bergaya victoria berjejer di belakang semak-semak tinggi. Aku mecondongkan tubuhku untuk melihatnya lebih jelas. Sembari menggerakan pensilku di atas buku, aku mulai melukis pintu-pintu prancis yang terlihat dari arah balkon, sebuah meja dan kursi kayu di beranda. Sebuah kolam kecil berdiri di bagian samping rumah itu. Tangga depannya yang tersusun berundak kini dipenuhi oleh daun-daun kering yang berserakan.
Aku melihat rumah nomor lima belas. Kuperhatikan dindingnya mulai mengelupas. Tidak hanya itu, jendelanya juga tampak kusam. Pintu bergaya prancis yang membatasi beranda seluas sepuluh meter dengan ruang depan, tampak reyot. Bangunan tua itu dikelilingi oleh pagar kayu setinggi satu meter.
Ketika keretaku melintas cepat melewati deretan rumah itu, aku mulai membayangkannya. Sebuah balkon, kursi kayu di beranda, sebuah kolam, dan pintu prancis. Aku melukisnya dengan cepat, merasa puas dengan hasilnya. Sempat terpikir olehku untuk menyisipkan gambar wajahku dan Tom yang duduk di beranda. Kami tersenyum lebar seolah baru saja berbagi cerita konyol. Ingatanku kembali berputar pada lukisan wanita yang berdiri di balkon dengan seorang laki-laki tampan yang memeluknya dari belakang.
Setiap pagi ketika aku terbangun dan memulai kembali ingatan baru, lukisan itu selalu menjadi pusat perhatianku. Aku bertanya-tanya apa yang kupikirkan saat membuat lukisan itu? Apa itu nyata – atau itu hanya halusinasi yang kubuat tentang aku dan Tom?
Catatan yang kutulis di bawah lukisan itu memberitahuku bahwa aku melukisnya pada hari kamis minggu lalu dan wanita itu berdiri di apartemen lantai sebelas. Letaknya di seberang tempat penginapanku.
Aku merasa penasaran. Pagi ini, aku mengunjungi apartemen itu dan bertanya pada seorang petugas tentang siapa yang menempati apartemen di lantai sebelas. Sayangnya, semua data pengunjung dirahasiakan demi kenyamanan dan privasi para penghuni.
Mungkin, aku telah melakukan hal yang sama pada hari-hari sebelumnya. Aku mengingat bayanganku sekilas saat aku berdiri di depan kaca jendela kamarku sembari menatap ke seberang, tepat ke arah pintu belakang dari sebuah kamar di apartemen lantai sebelas. Aku berharap menemukan manifestasi asli dari lukisanku, namun itu tidak terjadi. Wanita itu lenyap bersama kekasihnya. Aku tidak tahu siapa mereka – aku tidak mengenal mereka, aku hanya merasa kalau aku menyukai mereka.
Tiba-tiba segala hal tentang Nicole tidak menjadi begitu penting untukku. Beberapa hari terkahir kuperhatikan aku menulis namanya dalam buku catatanku. Tapi, aku masih tidak ingat apa yang mendasari tindakan itu. Apa yang membuatku penasaran tentang Nicole. Aku berniat menyelidikinya, memulai kembali dari awal, hingga lukisan sepasang kekasih yang kutempel di papan merah itu mengalihkan perhatianku. Sejenak aku berharap menjadi wanita dalam lukisan itu, kemudian dia menghilang dari ingatanku.
Pagi ini aku telah memutuskan untuk berjalan di sekitar jalur taman. Aku merasa itu sudah lama sekali sejak aku kembali ke tempat itu. Aku tidak melihat foto-fotoku dengan latar yang sama pada hari-hari sebelumnya. Aku penasaran, kemana aku pergi beberapa hari kemarin. Mungkinkah aku mabuk di rumah selama seharian?
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku memeriksanya dengan cepat. Sebuah pesan dari Nate muncul di depan layar. Dia menuliskan: malam nanti jangan pulang terlambat. Aku ingin kau menemaniku. Cole tidak datang hari ini, dan mungkin tidak hingga seminggu seterusnya..
Awalnya aku berniat untuk membalas pesan itu, hingga kemudian aku kebingungan tentang apa yang harus kukatakan. Hebat? Itu luar biasa – atau mungkin.. aku sangat tersanjang? Jika kupikir kembali, Nate bukanlah seseorang yang senang mendengar ketiga kalimat itu. Jadi, aku memutuskan untuk mengabaikan isi pesannya dan mengingatkan diriku untuk pulang lebih awal sore ini.
Keretaku tiba di City Hall sekitar pukul sepuluh. Aku turun bersama puluhan penumpang lainnya yang bergerak menuju pintu keluar. Rasanya aku telah melakukan hal yang sama puluhan kali – mungkin ratusan kali, aku tidak ingat. Derap langkah kaki mereka, suara mesin kereta yang bergerak meninggalkan stasiun, bunyi mikrofon di ujung, juga percakapan yang menggantung di sana seolah telah menjadi bagian dari diriku. Aku bisa merasakan udara panas di stasiun itu. Aku bisa merasakan ketergesa-gesaan pada pengunjung ketika berderap meninggalkan stasiun. Aku merasakan diriku terseret dalam arus puluhan orang yang berlomba-lomba menuju pintu keluar. Ketika akhirnya udara di luar stasiun menyentuh kulitku, aku merasakan tatapan orang-orang tertuju padaku.
Seorang pria dengan rompi hitam yang duduk di sebuah bangku dengan segelas kopi panas di tangannya, anak-anak yang bermain skateboard, seorang wanita dengan bayinya, juga para pelayan kedai yang berada di pinggir jalan. Mereka menatapku seolah aku baru saja menelanjangi diriku di muka umum. Aku berusaha mengabaikan tatapan itu. Kupercepat langkahku. Kamera dan tas hitamku telah mengayun dengan siap di atas bahuku. Aku merasa bersemangat untuk hari ini.
Siang hari sekitar pukul sebelas, ketika sapuan angin bulan november membelai wajahku, aku sedang duduk di bangku taman dan menyaksikan tiga orang pria yang sedang bersepeda mengelilingi patung. Kuamati wajah mereka satu-persatu sebelum akhirnya kuputuskan untuk mengambil gambar dengan kameraku. Aku memeriksa foto-foto lama. Foto terakhir diambil pada tanggal 7 November di stasiun. Aku tidak yakin siapa yang sedang kofoto saat itu, gambarnya terlalu buram dan itu hanya potret tentang orang-orang yang berjalan di sekitar stasiun.
Aku mencari gambar lain – tidak ada yang menarik. Kuputuskan untuk menatap ke sekitar dan menunggu. Aku melihat foto Annate dan putrinya pagi di papan merah, aku harap aku menemui mereka. Nyatanya, taman itu terlihat hampa. Tidak ada seseorang yang benar-benar kukenal – tidak ada sesuatu yang ingi kukenal hingga aku melihat sebuah bus berhenti di seberang jalur dan seorang wanita yang mengenakan jaket merah dan sebuah rompi tipis yang menutup bagian kepalanya, turun dari sana.
Aku menatapnya dari kejauhan, diam dan menyaksikan setiap kali langkahnya membawa ia semakin dekat denganku. Wanita ini hendak melewati jalur taman. Aku tidak tahu kemana tujuannya, perhatianku hanya tertuju pada wajahnya yang anggun, rambut ikal pirangnya yang mengayun di bawah rompi berwarna putih keabu-abuan. Ia tidak tersenyum. Matanya yang bulat dan kecil menatap lurus ke depan.
Aku memerhartikan tubuh rampingnya berjalan dengan luwes di atas jalur beraspal. Jeans pudar yang dikenakannya membentuk sepasang kaki jenjang. Wanita ini mungil, ramping dan cantik. Matanya berwarna biru, dan aku cukup yakin ia memiliki senyuman yang lebar. Ia masih terus berjalan, sebuah tas berwarna merah yang senada dengan warna jaketnya mengayun di atas bahu. Ia sedang memeriksa arlojinya ketika aku mengangkat kamera dan mengambil gambarnya.
Sekali.. duakali..
Dia semakin dekat. Aku merasa malu, tapi aku ingin melihatnya lagi. Kurasa wajahnya lebih cantik dari yang kubayangkan. Dan warna mata itu.. kupikir warnanya lebih cerah jika dilihat dari dekat. Dia memiliki jari-jari panjang dan kuku-kuku terawat yang terlihat indah. Caranya berjalan sangat feminin namun juga percaya diri. Dia mungkin seorang wanita yang sangat cerdas. Tiba-tiba aku teringat akan lukisan wanita yang berdiri di apartemen lantai sebelas. Mereka sangat mirip – mereka sama-sama wanita berambut pirang yang cantik dan memiliki mata berwarna biru cerah. Wajah mereka bulat dan kecil, mereka memiliki rahang yang sempurna. Dengan tubuh ramping dan sepasang kaki yang jenjang, mereka terlihat seperti manisfestasi dari kesempurnaan.
Aku tertarik pada wanita ini. Aku rasa aku tidak bisa berhenti untuk mengangkat kameraku dan mengambil gambarnya dalam setiap kesempatan. Saat dia semakin mendekat, kurasakan tanganku bergetar. Aku arahkan titik fokus kameraku pada wajahnya yang anggun, kusaksikan guratan kecil muncul di pelipisnya dan aku tersentak saat menyadari bahwa wanita itu sedang menatapku, dia tampak terganggu. Aku nyaris menjatuhkan kameraku, tanganku bergetar, mataku tampak ketakutan. Aku menatapnya – dia menatapku, sepasang matanya mengawasiku, tapi dia tidak berhenti melangkah. Dia berjalan melewatiku, dan menghilang di jalan raya. Aku bangkit berdiri dan mencarinya. Aku melihatnya memasuki sebuah gang sempit, dan dia menghilang di sana.
--
Siang itu berakhir dengan cepat. Sore ketika aku menaiki kereta dalam perjalanan pulang, aku menyandarkan kepalaku di jendela dan mengingat wanita itu. Rasanya itu terlalu cepat. Aku tidak ingat, tapi aku cukup yakin kalau itu adalah perjumpaan pertama kami. Aku bertanya-tanya apakah dia akan melewati jalur di taman itu lagi esok? Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya. Aku ingin berbicara dengannya dan aku ingin tahu siapa namanya? Mungkinkah namanya Anne - itu terdengar sangat cocok untuknya. Kuputuskan untuk memberinya nama Anne. Siapa yang tahu, mungkin aku akan berbicara dengannya esok atau di hari kemudian dan dia akan memberitahukan siapa namanya.
Sementara ini aku suka membayangkan Anne berjalan dengan sepatu berhak tinggi, dia tampak anggun dan percaya diri. Aku mencoba menebak-nebak, tidak ada cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. Jadi, dia pasti wanita yang bebas, seorang pekerja di perusahaan besar. Mungkin pekerjaan sebagai sekretaris cocok untuknya, dia memiliki tampilan yang anggun untuk memenuhi kriteria itu. Kubayangkan Anne bersama kekasihnya yang tampan. Mereka adalah pasangan yang hebat, saling tergila-gila satu sama lain. Hari ini, kekasihnya mungkin sedang disibukkan oleh sejumlah pertemuan dengan koleganya. Itu sebabnya Anne harus berjalan sendirian.
Aku suka membayangkan mereka menempati sebuah apartemen. Mereka berbagi kamar yang sama. Pagi sebelum pergi bekerja, Anne akan memesan pasta untuk sarapan - dia adalah wanita praktis yang tidak pandai memasak. Sorenya, ketika mereka sama-sama kelelahan selepas bekerja, mereka akan berbagi sebotol anggur dan menghabiskan malam dengan percintaan yang hebat.
Aku tersenyum. Sesuatu menggelitik perutku - lagi. Tom ingin berbicara denganku, kuputuskan untuk mengabaikannya. Aku berjanji akan berbicara dengannya malam nanti. Aku ingin menceritakan tentang Anne. Aku ingin mendengar pendapatnya.
--
Beritahu saya tanggapan kalian..